15. Penantian Yang Berujung Kekecewaan

1.6K 397 1K
                                    

Waktu bergilir begitu cepat, sampai-sampai terkadang saat kita menyadarinya, ada banyak hal yang telah terlewati begitu saja tanpa bekas mendalam diingatan. Itu yang Skaya rasakan.

Dia merasa baru kemarin dia pergi meninggalkan rumah dan datang ke kota ini, tetapi ternyata sekarang ia sudah berada di akhir tahun. Hari ini adalah hari terakhir ujian sekolah, di mana hari-hari berikutnya dia akan menikmati liburan yang cukup panjang tanpa memusingkan tugas-tugasnya. Memikirkan ini, senyum kecil terulas di bibirnya.

Gadis itu tengah berjalan menyusuri lorong sekolah yang sepi karena hampir seluruh siswa di sini bergegas pulang melihat betapa mendungnya langit. Tetapi sayangnya Skaya harus terjebak dengan beberapa temannya untuk membersihkan kelas karena jadwal piket.

Walaupun liburan di depan mata, mereka tidak bisa menutup mata akan tanggung jawab mereka sehingga di sinilah Skaya berada. Terjebak di daerah sekolah sambil menatap hujan yang tidak memiliki tanda-tanda mereda sejak menit ke dua puluh. Angin yang berembus cukup dingin sehingga Skaya harus merapatkan jaketnya lebih erat. Dia mengulum bibirnya rapat-rapat, antara ingin mengeluh atau tak berdaya.

Dering dari ponsel membangunkan Skaya dari lamunannya. Buru-buru dia mengeluarkan benda pipih yang terus berdering itu dari tasnya lalu mengangkat panggilan. "Kenapa, Cing?"

Panggilan itu berasal dari Cici, sahabat Skaya.

"Skay, lo belum pulang dari sekolah?"

Skaya merasa ada yang salah dengan suara Cici sehingga ia mengerutkan kening dengan kekhawatiran yang mulai timbul. "Cacing, lo sakit?"

"Stop panggil gue cacing!" Suara sengau Cici menggelegar dari teleponnya.

Sambil menjauhkan ponsel dari telinganya, Skaya terkikik. "Lo pilek?" tanyanya lagi memastikan.

"Iya nih. Tadi pas pulang kena ujan dikit," rengek Cici manja, membuat Skaya tersenyum geli seraya menurunin tangga menuju lantai satu. "Di rumah gue obat flu habis. Bisa gak, Skay, lo nanti mampir ke apotek beliin obat flu buat gue?"

Tanpa berpikir panjang Skaya menanggapi, "Oke."

Setelah menunggu lebih dari sepuluh menit, akhirnya hujan mereda sehingga Skaya langsung memesan ojek online. Dia cukup khawatir dengan kondisi sahabatnya saat ini sebab keduanya ada di kota ini sebagai perantau. Bedanya, Cici tinggal di rumah yang dimiliki keluarganya, sedangkan Skaya menyewa kost.

Sering kali Cici menawarkan Skaya untuk tinggal bersamanya, sayangnya gadis itu selalu menolak dengan alasan orang tua Cici sering tinggal di sana untuk menemani Cici sehingga Skaya sebagai orang luar akan terasa mengganggu keharmonisan mereka.

Perjalanan cukup lancar hingga Skaya sampai di depan sebuah rumah bertingkat dia. Dia menggigil, buru-buru mengembalikan helm dan membuka gerbang agar masuk. Mantel plastik yang ia beli dengan harga belasan ribu di pinggir jalan sudah basah kuyup, untungnya melindungi seragam dan tasnya dengan baik sehingga hanya sepatunya yang basah.

Setelah melepaskan mantel dan sepatunya yang basah dan meletakkannya di pojok, ia menekan bel beberap kali. Sayangnya Skaya tidak melihat tanda-tanda akan dibuka sehingga dia langsung membuka pintu untuk masuk seraya memanggil pelan, "Cici?"

Tak!

Ruangan yang gelap itu langsung terang benderang, membuat Skaya menyipitkan mata beberapa detik dan melihat Cici berlari dari arah saklar lampu menuju meja makan untuk mengambil sebuah kue ulang tahun berwarna pink cerah.

"Happy birthday to Skaya, happy birthday Skaya, happy birthday happy birhday, happy birthday Skaya! Wuuuuu!" sorak Cici heboh sendiri sambil mendekati Skaya dengan kue tersebut.

SKARA : Why Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang