Awalnya Skara menganggap keberadaan Denada hanyalah seorang figuran yang berlalu dalam hidupnya tanpa meninggalkan jejak. Namun pemikirannya itu salah total setelah menjalani beberapa hari ini. Entah apa jurus maupun obat yang digunakan gadis itu, dia berhasil mendapatkan izin bundanya untuk merecoki hidupnya. Kehidupan monoton Skara seketika rusak hanya karena kehadirannya yang tidak diinginkan. Seperti sekarang, gadis cerewet itu sedang menggosipi teman sekelasnya yang tidak Skara ketahui bagaimana rupanya.
“Tapi masa iya muka kayak kencur jamet sok-sokan nyawer biduan sampe selingkuhi pacarnya? Mikir dong, Jaehyun aja setia sampe ditinggal nikah sama crushnya si mbak Zendaya. Masa si jamet sok jadi playboy? Apa nggak malu sama kegantengan Jaehyun?” Denada menggebrak meja kesal, masih misuh-misuh dengan ekspresi cemberut.
Mata Skara terpejam. Siapa Jaehyun? Siapa Mbak Zendaya? Siapa pula si jamet? Skara ingin mengabaikannya tetapi suara gadis itu terus memasuki rungunya dan mengganggu dia berkonsentrasi membaca buku.
“Jadi menurut lo gimana, Skar? Lo setuju kan sama pandangan gue—eh, mau ke mana lo?” tanya Denada heran begitu melihat Skara bangkit berdiri dan berjalan masuk meninggalkannya sendiri di ruang tamu.
Gadis itu menggaruk belakang kepalanya, tidak bingung lagi dengan sikap acuh tak acuh Skara. Sudah empat hari total Denada merecoki Skara. Dia selalu buru-buru ke rumah laki-laki itu setelah makan siang dan mengabaikan tugas sekolahnya. Padahal, dia sudah berada di tingkat terakhir dari sekolah menengah atas, tetapi belum ada kesadaran dalam dirinya akan hal itu.
Setelah bergaul dengan Skara beberapa hari ini Denada juga jadi menyadari bahwa kegiatan laki-laki itu sangat monoton. Selain belajar, dia tidak akan beranjak dari kursinya kecuali makan dan pergi ke kamar mandi. Dia juga sangat pendiam, tidak pernah menanggapi Denada seolah Denada adalah makhluk tak kasat mata. Meski gadis itu memiliki tempramen dengan batas sabar setipis tisu, untuk Skara mungkin Denada bisa menebalkannya menjadi 250 sheets 2ply.
***
“Gimana kamu sama Denada? Dia baik, kan?” Verana tiba-tiba muncul di sisi Skara yang tengah menunggu keran dispenser memenuhi air ke dalam gelasnya. Wanita itu bersandar di pantri dapur sambil melirik ke arah ruang tamu. “Bunda ketemu dia di depan komplek, anaknya baik bantuin Bunda bawa barang belanjaan. Lihat kamu kesepian di rumah, Bunda jadi bawa dia ke sini temenin kamu.”
Skara mematikan keran dispenser, berbalik menatap sang bunda dengan ekspresi tidak setuju. “Dia berisik, aku gak bisa konsen belajar. Lagipula, aku gak perlu teman.”
“Skara, kamu yakin, kan, sama pilihan Bunda? Lagipula kamu itu homeschooling. Bunda sebagai orang tua bertanggungjawab penuh atas pendidikan kamu. Selain belajar materi, Bunda mau kehidupan sosialmu juga seimbang. Gunain Denada sebagai eksperimen.”
“Bunda gak sadar kenapa aku gak punya teman? Sekarang salah siapa kehidupan sosial aku hampa?” Ekspresi Skara kusut, memegang gelas dengan erat menyembunyikan pikirannya yang semakin gelap. “Lebih baik Bunda usir dia daripada aku yang bertindak.”
“Ini karena Skaya, kan, kamu jadi memberontak?” Verana bersedekap dada dengan alis terangkat. Dia tahu betul isi pikiran Skara, meski laki-laki itu menutupinya erat. “Kata tutormu kamu lebih sering melamun saat belajar bersamanya. Tugas pun juga tidak sepenuhnya selesai. Sejak Skaya pergi meninggalkan rumah, sikap kamu semakin melenceng, Skara.”
“Ini gak ada hubungannya dengan Skaya!” kata Skara menggertakkan gigi. Tatapan dinginnya beradu dengan sang bunda, kukuh pada pendiriannya. “Bunda selalu kaitan semua hal dengan Skaya, Skaya, Skaya. Padahal topik kita tadi ada pada Bunda! Bunda, Ayah, dan Nenek yang membatasi ruang lingkup aku tumbuh.”
