Skaya menyimpan benda terakhir yang ingin dia bawa ke dalam ranselnya. Sebelum menutup resleting, dia memandang benda berupa bingkai foto yang terdapat empat orang didalamnya. Orang tuanya beserta dirinya dan sang kakak. Menurut Skaya, foto ini merupakan hal yang sangat berharga, sebab untuk pertama kalinya mereka mengambil foto keluarga bersama. Meski Skara di sana cemberut, itu tidak menghentikan Skaya untuk terkekeh lucu melihatnya.
Jari jempolnya mengusap kaca bingkai foto lembut disertai seulas senyum tipis di bibir. Termenung sejenak, gadis itu kembali menyimpannya ke dalam ransel sebelum bangkit berdiri untuk mengedarkan pandangan pada kamarnya yang telah ia tinggali bertahun-tahun lamanya.
Kini Skaya akan meninggalkan kamar ini, rumah ini, dan keluarganya untuk bersekolah di luar kota. Keputusan yang besar memang, karena Skaya sendiri belum pernah tinggal jauh dari keluarganya. Namun Skaya merasa ingin mandiri. Apapun keputusan yang dia ambil adalah haknya. Tidak terkekang, terikat atau terkait dengan orang lain, bahkan jika itu adalah keluarganya sendiri.
Skaya tidak bodoh. Dia tahu bahwa Skara tidak menyukainya. Kembarannya itu membencinya bahagia sehingga melarang apapun yang dia inginkan. Mulai dari ekstrakulikuler marching band, hang out dengan temannya, hingga mempunyai pacar. Tetapi untuk alasannya, gadis itu belum menemukannya. Tidak jelas apa yang dipikirkan Skara selama ini dan apa yang membuatnya membencinya sebegitu banyak.
Dengan karakter Skara, Skaya yakin kembarannya itu sedang marah karena keputusannya sekolah ke luar kota. Skaya jadi penasaran apa yang akan dilakukan kembarannya untuk menghentikannya sekolah di luar kota. Sebab semua hal sudah terurus, mulai dari penerimaan sebagai murid baru hingga tempat tinggalnya. Dan tentu, semua itu diurus oleh Skaya sendiri. Orang tuanya terlalu sibuk untuk sekadar mencari tahu informasi sekolah yang ia masuki.
Tok tok tok
Pintu kamarnya terketuk, mengambil atensi Skaya yang sejak tadi melamun. “Skaya, sarapan udah Bunda siapin di meja makan. Bunda mau persiapan dulu nganter Skara ke rumah sakit.”
Gadis itu buru-buru mensejajarkan kopernya sembari menjawab, “Iya, Bunda!”
Beberapa menit kemudian Skaya keluar dari kamarnya, diam-diam melirik kamar Skara sebelum menurunkan padangan menatap lantai. Tidak ada lagi sisa coklat semalam, membuat gadis itu bingung. Apa mungkin Verana membuangnya saat membersihkan rumah? Menggaruk tengkuknya, Skaya melangkah menuju ruang makan. Ia menikmati sarapannya sembari bersenandung pelan, tidak sabar menaiki pesawat untuk pertama kalinya.
Di tengah kegembiraan tenggelam dalam bayangan bersekolah di luar kota, Verana tiba-tiba muncul dengan kepanikan.
“Skaya! Kamu lihat di mana Skara?”
Aktivitas mengunyah Skaya terhenti. Dia menoleh, menatap Verana yang risau dengan kerutan dalam di jidatnya. “Emang Kak Skara gak ada di kamarnya?”
“Bunda udah masuk ke kamarnya, tapi Skara gak ada! Sejak tadi dia belum pernah keliatan!”
Tiba-tiba selera makan Skaya menghilang. Dia meletakkan sendoknya, berlari menuju kamar Skara yang pintunya telah terbuka. Gadis itu menelan saliva. Dia mendekat, menyentuh suhu kasur kembarannya sembari mengedarkan pandangan. Kamar ini sangat bersih. Bahkan sprai kasurnya rapi tanpa kusut dengan suhu dingin yang menandakan sang pemilik tidak menempati kasur ini sejak lama.
***
08.04 WIB
Skara menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi dengan pandangan tertuju pada luar jendela bus. Ternyata di terminal terdapat banyak orang yang hendak berpergian. Dia kira, kedatangannya di pagi buta demi menghindari keramaian akan terealisasikan. Nyatanya, sejak dia tiba menggunakan ojek online, tempat ini sudah penuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
SKARA : Why Me?
Teen Fiction"Gue dan Skaya kembar. Kembar harus merasakan hal yang sama, kan?" **** Skara Agnibrata, cowok yang terlahir dengan kondisi sindrom jantung kiri hipoplasia, membuat fisik dan kondisinya lemah tidak seperti anak-anak pada umumnya. Karena penyakitnya...