Suasana di dalam mobil begitu canggung dan tegang. Verana duduk diam di samping Skara yang sejak tadi menoleh menatap jalanan dari jendela. Mobil tersebut melaju mulus menuju sebuah sekolah yang dengan jelas bertuliskan SMA DHARMA di bagian gerbang atasnya.
Skara memandang nama sekolah itu sejenak, sebelum turun dari taksi online tersebut lalu menurunkan tudung hoodie-nya hingga sebagian wajahnya tertutup.
Bibir pucatnya tertekan erat. "Bunda udah siapin surat-suratnya?"
Verana merasa bersalah pada Skara. Sejak seminggu ini Skara tidak mau berbicara dengannya karena tahu bahwa dia mengabaikan sekolah Skaya yang terus menanyakan keberadaan Skaya. Bahkan sudah ada surat peringatan kedua di mana jika dalam minggu ini Skaya belum datang melapor, dia akan dikeluarkan dari sekolah. "Sudah, surat-suratnya ada di tas bunda."
Kondisi semakin kacau saat ini, menurut Skara. Jika dia memberitahu Skaya masalah ini, dia yakin Skaya tidak akan diam. Gadis itu hanya tahu bahwa sekolah asalnya baik-baik saja, dan mungkin sahabatnya Cici tidak memberitahu kondisi yang sebenarnya.
Kaki Skara mulai melangkah memasuki kawasan sekolah tersebut. Jika Skaya menggantikannya di Lesmana, mengapa dia tidak bisa menggantikan posisi kembarannya untuk sementara waktu?
Atas arahan siswa yang kebetulan berpas-pasan, mereka tiba di ruang kepala sekolah. Sebelum datang, Verana sudah membuat janji dengan kepala sekolah untuk menjelaskan hal-hal mengapa Skaya tidak bisa datang ke sekolah selama dua bulan ini. Hal yang serius di mana ini melanggar kebijakan sekolah, meskipun sekolah tersebut sekolah swasta biasa. Tentu saja penjelasan yang dibuat Verana merupakan omong kosong belaka. Jika dia memberitahu kondisi sebenarnya, mungkin diskusi tidak akan berjalan dengan baik.
Duduk di depan pria paruh baya yang merupakan kepala sekolah, Verana kembali menjelaskan. Penjelasannya masih seperti awal saat dia membuat izin Skaya. Skaya mengalami sakit, yang membutuhkannya berobat selama beberapa waktu.
Dengan alasan tambahan yang dibuat Skara kemarin, Verana memberi bukti laporan kesehatan tentang kondisi "Skaya" yang sebenarnya merupakan kondisi dari tubuh Skara.
Kepala sekolah itu memperhatikan laporan tersebut sejenak, lalu melirik Skara. Tidak ada keraguan tentang sosoknya, karena Skaya dan Skara merupakan kembar identik. Perbedaan di antara mereka hanyalah gender dan visibilitas wajah. Skaya ceria dan segar sedangkan Skara datar dengan wajah pucat. Namun dengan wajah pucat inilah Skara gunakan untuk mencoba memanipulasi keadaan saat ini.
Skara mengangkat satu kepal tangannya ke depan mulut dan batuk beberapa kali, membuat sorot mata pria paruh baya itu melembut.
"Bagaimana kondisimu, Skaya? Sudah lebih baik setelah operasi?"
Skara membuka mulutnya sedikit, namun kembali terbatuk sehingga Verana mengambil alih dalam menjawab. "Kondisi Skaya masih lemah. Dalam surat keterangan dokter, Skaya harus mendapatkan rehabilitasi dan istirahat yang cukup untuk memulihkan kondisinya."
Pria paruh baya itu melihat lembar demi lembar kertas di tangannya, sebelum mendongak menatap Skara. "Skaya, ada yang ingin bapak perbincangkan dengan ibumu. Bisa tolong keluar sebentar? Atau kamu bisa pergi ke kelasmu untuk menyapa teman-temanmu."
Skara melirik Verana sejenak, lalu memberi anggukan pelan dan bangkit berdiri. Untungnya, kepala sekolah tidak menyuruhnya menurunkan tudung hoodie, jika tidak dia harus menjelaskan lagi alasan rambutnya pendek.
Dengan perlahan dia keluar dari ruang kepala sekolah, bertepatan dering bel pertanda istirahat. Skara mendongak, telinganya sedikit pengang. Tatapannya melirik speaker di sudut lorong, sebelum bibirnya terkatup erat dengan kepala menunduk.
Beberapa saat bergeming, Skara melangkah sepanjang lorong, lalu berhenti untuk melihat halaman sekolah di lantai bawah yang penuh dengan siswa-siswi berseragam putih abu-abu.
Dia menonton semua itu dalam diam, seperti patung, mengamati tanpa gerak.
Derap langkah terdengar dari arah samping kanannya, namun tidak cukup untuk mengambil atensi Skara dari pemandangan hidup di lapangan bawah.
"Lo beneran ke sini? Gue kira lo bohongi wali kelas gue."
