Penyesalan

97 7 3
                                    


Episode : Emir

Aku ingin berhenti

Pada akhirnya yang paling kutakutkan terjadi, kehilangan Maya dan semua aset bisnisku. Hatiku remuk, pikiranku mendadak kosong dan mataku tak terasa sudah basah saat membaca pesan dari Maya. Dia yang kuharapkan untuk tetap bertahan, yang kuharapkan bisa menemani setiap langkah berat dan bimbang ini, ternyata memutuskan untuk meninggalkanku.

Aku pantas menerima semua ini, karena aku tidak pernah memikirkan perasaan Maya selama ini. Aku lelaki yang tidak tahu terima kasih dan buta melihat ketulusan. Aku baru sadar setelah Maya benar-benar pergi, aku baru sadar dia begitu berharga melebihi Hanin yang membuat hatiku bergetar.

Mungkin aku hanya tidak pernah sadar bahwa aku menyukai Maya karena kami bertemu setiap hari, berdiskusi dan bekerja sama. Aktivitas itu yang membuat semua terasa biasa, seolah dia hanya teman biasa. Namun saat dia pergi barulah aku sadar bahwa aku menyukainya. Aku sadar saat dia sudah pergi dan mungkin memutuskan untuk berhenti menyukaiku.

Seketika kupukul tembok yang ada di depanku hingga tanganku lecet. Aku benci pada diriku sendiri.

"Sebenarnya apa yang kuharapkan dari semua ini? Kenapa aku begitu bodoh!" Aku menangis, ini pertama kalinya aku meneteskan airmata karena seorang wanita.

Beban ini akan lebih berat setelah aku mendapat keputusan untuk pindah tugas ke luar kota. Setelah wisuda nanti kantor menugaskanku ke kota Madiun, jarak yang cukup jauh dari Surabaya, itu berarti aku akan sulit untuk bertemu dengan Maya dan membangun bisnis kami lagi. Ya Allah, kenapa mendadak semua begitu gelap dan suram.

Apakah ini akhir dari semua perjuanganku selama ini?

Braaakkk..
Nanang mendobrak pintu kamarku dengan kasar, wajahnya bersungut-sungut marah, nampak sekali ia ingin memukulku namun berusaha keras ia tahan.

"Setelah dua gerobak hancur, kini Maya mengundurkan diri. Bagus, bubarkan saja bisnis bodoh ini!" Teriaknya penuh emosi.

Aku memilih tertunduk duduk di lantai sambil bersandar pada dinding. Aku tidak akan membela diri, aku terima setiap makian dari Nanang.

"Beginilah caramu berterima kasih pada Maya? Setelah semua yang dia berikan? Dia bahkan rela tidak libur demi menggantikanmu saat kamu sidang, dia rela datang mendorong gerobak dan memenuhi apa pun perintahmu. Dia itu sudah seperti mesin bagimu Mir, tapi coba lihat sekarang dia memilih pergi karena sudah tidak kuat dengan keegoisanmu. Meskipun aku tidak pernah bilang tapi aku tahu Maya sangat kecewa. Aku tidak habis pikir, sebenarnya isi kepalamu itu apa sih Mir?"

Aku masih diam, menahan mataku yang panas.

"Aku tahu Maya menyukaimu, dan kamu pun tahu itu, tapi kamu pura-pura buta, sehingga seenaknya kamu bisa dekat dengan Hanin. Aku tidak tahu apa maumu Mir! Bahkan hubunganmu dengan Hanin saja masih tidak jelas. Jangan jadi cowok brengsek seperti itu."

Aku masih diam, masih tertunduk mendengar semua ocehan itu, aku sadar seperti itulah diriku. Nanang benar, tak salah menilaiku.

"Harusnya kalau kamu tidak bisa membalas perasaan Maya, ya tidak usah pura-pura dekat dengan Hanin. Lihat sekarang! Gara-gara ulahmu gerobak kita rusak, bisnis kita berhenti. Mungkin kamu dan aku tidak masalah, tapi bagaimana dengan Maya? Dia bisa kuliah dari bekerja dengan kita, dia telah banyak berkorban untukmu. Apa sedikit pun kamu tidak kasihan?"

Kini mataku kembali basah, tak terasa airmata ini kembali menetes.

"Setelah kupikir-pikir kita bubarkan saja bisnis ini. Tidak perlu bermimpi tinggi karena ternyata kamu tidak pernah menghargai perjuanganku dan Maya."

