Skara terduduk di sebuah ruangan yang remang dengan sebuah lampu belajar yang menyala di atas nakas, sehingga pandangan menjadi terbatas. Air Conditioner dalam ruangan tersebut mencapai titik terendah yaitu 16 derajat. Di sana Skara duduk dalam diam, tanpa ekspresi. Entah sudah berapa lama dia di sana dengan tatapan tertuju lurus ke depan kegelapan. Bayangan dari lampu belajar tidak dapat menjangkau daerah tersebut, hanya dapat memberikan bayangan samar.
Perlahan bangkit, Skara mengeluarkan benda yang merupakan boneka porselen mini yang mampu ia genggam dalam satu telapak tangan dari laci dan menjatuhkannya ke dalam sebuah gelas hingga menyebabkan air berwarna di dalam gelas tersebut memercik ke tangannya. Matanya mengerjap pelan, dengan sudut bibir yang terangkat samar.
Ternyata, ada juga orang yang senasib dengannya. Pikirnya polos. Sayangnya senyumnya luntur saat melihat boneka itu mengambang ke atas permukaan gelas. Dia tertegun sepersekian detik. Senasib bukan berarti setakdir. Tangannya terulur, hendak mengambil boneka tersebut namun terhenti saat mendengar ketukan samar dari luar.
"Skara, makan malam udah jadi."
Mengelap telapak tangannya menggunakan tisu secara acak, Skara keluar dari ruangan tersebut bertepatan dengan pintu kamarnya yang terbuka dari luar. Verana muncul dari balik pintu, melihat Skara baru saja menutup pintu lain yang terhubung dengan kamar milik sang anak. Ada senyum lembut yang terpatri di bibirnya. "Bunda ganggu kamu belajar?"
"Baru selesai." Skara menggeleng selaras dengan jawaban lisannya. Dia melangkah mendekati Verana yang berdiri di ambang pintu.
"Ruang belajar kamu gak pernah Bunda masukin. Mau Bunda bantu bersihin?" Hanya ada satu pintu untuk memasuki ruang belajar Skara, yaitu melalui pintu di dalam kamarnya. Skara tidak pernah membiarkan orang lain mengganggu wilayah pribadinya sehingga lambat laun Verana jadi lupa bahwa masih ada ruangan tak terjamah di rumahnya.
Skara menatap Verana dengan tak senang. "Gak perlu."
Verana mengekeh, mengelus kepala Skara penuh kasih sayang yang meluap di matanya. "Iya, iya. Anak Bunda selalu mandiri. Besok jangan lupa bangun pagi, kita check up kondisi kamu bulan ini."
Berjalan beriringan dengan Verana menuju meja makan, Skara bersenandung pelan. "Mmm."
"Bentar," kata Verana tiba-tiba sambil menarik tangan Skara. Matanya cukup tajam melihat perbedaan dalam diri sang anak. "Tangan kamu kenapa ada bekas merah-merah gini? Alergi?"
"Cuma pewarna." Alih-alih menarik tangannya, Skara membiarkan wanita itu mengelus warna kemerahan di sana dengan seringai ringan seolah itu bukan masalah besar. "Buat bersenang-senang."
***
Denada duduk melamun di ruang tamu, menatap Skara yang belajar didampingi tutornya. Hari ini sekolahnya dibubarkan lebih cepat, membuatnya bergegas ke rumah laki-laki itu setelah makan siang. Awal bertemu dengan Skara di bus beberapa waktu lalu cukup berkesan di benak Denada. Bagaimana tidak? Ini pertama kalinya dia bertemu seseorang yang memiliki gengsi setinggi langit di tengah musibah. Wajah Skara juga paling datar yang pernah Denada temui. Dia jadi penasaran, seperti apa Skara tersenyum dan bagaimana laki-laki itu tertawa? Denada merasa tertantang membuat Skara lebih ekspresif walau cuma sedikit.
"Datang lebih awal, Nada?" sapa tutor Skara yang Denada ingat bernama Fathan. Pria berumur awal 30 tahun itu berdiri di depannya dengan sebelah tangan menenteng sebuah buku. Pakaiannya cukup kasual, hanya celana jeans dan kaos putih dengan kemeja kotak-kotak sebagai outher.
Denada segera mengangguk ceria. Cukup mengejutkan Fathan masih mengingat namanya setelah pertemuan pertama mereka hampir seminggu yang lalu. "Guru-guru pada rapat buat bahas mekanisme ujian semester awal bulan depan. Sooo, here I go."
KAMU SEDANG MEMBACA
SKARA : Why Me?
Teen Fiction"Gue dan Skaya kembar. Kembar harus merasakan hal yang sama, kan?" **** Skara Agnibrata, cowok yang terlahir dengan kondisi sindrom jantung kiri hipoplasia, membuat fisik dan kondisinya lemah tidak seperti anak-anak pada umumnya. Karena penyakitnya...