Teman Berjuang

106 12 0
                                    


Episode : Emir

Setiap kali lelah datang, aku ingat kembali tujuanku hingga di titik ini. Aku ingat perjuangan untuk sampai di sini. Saat aku harus banting tulang dan memeras keringat demi bisa sekolah SMA, harus menutup setiap rasa malu dan gengsi karena bekerja sebagai babu di rumah Dokter Sasongko. Aku ingat betul perjuangan ini sudah kumulai sejak lulus SMP.

Aku tahu rasanya tidak punya uang, dihina, tersisih dan hidup dalam ketakutan. Aku sudah merasakan pahitnya hidup sejak masih kecil hingga tak ada secuil kisah indah saat SMA, karena setiap hari aku harus bekerja keras untuk mencari uang demi tetap bisa sekolah, hingga mendapat beasiswa kuliah di kampus negri jurusan Agroteknologi. Bahkan karena kuasa Allah aku sempat kuliah satu tahun di Thailand, saat itu aku mengikuti pertukaran mahasiswa kampus di RMUTT atau Rajamangala  university of technology Thanyaburi.

Bagi anak gunung yang hidup miskin sepertiku bisa kuliah saja itu sudah luar biasa, apalagi jika bisa sampai ke luar negri. Sebab itu aku tak ingin mengecewakan orangtuaku yang sudah mendoakan dan mendukung selama ini.

---o---

Kutatap dua amplop coklat berisi uang gaji untuk Maya dan Nanang. Mereka teman berjuang selama ini, tanpa mereka aku pun tidak bisa menjalankan bisnisku dengan baik. Mereka berdua tahu siapa aku dan bagaimana hidupku selama ini. Bahkan saat aku tidak punya sepatu ganti untuk kuliah, Nanang selalu memberi pinjaman. Pun Maya yang masih bersabar bekerja mengelola bisnisku meskipun aku sering memarahi dan kasar padanya.

Jika dilihat dari periode kami memulai bisnis, bulan depan adalah tahun ketiga, seharusnya bisnis ini sudah berkembang, mengingat pelanggan kami cukup banyak, bahkan sering kewalahan meskipun sudah dihendel dua orang.

Kupikir sebaiknya aku harus mengajak mereka diskusi. Tapi, Maya dan Nanang masih harus fokus menyelesaikan kuliah satu semester ini, apa bisa?

"Alhamdulillah hari ini gajian, aku berencana service motor. Sudah saatnya ganti oli." Suara Nanang yang baru datang, seketika duduk. Matanya berbinar melihat amplop coklat di tanganku.

"Maya mana?" Tanyaku sambil melihat sekeliling, karena biasanya dia lebih rajin daripada Nanang.

"Katanya lagi sibuk belajar, persiapan UTS."

Aku mengangguk begitu saja, entah kenapa kalau Maya tidak datang pasti ada perasaan curiga. Aku sudah mengenalnya cukup lama, tahu betul bagaimana karakter dan sifatnya. Bahkan di saat ujian pun dia selalu menyempatkan waktu untuk datang mengambil gaji. Apa dia sudah tidak butuh uang? Atau dia marah karena kejadian tempo hari?

Aku ingat sepulang membeli kecap dia enggan bicara padaku sepanjang malam,  lebih banyak diam terutama saat Hanin masih di kedai. Ah entahlah, aku tidak tahu pikiran gadis itu, tapi kadang aku juga merasa bersalah karena terlalu kasar.

"Kamu pacaran ya sama Hanin?"

Aku tersentak dengan pertanyaan Nanang yang tiba-tiba, apa lagi dia memandangku dengan wajah curiga. Aku tertawa mencoba mencairkan suasana.

"Kenapa kamu berfikir begitu? Apa kamu pikir aku ikut kajian selama ini hanya pencitraan belaka."

"Tapi aku curiga karena kalian terlalu dekat, apa lagi Hanin sering datang dan memberimu hadiah ini dan itu. Hati lelaki mana yang bisa tahan? Jika memang sudah saling suka lebih baik dilamar saja biar gak jadi fitnah!"

Seketika aku terdiam, apakah sungguh orang lain melihat kami seperti sedang berpacaran? Astaghfirullah, aku bahkan tidak sadar akan hal ini.

"Dengar, Nang. Aku jujur gak ada hubungan apa-apa sama Hanin, ya meskipun kamu tahu sendiri aku cukup tertarik dengannya, tapi.. "

"Nah itu! Itu yang harus kamu tegaskan, rasa tertarik macam apa? Kalau beneran suka ya lamar saja, toh kamu hampir lulus, mahasiswa kebanggaan kampus dan pinter cari duit, jadi tidak sulit menaklukan keluarganya Hanin. Kamu harus sudah berfikir sejauh itu." Cerocos Nanang seolah pakarnya.