Kutarik napas panjang dan kuberanikan diri melihat wajah Nanang yang masih garang.

"Aku minta maaf. Aku tahu semua salahku, aku pun tidak menyangka akan terjadi hal semacam ini."

"Alaaaahh basi! Aku yakin sebelum memutuskan untuk mendekati Hanin kamu pasti sudah berfikir siapa Hanin dan semua mantan-mantannya, tidak mungkin kamu tidak berfikir sejauh itu."

"Baiklah, terserah apa katamu. Aku akan menerima konsekuensinya. Aku pantas disalahkan."

Nanang menarik napas panjang, seperti sedang mencoba meredam emosinya, dan ia pun ikut duduk di lantai bersandar pada tempat tidur. Dia diam menatapku tajam.

"Sekarang apa kamu menyesal? Apa kamu merasa kehilangan semua?" Tanya Nanang menatapku nanar.

"Memang apa yang kamu lihat dariku?" Tanyaku balik, mencoba memahami apa yang tersirat dari wajah Nanang. Dia sahabatku sejak SMA, dia yang tahu betul siapa aku dan semua perjuanganku selama ini melebihi Maya, dan Nanang pula yang dulu sering memberiku tebengan saat aku masih menjadi pembantu di rumah dokter Sasongko. Sebab itu aku tak pernah membantah kata-katanya, mungkin justru dia lebih tahu aku daripada aku sendiri.

"Setelah kupikir-pikir, aku pun tidak sanggup untuk bekerjasama denganmu lagi. Setelah semua kejadian ini, aku ingin fokus sidang dan setelah lulus akan pulang ke Pasuruan, aku akan cari kerja di sana." Suara Nanang terdengar lebih rendah tanpa emosi yang meluap, tapi justru suara itu yang membuat hatiku makin hancur.

Kini gambaran masa depan yang ingin kubangun, yang selama dua tahun ini aku bekerja keras untuk mewujudkan, terpaksa kurelakan untuk hancur. Tanpa Nanang dan Maya aku gak akan bisa mewujudkan semua impian itu, dan sekarang yang tersisa hanya penyesalan karena tidak bisa menghargai pengorbanan dan ketulusan mereka padaku.

Sejujurnya aku tidak menyangka akan seperti ini jadinya. Semua ini bermula dariku yang terlalu berharap bisa merubah Hanin untuk berjilbab, aku tidak memikirkan betul-betul tentang permintaan itu, dan sampai saat ini pun aku tidak tahu alasan dia mendekatiku, karena setelah kejadian itu Hanin tidak pernah datang lagi. Jadi sungguh di sini aku yang begitu buta, tidak sadar jika telah dipermainkan.

"Mungkin kejadian ini salah satu cara Allah membuka matamu, siapa yang tulus dan siapa yang sekedar bermain-main." Kata Nanang sambil memandang ke arah jendela, mendadak kutemukan lagi kebencian dari sorot matanya.

"Hari ini aku melihat Hanin, dia lepas jilbab dan balikan dengan mantannya."

Aku terdiam, entah kenapa aku tidak merasa cemburu atau marah. Setelah tahu siapa yang merusak gerobak itu aku sadar bahwa di sini aku memang sedang dipermainkan. Jadi aku tidak kaget.

"Aku minta maaf jika selama ini salah menilaimu. Beruntung kamu tidak sampai pacaran atau menikahinya, karena bisa jadi tidak hanya gerobak yang hancur, tapi kamu juga." Kata Nanang sambil berdiri lalu mengulurkan tangan padaku.

Aku tersenyum meraihnya dan turut berdiri.

"Terima kasih, sudah menjadi sahabat terbaik dan selalu mengingatkanku."

Nanang tersenyum sinis sambil meremas tanganku, cukup membuatku meringis kesakitan namun kemudian kami tertawa.

Biarlah semua kerugian itu menjadi pelajaran buat kami, terutama diriku sendiri. Aku bersyukur karena dengan begitu akhirnya aku tahu siapa yang tulus dan siapa yang hanya sekedar mempermainkan. Aku tidak marah pada Hanin, justru aku berterima kasih, berkat kedatangannya aku tahu siapa yang sebenarnya aku sukai.

Maya.


Happy Reading 🥰
Terima kasih sudah membaca 🙏

Sesederhana itu Mencintaimu (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang