Episode : Maya
Hari-hari berlalu, aku berusaha untuk melupakan dan melenyapkan setiap harapan yang pernah tumbuh. Aku sengaja di rumah cukup lama untuk menata hati sebelum kembali ke kampus dan menyelesaikan semua tugas skripsiku. Hari ini Emir mengirim pesan singkat bahwa dia Wisuda. Entah kenapa membaca pesan itu membuat hati ini masih terasa sesak.
Aku tahu dia telah berjuang keras untuk sampai di titik ini, aku ingin sekali mengapresiasi atas keberhasilannya, tapi aku tidak sanggup, aku takut terjatuh lagi, sehingga kuputuskan untuk mengabaikan pesan itu, tidak kubalas meskipun aku sangat ingin.
Aku telah memutuskan untuk melupakan, maka aku tidak boleh goyah. Apa pun yang terjadi dengan Emir sudah bukan urusanku lagi. Aku ingin mandiri tanpa dia, dan aku yakin bisa.
---o---
Hari itu saat aku baru selesai sholat dhuhur, Tiba-tiba ibu masuk kamar dan mendekatiku yang lagi melipat mukenah.
"Ada temanmu datang." Kata ibu dengan wajah agak khawatir.
"Siapa, Bu?" Tanyaku agak aneh dengan cara ibu memandangku saat itu.
"Emir datang ke sini."
Deg..
Seketika kurasakan dadaku berdesir hangat lagi, kembali mampu kudengar genderang degup jantung yang membisingkan telinga. Mendadak sekujur tubuhku memanas."Bicara dengan baik-baik, jangan emosi. Dia datang untuk meminta maaf. Jika marah jangan sampai berkata kasar, hargai siapa pun yang datang meskipun kita tidak menyukainya." Saran ibu yang begitu meneduhkan bagiku.
Aku mengangguk, "Iya, Bu."
Setelah itu aku berjalan menuju ruang tamu. Sebelum benar-benar masuk ruang tamu, sejenak aku berhenti mengintip dari balik dinding. Ya Allah sungguh itu lelaki yang berhasil membuat hatiku runtuh. Tiba-tiba terselip rasa rindu yang sulit sekali kukendalikan hingga tak terasa mata ini berkaca-kaca.
Perlahan kutepuk-tepuk dadaku sambil banyak-banyak beristighfar. Setelah menarik napas cukup dalam aku masuk ruang tamu. Sesaat kami saling melihat, aku bisa mengetahui rasa bersalah dari sorot matanya, juga rasa hangat yang entah sejak kapan tercermin di sana. Melihat mata itu membuatku goyah, sehingga kuputuskan untuk segera mengalihkan pandangan dan segera duduk.
"Bagaimana kabarmu? Sehat?" Tanya Emir dengan suara nampak berat, seperti ada yang ditahan.
"Alhamdulillah, sehat." Kataku menundukkan kepala. Aku berusaha memberi jarak sejauh mungkin agar tidak kembali goyah.
"Alhamdulillah." Katanya nampak canggung.
Beberapa saat kami saling terdiam. Aku melihat dia nampak ingin mengatakan sesuatu tapi berat, sehingga beberapa kali hanya menarik napas dan tersenyum melihatku. Tiba-tiba susana begitu canggung, padahal sebelumnya kami sangat akrab bahkan mungkin seperti saudara saking sudah bersama setiap hari, tapi hari ini kami seperti dua orang yang baru kenalan.
"Selamat atas wisudanya kemaren." Kataku mencoba memecah suasana tegang ini.
"Eee, iya. Terima kasih." Sahut Emir, wajahnya nampak sedikit kecewa. Dia seperti mengharapkan lebih dari sekedar kata itu.
"Ee, aku, datang untuk kembali minta maaf. Aku sadar semua karena kebodohanku. Aku sungguh minta maaf."
Aku diam, namun aku tahu Emir menatapku nanar, terlihat jelas penyesalan di sana. Hatiku hampir saja luluh jika tak segera kualihkan pandangan.
"Tidak apa, kamu tidak salah jadi tidak perlu minta maaf. Aku, memutuskan untuk berhenti bukan karena kejadian itu, tapi karena aku ingin fokus lulus kuliah dulu. Aku ingin membahagiakan otangtuaku juga."
Emir mengangguk tersenyum tipis. Aku tahu dia kecewa atas keputusanku, tapi aku harus kuat tidak boleh lengah.
"Aku tahu itu, semoga Allah mudahkan semua. Selain kamu, Nanang juga memutuskan untuk berhenti. Jadi aku pikir jika tetap ingin menghidupkan bisnis, aku harus mencari orang lain." Katanya, berusaha tegar meskipun gagal karena aku mampu melihat kesedihan itu.
Sebenarnya aku cukup kaget, karena Nanang tidak bilang apa-apa padaku. Aku yakin hal ini sangat berat bagi Emir.
"Insya Allah kamu akan menemukan partner bisnis yang lebih baik dari aku dan Nanang."
Emir mengangguk ragu, matanya menerawang jauh, nampak memikirkan sesuatu yang lebih berat. Aku tidak tahu apa itu tapi jujur hatiku perih melihat wajahnya saat itu. Aku belum pernah melihat Emir seperti itu, nampak jelas sekali kesedihan dari seluruh lekuk wajahnya, seperti kehilangan harapan.
"Bukan tentang siapa yang menggantikan, tapi." Suaranya tertahan, sedang aku masih melihatnya menunggu apa yang akan ia katakan.
"Aku akan pindah ke Madiun, kantor memindahkan tugasku ke sana. Jadi kemungkinan bisnis ini memang tidak akan kulanjutkan. Jika pun ingin, entah kapan karena aku belum punya gambaran lagi."
Degg..
Pindah? Itu artinya aku akan kesulitan untuk bertemu atau melihatnya. Sekita aku terdiam tertunduk, kurasakan mataku mulai panas. Harusnya aku bahagia karena dengan begitu aku mudah untuk melupakannya, tapi justru yang hadir adalah rasa sesak yang membuat mata ini akhirnya basah."Terima kasih banyak atas semua kerja kerasmu selama ini, juga untuk semuanya yang sampai saat ini aku belum mampu membalasnya."
Aku masih tertunduk, sejujurnya aku tidak berani mengangkat wajah karena takut airmataku jatuh.
"Aku rasa, aku belum mampu mewujudkan semua impian yang pernah kita tulis bersama. Semoga suatu saat Allah kasih kesempatan untuk mewujudkannya, karena aku masih ingin bekerjasama denganmu."
Aku masih diam, sambil sesekali menarik napas dalam yang begitu berat.
"Terima kasih Maya, aku bersyukur pernah menjadi teman dan partner bisnismu."
Kali ini kuberanikan melihat Emir saat suaranya mulai terdengar tercekat, dan sungguh kutemukan rasa kehilangan dari sorot matanya. Aku seperti melihat kucing kecil yang terbuang di pinggir jalan, seperti kehilangan seluruh tenaganya.
"Aku yakin kamu akan sukses, karena selama ini kamu telah berhasil melewati banyak tantangan hidup. Kamu kuat, sabar, tidak pernah mengeluh dan selalu ikhlas menjalaninya. Aku sangat yakin kamu akan bahagia dan bertemu orang-orang baik di mana pun kamu berada. Kamu bisa menjadi singa di mana pun kamu tinggal." Aku berusaha keras menahan air mata saat mengatakan semua itu.
"Terima kasih, doa yang sama kembali padamu."
Aku mengalihkan pandangan, kali ini kuusap air mata yang sudah jebol tak tertahankan lagi. Aku ingin mengatakan sesuatu tapi terasa sangat berat, dan entah pada detik keberapa bapak tiba-tiba masuk ruang tamu dan duduk di sampingku. Seketika itu buyar sudah pikiranku, bapak menyelamatkanku dari kebodohan yang bisa jadi akan kuulang lagi.
"Maaf Nak Emir, untuk sementara Maya biarkan fokus kuliah, tidak bekerja dulu sampai benar-benar selesai skripsinya. Bapak hanya tidak ingin dia lupa dengan tugasnya, jadi biarkan Maya fokus dulu." Kata bapak, nampak tidak ingin aku terlalu lama duduk di sana. Mungkin bapak masih terluka atas kejadian tempo hari yang menimpaku.
"Saya sangat mengerti, Pak, dan saya juga meminta maaf atas semua yang telah terjadi. Saya datang ke sini untuk menjelaskan semua agar tidak terjadi kesalahpahaman." Sahut Emir sopan dan nampak sungkan.
Bapak mengangguk begitu saja dan tak lama dari itu bapak memintaku untuk masuk kamar saja, membiarkan Emir ngobrol sejenak dengannya. Entah apa yang mereka obrolkan namun tak lama kemudian Emir memutuskan untuk pulang, dan Bapak pun tak memintaku untuk mengantar kepergiannya, sehingga aku hanya bisa melihatnya dari balik jendela, melihat deru motor dan punggung tegap itu berlalu pergi.
Kini yang tersisa hanya sesak yang ternyata jauh lebih menyiksa dari sebelumnya.
Apakah selepas ini aku tidak akan bertemu dengannya lagi? Entah kenapa perjalanan hatiku setelah ini akan terasa lebih sulit, dan mataku pun basah lagi.
Happy Reading 🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Sesederhana itu Mencintaimu (Selesai)
Teen FictionDia yang sangat gigih, pekerja keras, cerdas, berprestasi, juga dia yang hidup miskin hingga harus banting tulang untuk tetap bisa kuliah dan menjadi tulang punggung keluarganya. Dia inspirasi hidupku, seseorang yang membuatku tahu bahwa kesempurnaa...