Aku hendak menyambung kalimat itu namun pandanganku terhenti saat menyadari Maya sudah berdiri di depan pintu ruang tamu kos-ku. Wajahnya nampak memerah, dan sorot matanya redup. Entah apa tapi aku merasa ada yang sedang berkecamuk di hatinya. Ia nampak tidak suka mendengar obrolan kami.

"Kamu sudah datang." Basa-basiku karena takut salah kata dan menyakitinya.

Dia hanya tersenyum tipis lalu duduk tak jauh dari Nanang. Selepas itu tak ada suara lagi, padahal biasanya Maya sangat cerewet dan pengatur.

"Punyamu bulan ini, terimakasih sudah bekerja keras." Kataku sambil menyodorkan amplop di hadapannya, dan Maya hanya tersenyum mengangguk. Senyum yang dipaksakan.

"Benarkan May, kalau Emir tuh kayak pacaran kalau lagi sama Hanin?" Serobot Nanang sambil menyenggol bahu Maya yang tertutup jilbab. Jujur aku kaget dan merasa sangat malu.

"Aku gak tau, itu kan urusan Emir dan Hanin. Aku gak ikut campur." Sahut Maya  dingin sambil memasukkan amplop gaji dalam tas ranselnya.

Ya Tuhan, aku benci suasana canggung ini. Nanang tidak pernah bisa memahami situasi. Ia terlalu blak-blakan bahkan pada Maya yang jelas-jelas bermusuhan dengan Hanin.

Melihat wajah Maya saat itu membuatku tak ingin banyak bicara tak penting lagi, seketika kutarik napas dan menjelaskan rencanaku untuk mengembangkan bisnis kami. Kubuka leptop dan menunjukkan grafik kenaikan omset selama setahun terakhir.

"Jadi begini teman-teman, melihat grafik pertumbuhan ini, aku berencana menjual fokus produk kita. Jika sebelumnya nasi goreng, jus dan sosis jadi satu kini aku ingin mereka terpisah. Dengan begitu kita bisa melihat mana yang lebih prospek, setelah menemukan fokus produk kita bisa membesarkan bisnis ini. Beruntung jika bisa menyewa ruko. Gimana menurut kalian?"

"Aku sih setuju saja asal ada anggarannya. Untuk tenaga bisa kita bertiga saja, misal aku khusus jualan jus, Maya sosis dan Emir nasi goreng. Gitu saja sementara buat hemat biaya." Sahut Nanang nampak antusias.

"Oke, tidak masalah. Aku siap kapan saja. Lagian setelah lulus kuliah kita bisa mengandalkan bisnis ini sebagai kesibukan, juga batu loncatan untuk dapat pekerjaan yang lebih bagus, atau justru bisa kita kembangkan hingga besar." Sambung Maya, matanya kembali berbinar. Itu artinya semangatnya sudah pulih kembali. Aku lega melihatnya.

"Growth mindset dulu yang penting. Fokus pada langkah pertama, insya Allah sampai pada 1000 langkah selanjutnya." Sahutku memberi mereka motivasi.

"Bagus, aku sangat bersemangat untuk hal ini."

Kulanjutkan memaparkan setrategi marketing macam apa yang akan kami gunakan dalam hal ini. Sebisa mungkin aku menjelaskan dengan cara sederhana  agar mereka mudah paham. Aku sangat bersyukur karena selama ini Nanang dan Maya bisa mengikuti ritme mindset dan cara kerjaku.

Alhamdulillah, selama setahun ini magang di bidang Marketing salah satu perusahaan pembenihan, aku cukup banyak dapat ilmu sehingga seringkali kupraktekan langsung dalam bisnisku yang masih kecil ini.

"Gagal produk lebih baik daripada gagal branding. Karena jika brand yang terbentuk hancur maka habis sudah. Jadi sebisa mungkin kita membangun brand kita agar lebih kuat lagi. Dan ini bisa terbentuk saat kita sudah memiliki fokus produk. Kita evaluasi lima bulan lagi." Paparku memandang mereka satu per satu. Salah satu caraku menyampaikan ilmu agar sampai di hati mereka.

"Sudah kayak dengerin Jeck Ma berbicara." Nanang mengakhiri kalimatnya dengan tawa ringan.

"Emir sudah punya personal branding, dengan modal itu saja seharusnya kita bisa jalan. Bukan begitu?" Tanya Maya agak ragu.

Aku tertawa. "Personal brand itu jalan  jika yang jualan artis atau orang yang sudah punya brand bagus di mata masyarakat. Sedang aku belum punya hal itu, jadi kita belum bisa pakai strategi itu." Paparku pada Maya, dan dia nampak berfikir.

"Padahal bagiku kamu itu sudah kayak artis."

Aku dan Nanang terbelalak dan seketika kami bertiga tertawa.

Terima kasih teman-teman sudah berjuang bersamaku selama ini.



Happy Reading. 🙏
Terima kasih sudah membaca.

Sesederhana itu Mencintaimu (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang