Dia Yang Mengusik Hati

154 13 0
                                    

Episode : Maya

Simpang Lima Area Kampus

Seperti malam-malam sebelumnya, aku membantu Emir mendorong grobak dan menyiapkan semua perlengkapan jualan kami. Maklum, kami jualan masih dalam grobak etalase yang didorong kesana-kemari. Biasanya Emir sendiri yang mendorong dari tempat kami memarkir menuju lokasi jualan, tapi beberapa hari ini aku sengaja datang lebih awal agar bisa membantunya.

Kami menjual sosis bakar, nasi goreng hingga jus buah. Semua itu kamu kerjakan berdua, terkadang dibantu Nanang jika dia libur kuliah malam. Alhamdulillah, selama hampir dua tahun ini pemasukan dari jualan lumayan untuk membiayai kuliah kami, juga untuk jajan. Kalau Emir lebih banyak ia kirimkan untuk orangtuanya di kampung. Maklum selain jualan dia sudah magang di salah satu perusahaan bagus, jadi gajinya bisa ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari.

"Kamu sudah selesai kuliah?" Tanya Emir sambil menata kaki grobak agar tidak goyang.

"Sudah, dan minggu depan ada UTS. Semoga saja aku bisa dapat nilai lebih baik, soalnya hampir separuh nilai mata kuliahku C semua." Rengekku berasa frustasi.

Emir nampak mengangguk-angguk, wajahnya datar saja. Mungkin dia tidak begitu merespon ucapanku. Padahal aku berharap sedikit mendapat dukungan, setidaknya senyuman gitu. Tapi ah dia memang selalu begitu, tidak bisa menyenangkan orang barang sedikit saja. Huh, kadang aku juga kesal kalau ngajak ngobrol dia, berasa kayak ngomong sama patung.

"Kamu sih enak, nilaimu bagus semua, tinggal skripsi, itu pun tinggal pembahasan. Kamu juga sudah magang di perusahaan. Hah, enak banget jadi mahasiwa pintar. Masa depan terasa begitu cerah." Lagi-lagi aku sengaja mengeluh untuk memancing reaksinya, tapi tetap saja wajahnya datar, bahkan dia tidak menoleh sedikit pun padaku.

"Kalau begitu minggu depan kamu tidak usah kerja, fokus saja dengan ujianmu. Biar aku saja yang jualan, nanti bisa dibantu sama Nanang."

Seketika mataku berbinar.

"Serius aku boleh libur?"

Emir mengangguk sambil menata telur di etalase.

"Tapi gajiku bagaimana? Pasti dipotong kalau aku libur seminggu?" Aku mulai agak cemas, sebab aku harus menabung untuk biaya penelitian bulan depan.

"Tidak perlu, aku kasih keringanan untuk kali ini karena kamu sudah bekerja keras."

"Yeesss, kamu memang bos yang baik. Makasih Emir." Girangku sambil menepuk punggungnya, namun reaksinya hanya menggeleng heran.

"Hai, Mir. Aku pesan satu porsi dong."

Suara itu membuat Emir seketika menoleh, dan dia tersenyum melihat gadis itu. Hanin, jujur aku tidak menyukainya, dia mulai mengusik pikiranku. Jika dia datang pasti wajah Emir langsung cerah seperti tanah kering diguyur hujan, dan itu membuatku sangat kesal.

Kadang aku meragukan ketulusannya. Anak orang kaya dan cantik sepertinya mana tahu rasanya hidup susah, tapi dia selalu menampilkan sikap manis di depan Emir, seolah dia tahu segala hal tentang Emir dan mendukung aktivitasnya. Huh, pokoknya aku tidak suka melihat wajah Hanin itu, seperti ada udang di balik batu.

"Nasi goreng tiap malam apa gak bosan?" Tanya Emir dengan suara merdu, tidak seperti saat bicara denganku, datar tanpa ekspresi.

Hanin nampak tersenyum memandang Emir yang lagi memasak. Benar-benar rubah licik, dia selalu bisa mengambil hati Emir.

"Ya enggak lah, kan yang masak kamu. Aku datang ke sini dan makan itu sudah seperti self healing, jadi gak bosan, justru bikin bahagia."

Hanin begitu manis, pandai sekali memutar lidah. Aku yang mendengarnya seketika membuang muka.

