Tidak Mudah Terganti

88 9 0
                                    


Episode : Maya

Malam itu aku mulai merasa dilema, padahal tidak ada dua orang yang harus kupilih, tapi entah kenapa begitu berat untuk sekedar mengiyakan keinginan ibu. Bagiku Afan orang baru, aku tidak tahu karakternya, masa lalunya dan bahkan hatinya. Aku benar-benar tidak tahu siapa dia, sehingga bagiku sulit untuk lekas menerima proses ta'aruf ini.

Aku mencoba untuk istikharah, bahkan hari itu diam-diam aku datang ke rumah sakit tempat ia bekerja hanya untuk mencari tahu bagaimana keseharian dia dan cara dia memperlakukan orang lain di sekitarnya. Dengan memakai masker aku pura-pura saja duduk mengantri di Poli Umum.

Ya Allah, sejujurnya aku malu melakukan semua ini, apalagi jika nanti sampai ketahuan, mau ditaruh mana wajahku? Oh tidak, memikirkannya saja membuatku takut, tapi toh pada akhirnya aku tetap saja datang.

Bismillah, aku berniat mengenal lelaki ini, aku tidak berharap banyak, hanya sekedar memenuhi kewajibanku sebagai wanita baik yang harus tahu siapa lelaki yang bermaksud melamarnya.

Dari kursi paling pojok, aku bisa melihat Afan melayani pasiennya. Dia nampak ramah dan baik pada siapa pun, sikap ramah semacam pasti membuat dia sangat populer. Ah, sungguh jika boleh jujur aku bukan levelnya.

Ya Allah, aku tidak tahu mana yang terbaik, tapi dia telah datang dalam hidupku maka aku tidak pantas jika langsung menolak sebelum mengetahui betul siapa dirinya. Jika memang berjodoh, aku ikhlas ya Allah menerimanya, dan aku berharap bisa melupakan Emir.

"Ada keluhan apa, Mbak?"

Sontak aku terkejut dan menoleh pada seseorang yang entah sejak kapan duduk di dekatku. Afan, seketika mataku terbelalak dan sesegera mungkin aku menggeser dudukku agak menjauh darinya. Bagaimana dia bisa tahu? Dan senyum itu, dia tahu aku meskipun pakai masker.

"Penyamaranmu mudah sekali diketahui. Kamu tidak pintar ternyata." Katanya dengan senyum ramah, jujur senyum itu membuatku kesal. Hah, mendadak aku menyesali keputusanku untuk datang ke sini.

"Bagaimana kau tahu aku ada di sini?" Tanyaku acuh.

"Harusnya aku yang tanya kenapa kamu datang ke sini? Kamu sakit? Atau... ?" Matanya menyelidik seolah sudah tahu maksud kedatanganku.

Oh Tuhan, begitu bodohnya diriku. Memalukan, dan itu membuat Afan tertawa menang.

"Aku senang kamu datang ke sini dengan keadaan sehat, itu tandanya kamu tidak sedang sakit. Bisa jadi kamu datang karena ingin tahu aktivitasku." Katanya dengan percaya diri.

Aku mendesah makin kesal. Kenapa dia begitu percaya diri? Dan senyum itu, oh sungguh membuatku makin kesal. Aku tidak suka sikap sok akrabnya itu.

"Apa aku membuatmu tidak nyaman?"

"Eee, tidak, hanya saja aku menyesal sudah datang ke sini." Kataku sambil mengalihkan pandangan.

Afan tersenyum mengangguk, senyum getir yang bisa kubaca bahwa kalimatku tadi mungkin telah melukainya.

"Tidak apa-apa, yang penting kamu sudah ikhtiar untuk mengenalku. Jika pun pada akhirnya tidak yakin, ya tidak perlu dipaksakan."

Aku diam sambil melihat beberapa pasien yang tadinya duduk sudah mulai sepi, ternyata jam istirahat siang, pantas Afan bisa duduk di sini.

"Kenapa hatimu tertutup begitu rapat? Apa sengaja kamu melakukan itu?"

Deg.. Kini aku menoleh, dan kulihat tatapan itu lagi. Tatapan hangat dan begitu dalam, jika saja hatiku tidak kututup dengan rapat pasti sudah hancur hanya dengan melihat matanya. Siapa pun wanita di luar sana, aku yakin pasti tergila-gila melihat senyum dan tatapan Afan.

Sesederhana itu Mencintaimu (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang