Episode : Maya
Untuk kesekian kalinya aku merasa kembali dan kembali bodoh atas setiap keputusan yang kuambil untuk diriku sendiri. Setelah tiga tahun menunggu Emir, nyatanya setelah bertemu dia sama sekali tidak merasakan bebanku, dia bersikap biasa saja bahkan pura-pura tidak kenal.
Betapa aku masih Maya yang bodoh dan terbelenggu cinta bodoh. Aku memikirkan dan menghabiskan waktu untuk orang yang perasaannya sudah berubah, dan kini yang tersisa hanya rasa kecewa berbalut kebencian. Aku benci pada diri sendiri, aku ingin sekali lari dan kembali lari entah sejauh apa hingga hidup ini tak lagi tersisa sedikit pun tempat untuk Emir.
Malam itu, setelah bertemu dengannya untuk kedua kalinya, rasa kecewa ini kian menumpuk. Aku hanya bisa menangis menyesal dan terus memaki diri sendiri.
Di kamar yang gelap itu, aku menangis lagi. Entah kesekian berapa hingga aku lupa bahwa aku pun ingin bahagia.
Beberapa saat kemudian aku mendengar suara deru mobil masuk halaman, aku tahu itu suara mobilnya Afan. Aku sengaja tidak segera bangkit dari dudukku di lantai, aku enggan untuk menemuinya, aku ingin sendiri malam ini.
"Maya! Ada Afan di depan, keluarlah!" Suara ibu sambil beberapa kali mengetuk pintu kamar.
Aku gagal menyendiri malam ini, setiap kali aku ingin menenangkan diri untuk sejenak berfikir, Afan selalu datang. Kedatangan yang seharusnya membuatku merasa tenang, namun tidak kutemukan ketenangan itu hingga detik ini. Betapa buta diri ini hingga ketulusan dan cintanya tak mampu menembus kerasnya hatiku.
Dengan sedikit ogah-ogahan aku berjalan menemui Afan yang sudah duduk di teras depan. Seperti biasa dia selalu tersenyum, namun kali ini bukan senyum cerah seperti sebelumnya, ada luka di sana, bahkan mungkin seperti rasa kehilangan.
"Apa kamu baik-baik saja?" Tanya Afan menatapku dalam.
Aku mengangguk dan duduk di sebelumnya.
"Aku minta maaf jika mengangguk waktuku, aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Setelah kejadian kemaren di rumah sakit, aku merasa khawatir saja."
Aku mengangguk, mencoba tersenyum meskipun terasa getir.
"Aku baik-baik saja." Kataku tak berani melihat wajah Afan, kuarahkan pandanganku ke langit malam tanpa bintang.
Afan tersenyum mengangguk, senyum sedih. Aku merasa dia sedang menyimpan kesedihan yang berusaha ia tutupi.
"Apakah dia Emir yang kamu tunggu selama ini?"
Degg..
Seketika aku menoleh dan kulihat mata Afan sudah berkaca-kaca. Aku hanya bisa terdiam, ingin sekali jujur tapi mata itu sudah menjawab semua pertanyaan."Jujur sebelumnya aku benar-benar tidak tahu, aku percaya bahwa saat kamu menangis di rumah sakit itu hanya karena kasihan melihat pasien, sampai akhirnya tadi malam aku melihat kalian di kedai. Di situ aku sadar bahwa ternyata sejak awal aku sudah tidak punya jalan untuk memilikimu."
Aku tertunduk merasa bersalah. Aku tahu perasaan ini, semua sakit yang dirasakan Afan juga kurasakan. Jujur aku tidak mau membuatnya terluka seperti ini, tapi kebodohanku tanpa sadar justru menyiksanya.
"Aku minta maaf sebelumnya, Afan. Aku tidak bermaksud mempermainkanmu, aku bahkan tidak tahu harus berbuat apa." Kini aku benar-benar hanya bisa tertunduk antara marah dan benci pada diri sendiri.
"Aku merasa menyesal membuang waktu tiga tahun ini untuk menunggu orang yang bahkan ketika bertemu pura-pura tidak kenal. Aku merasa benci pada diriku sendiri. Aku tidak tahu kenapa aku seperti ini, penyakit yang tidak bisa kuobati." Kataku yang justru lebih dahulu merasakan basahnya pipi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sesederhana itu Mencintaimu (Selesai)
Teen FictionDia yang sangat gigih, pekerja keras, cerdas, berprestasi, juga dia yang hidup miskin hingga harus banting tulang untuk tetap bisa kuliah dan menjadi tulang punggung keluarganya. Dia inspirasi hidupku, seseorang yang membuatku tahu bahwa kesempurnaa...