"Pandai sekali kamu menggombal." Sahutku, sengaja mengusik suasana romantis mereka. Namun Hanin justru tertawa, juga Emir yang nampak malu dan kecewa karena aku merusak obrolan mereka.

"Kenapa May? Kamu terganggu?" Tanya Hanin menatapku, seperti sedang menantang bersaing.

Aku tertawa getir, "Oh tidak, aku tidak terganggu karena kamu pelanggan spesial kami. Aku hanya merasa agak risih. Yaa karena mungkin aku belum mandi." Kataku sambil mengibas-ngibas jilbab kumal yang kupakai sepanjang hari ini.

"Kamu tuh cewek Maya. Rapi sedikitlah agar menarik di pandang. Setidaknya biar gak bau jika dekat orang."

"Sudah-sudah! Kalian jangan bertengkar hanya karena hal sepele!" Sergah Emir nampak terganggu dengan ocehan kami.

"Kamu juga Maya! Jangan banyak bicara yang tidak perlu. Itu justru menurunkan nilaimu di mata orang!"

Aku terbelalak, seperti ada sekilat pedang menusuk jantungku. kenapa hanya aku yang dimarahi Emir, padahal Hanin juga mengatakan hal-hal yang tidak mengenakkan. Ah sudahlah, kuputuskan untuk diam dan melanjutkan lagi pekerjaanku sebelumnya.

"Kecapnya habis, tolong belikan May!" Perintah Emir, padahal setelah kulirik masih ada setengah botol. Entah apa maksud dari perintah ini, mungkin dia tidak ingin aku berkelahi dengan Hanin atau jangan-jangan dia tidak mau waktunya bersama Hanin terganggu.

"Ya." Ketusku lalu melangkah pergi.

Entah apa yang mereka obrolkan setelah itu, tapi aku tahu Hanin nampak tersenyum menang. Emir selalu membelanya dan aku selalu yang salah. Jujur aku benci cara Emir memperlakukan seperti ini, tapi rasa kagum dan sukaku padanya mengalahkan harga diriku.

----0----

Entah kenapa jika Emir yang menegur terasa sangat sakit di hati, meskipun kalimat itu tidak begitu kasar. Bahkan cara dia melihatku yang datar tanpa ekspresi itu saja sudah membuat segores luka. Apakah di matanya aku ini tidak menarik? Apa karena aku tidak cantik? Tidak bisa berpakaian bagus atau karena aku tidak pintar? Semua kekurangan itu, aku merasa tertulis lengkap di matanya sehingga tak sekalipun ia melihatku sebagai wanita. Emir memperlakukanku sebagai karyawan yang bekerja padanya, juga teman biasa yang kebetulan satu jurusan dengannya.

Sudah hampir dua tahun aku bekerja padanya tiap malam. Selama itu pula cara dia memperlakukanku tetap sama seperti dulu. Biasa saja, bahkan kadang menyebalkan.
Mungkin baginya wanita menarik yang mampu membuat jantungnya bergetar itu hanya Hanin, yang lain hanya sponsor lewat.

Kulangkahkan gontai menuju toko untuk membeli kecap. Aku kehilangan semangat sejak Hanin datang. Aku seperti kehilangan tempat di mata Emir.
Perasaan ini terlampau dalam. Kadang aku berharap dia tahu semua perasaan yang sudah terpendam sejak empat tahun lalu, tapi nyatanya hingga kami mau lulus kuliah pun tak secuil perasaanku ia pahami.

Ah, sudahlah. Aku tidak ingin melankolis, aku harus lebih kuat. Bagaimana pun Emir tetap sama di mataku, terlepas bagaimanapun dia memperlakukanku, aku akan tetap setia bekerja padanya. Bagiku semua perjuangan ini, lelah ini dan rasa sakit ini tidak ada apa-apanya dibanding perjuangan hidup Emir untuk sekolah dan membiayai hidup orangtuanya di kampung sana. Tiap memikirkan itu semangatku tumbuh kembali.

Kutarik napas dalam-dalam dan berjalan sambil menyusun semangat memasuki toko.


Happy Reading 🙏
Jangan lupa kritik dan saran sy Terima dengan senang hati ❤💞

Sesederhana itu Mencintaimu (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang