Episode : Maya
Hanin berhijab. Seharusnya aku senang karena itu tandanya ia sudah berhijrah, berubah menjadi lebih baik, tapi justru yang kurasakan sebaliknya, aku merasa resah, dan jujur cemburu. Aku yakin setelah ini Emir akan semakin menyukainya, dan bukan tidak mungkin datang melamar. Bukankah memang itu yang diharapkan Emir, perubahan Hanin.
Sedang aku? Gadis kusam yang berpakaian seperti apa pun tidak akan dipandang cantik. Kata Nanang gadis sepertiku tidak mungkin membuat cowok tergoda, sebab tidak ada yang menarik. Itu mungkin juga alasan kenapa Emir tak pernah melihatku sebagai wanita.
"Lihat May, bukankah itu Hanin!" Suara Anisa yang sebelumnya duduk makan bakso bersamaku di kantin fakultas.
Aku menoleh dan kaget melihat Hanin sedang dibonceng motor seorang cowok. Dari postur tubuhnya aku yakin itu bukan Emir, karena motor yang digunakan pun bukan punya Emir. Lalu siapa cowok itu? Kenapa Hanin bisa sampai merangkul mesra seperti itu.
Astaghfirullah.
Dadaku berguncang cukup hebat. Pikiranku ke mana-mana."Bukankah kamu bilang Emir lagi dekat dengan Hanin, kok dia boncengan kayak gitu sama cowok lain? Sudah berjilbab kok kayak gitu." Cerca Anisa merasa heran.
Aku masih terdiam, merasa ada batu granit menghimpit dada hingga tak ada suara mampu kukeluarkan.
"Itu mantan Hanin, mereka pasti balikan lagi." Sahut Rosa yang duduk makan bersama kami.
Mantan?
Astaghfirullah, aku lupa kalau Hanin dulu suka gonta-ganti pacar, mungkin karena cantik hingga mudah baginya menaklukan hati cowok."Masak sih, kan sudah lama dia dekat sama Emir, hampir sekampus ini tahu dia naksir berat ke Emir. Dia pamer di medsos bahkan sering cerita ke teman-teman fakultasnya." Cerita Rosa yang nampak tahu banyak.
"Kamu tahu dari mana?" Anisa penasaran.
"Teman satu kosku itu satu geng dengan Hanin, jadi tahu banyak dan dia sering cerita."
"Entahlah, yang pasti Hanin masih dalam proses belajar hijrah. Jadi aku berusaha memaklumi itu." Kataku menahan kesal.
"Dan kamu percaya itu? Kalau aku enggak." Putus Rosa sadis. Ia biasa berbicara kasar tapi aku tahu dia selalu jujur.
Sebenarnya aku marah, aku merasa gadis itu diam-diam mempermainkan hati Emir, atau jangan-jangan dia mendekati Emir hanya penasaran saja. Apa pun itu sungguh aku ingin sekali menyelidiki kebenarannya. Aku tidak mau Emir terluka.
---o---
Sore itu aku bergegas menuju lokasi kedai sosis tempatku jualan, karena masih banyak hal yang harus kupersiapkan terutama beberapa bahan habis dan harus belanja sebelum jam buka. Dengan menaiki sepeda aku bergerak cepat, namun setelah sampai lokasi aku terpaku hingga tak sadar sepedaku ambruk begitu saja.
Dua gerobak etalase milik kami rusak total, kacanya pecah, roda lepas, laci dan badan gerobak hancur. Seketika tubuhku lemas, aku berteriak menangis.
"Ya Allah, ada apa ini? Siapa yang merusaknya?" Aku bingung bukan main, antara marah, kesal dan sedih. Perasaanku campur aduk. Gerobak ini satu-satunya jalan kami mencari rezeki untuk tetap bisa bayar uang kuliah. Jika rusak seperti ini kami tidak bisa jualan, dan butuh uang untuk membeli yang baru sedang anggaran bulan ini habis untuk bayar sewa tempat.
Airmataku menderas, sambil sesenggukan aku mencoba telephon Emir.
"Assalamu'alaikum, ada apa May?"
Aku masih mencoba Menormalkan napas namun pada akhirnya justru aku menangis makin kencang. Emir di ujung sana makin bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sesederhana itu Mencintaimu (Selesai)
Teen FictionDia yang sangat gigih, pekerja keras, cerdas, berprestasi, juga dia yang hidup miskin hingga harus banting tulang untuk tetap bisa kuliah dan menjadi tulang punggung keluarganya. Dia inspirasi hidupku, seseorang yang membuatku tahu bahwa kesempurnaa...