“SKARA!”
“Aku muak, Bunda. Kenapa selalu aku yang kalian kendalikan?”
Prang!
“Skara?!”
Skara tersadar dari lamunannya, melihat bundanya menatap lantai terkejut. Ternyata, gelas yang tengah dia isi air telah penuh sehingga air dari dispenser terus mengalir membasahi lantai dan kehilangan keseimbangan setelah terkena senggolan tangannya yang menyebabkannya jatuh ke lantai lalu pecah berkeping-keping. Matanya mengerjap, menatap linglung Verana yang kini sibuk membersihkan lantai sambil memperingatinya untuk tetap berada di tempat agar tidak terluka.
“Apa yang kamu pikirin, sayang? Bunda cuma nanya gimana soal Denada. Sesulit itu ya jawabnya?”
Ah, ternyata semua pemberontakkannya hanyalah khayalan semata yang ingin menyeruak mencari kebebasan. Skara menunduk, tidak jelas seperti apa ekspresinya saat ini.
“Dia....” Tenggorokan Skara seakan tersumbat sesuatu, membuatnya tercekat tak bisa mengutarakan pikirannya yang sebenarnya. “berisik.”
Verana terkekeh-kekeh. “Cocok sama kamu. Pendiam dan cerewet paduan yang baik, tahu? Kalau dia juga pendiam, kamu susah untuk bersosialisasi dengannya.”
Skara terdiam, tidak bisa menjawab dengan pikirannya yang semakin kacau. Setelah Verana membersihkan semua pecahan gelas di bawah, Skara kembali ke ruang tamu. Dia melanjutkan kegiatannya seperti biasa—membaca buku—tetapi pikirannya tidak sama sekali membaca melainkan kosong.
“Skara, gue punya satu pertanyaan. Please lo harus jawab karena ini penting banget.” Denada bangkit dari duduknya, berjalan menuju salah satu bingkai foto keluarga yang tertempel di dinding. Sudah beberapa hari ini dia penasaran akan sosok itu namun dia lupa menanyakannya. “Who's she? Mirip banget sama lo. Pasti kembar, kan?”
Kepala Skara terangkat, menatap sosok Skaya yang tersenyum lebar di foto keluarga tersebut. “She's the best part of my life.” Jawaban tersebut meluncur mulus dari bibir Skara, cukup lembut, namun berbanding terbalik dengan ekspresinya yang semakin dingin entah memikirkan hal buruk apa.
Denada terdiam lama, menatap sosok Skaya lekat-lekat lalu beralih ke Skara. Pertanyaan yang ingin dia lontarkan kembali tertelan saat melihat air muka laki-laki itu. Meski Denada cukup tidak tahu malu untuk merecokinya, dia selalu tahu kondisi mana yang cocok untuk menempatkan diri sehingga kini dia kembali duduk di sofa dengan bibir terkancing erat.
Sambil menunggu suasana kembali, Denada mengusap-usap dagunya. Daripada mati gaya, Denada langsung duduk bersila di atas sofa seolah rumah tersebut miliknya sendiri dan memberi Skara saran, “Skara, apa keinginan lo saat ini? Kegiatan lo monoton banget jadi gue—”
“Lo pergi.”
Denada menelengkan kepala, menatapnya heran. “Apa?” Dia tidak salah dengar, kan?
Skara menutup bukunya sembari berdiri. Tanpa menundukkan kepala, matanya memandang dingin Denada yang posisinya lebih rendah darinya. “Lo pergi sejauh-jauhnya dari kehidupan gue.”
Tertegun sepersekian detik, Denada lalu tergelak keras sampai-sampai memukul lengan sofa. Seolah kata-kata yang terlontar dari laki-laki itu adalah guyonan terlucu yang pernah ia dengarkan. “Mustahil, Skara. Dalam kamu gue, Lydia Denada, menyerah itu nomor terakhir dalam list. Hidup pantang menyerah!”
Sudut bibir Skara berkedut. “Sinting,” cercanya pelan sebelum berlalu meninggalkan gadis yang terjebak dalam semangat 45.
TBC
December 8, 2022.
Vote dan komen jangan dilupa~
KAMU SEDANG MEMBACA
SKARA : Why Me?
Teen Fiction"Gue dan Skaya kembar. Kembar harus merasakan hal yang sama, kan?" **** Skara Agnibrata, cowok yang terlahir dengan kondisi sindrom jantung kiri hipoplasia, membuat fisik dan kondisinya lemah tidak seperti anak-anak pada umumnya. Karena penyakitnya...