Suara penuh meremehkan itu terdengar. Perlahan Skara menoleh, melihat gadis asing namun sebenarnya tak asing itu tanpa ekspresi. Skara sendiri bingung harus mendeskripsikan Cici seperti apa.
Dia tidak pernah berinteraksi dengan gadis itu. Melihatnya saja hanya beberapa kali, yang mana bisa dihitung dengan jari. Untuk berbicara langsung seperti ini, sepertinya baru pertama kali mereka lakukan.
Skara kembali membuang muka, menatap lapangan bawah tanpa riak di matanya.
"Skaya kok betah ya punya kakak kayak lo? Bukan cuma lo aja, tapi seluruh keluarga lo." Cici bersedekap dada, melirik sosok Skara yang mengenakan hoodie. Kepalanya tertutupi oleh tudung hoodie, sehingga Cici tidak bisa melihat jelas bagaimana air mukanya saat ini. "Skaya bilang, temen-temen sekamarnya perlakukan dia baik, menurut gue lebih baik dibanding keluarganya sendiri."
Masuk kuping kiri, keluar kuping kanan. Kira-kira seperti itulah kiasan yang cocok untuk kata-kata Cici bagi Skara.
Mungkin sudah terbiasa oleh ucapan tak menyenangkan di hati yang dilayangkan orang lain kepadanya sejak kecil, Skara menjadi acuh tak acuh pandangan siapapun itu kepadanya. Skara merasa yang hanya menderita adalah dirinya sendiri jika terus mendengarkan ucapan orang lain. Meskipun kalimat tersebut mengandung arti.
Saat mengamati orang-orang di lapangan lantai dasar, tiba-tiba Skara teringat sesuatu, yang membuatnya menolehkan kepala ke arah Cici.
"Skaya... selama sekolah di sini, dia tinggal di mana?"
Mungkin karena sejak tadi diam, jadi saat melontarkan kalimat tersebut, suara Skara menjadi serak.
"Ngekos." Cici mengedikkan pundak. "Tapi yang gue tau, sekarang gak ngekos lagi di sana karena Skaya mikir terlalu buang-buang duit kalo gak ditinggali selama berbulan-bulan."
"Oh," gumam Skara pelan, ekspresinya yang datar membuat Cici tidak bisa menilai apa yang dia pikirkan saat ini.
Cici mendengkus, merasa Skara tidak ambil pusing soal sindirannya. "Pokoknya ini terakhir kali gue liat lo nyusahin Skaya. Sekali lagi lo jadi beban dia, mampus lo sama gue."
Cici memelototi Skara untuk terakhir kali, lalu berbalik dan melenggang pergi dari sana dengan angkuh, meninggalkan Skara sendiri dengan pikirannya yang berkeliaran ke mana-mana.
Beban Skaya... Sepertinya Skara baru menyadari kata tersebut. Apakah dia benar-benar beban bagi kembarannya?
Apa salahnya hanya menginginkan sang kembaran seperti dirinya? Jelas-jelas saat mereka kecil, Skaya berjanji akan selalu bersama dirinya, akan menjadi teman satu-satunya dan tidak akan meninggalkannya. Tetapi apa? Dia malah mengingkari semua itu. Pergi meninggalkan Skara di rumah menghabiskan waktu sendiri, pulang membawa cerita menarik yang dia alami di luar, dan tidak menanyakan bagaimana Skara menjalani hari tanpanya.
Bagi Skara, di sini yang egois adalah Skaya. Kenapa semua orang malah menyalahkannya?
"Skara, ternyata kamu di sini." Verana mendekati Skara yang berdiri diam di lorong. "Bunda sudah selesai berbicara dengan kepala sekolah. Semuanya sudah selesai, sekolah akan memberi keringanan. Tapi..."
Skara menoleh saat mendengar kata 'tapi'. "Tapi apa?"
"Tapi katanya agar tidak ketinggalan pelajaran, minimal harus menghadiri kelas. Bunda dan kepala sekolah sepakat Skaya tidak harus datang ke kelas, cukup mengikuti kelas via daring."
Verana menjelaskan semua kesepakatan kepala sekolah dengannya, di mana Skara akan mengikuti kelas via daring sesuai jam sekolah normal. Teman sekelas Skaya akan membantu membuat room dari sebuah aplikasi konferensi video agar Skara bisa masuk dan menonton kelas hingga selesai. Sepertinya ini cara paling terbaik yang bisa diambil agar absensi Skaya tidak kosong lagi.
Skara mengangguk, merasa ide itu tidak buruk. Dengan kelas online, setidaknya Skara tidak akan berinteraksi dengan teman-teman Skaya, terutama Cici yang nampak sangat membencinya.
TBC
April 11, 2024.
KAMU SEDANG MEMBACA
SKARA : Why Me?
Teen Fiction"Gue dan Skaya kembar. Kembar harus merasakan hal yang sama, kan?" **** Skara Agnibrata, cowok yang terlahir dengan kondisi sindrom jantung kiri hipoplasia, membuat fisik dan kondisinya lemah tidak seperti anak-anak pada umumnya. Karena penyakitnya...