Rindu dan Sekarat Rasa

96 10 1
                                    


Episode : Maya


"Bagaimana menurutmu tentang Afan?" Tanya ibu saat sarapan pagi itu.

Aku diam sejenak sambil menatap nasi di atas piring. Bagaimana aku harus menjawab? Ini pertama kalinya ibu nampak begitu suka dengan seseorang, terlepas dia anak sahabatnya atau bukan tapi aku sadar Afan pintar sekali mengambil hati orang.

"Dia baik." Jawabku singkat.

"Kenapa kamu hanya menjawab seperti itu? Kamu tidak suka dengannya? Masih memikirkan Emir?"

Apa? Seketika aku mengangkat wajah memandang ibu dengan penuh kebingungan, tanpa sadar aku telah melamun.

"Aku, masih bingung, Bu. Aku tidak mudah percaya dengan orang yang baru kukenal. Mungkin Afan memang baik, tapi aku belum yakin sepenuhnya, karena dia orang baru bagiku. Aku butuh waktu."

Mendengar jawabanku ibu nampak kecewa.

"Maya, bukannya Ibu memaksamu, tapi tidak baik membuat orang menunggu? Afan itu punya segalanya, dia dari keluarga baik dan dia juga seorang dokter. Apa lagi yang membuatmu ragu? Apakah karena Emir? Kamu belum bisa melupakannya?"

Aku memilih diam, karena aku tahu situasi semacam ini pasti akan semakin panas jika aku banyak bicara.

"Kita itu bukan orang kaya, Maya. Ibu tidak enak membuat tante Fatma menunggu, apalagi dia sangat menyukaimu. Afan sendiri sepertinya sudah mulai menyukaimu."

"Bagaimana Ibu tahu kalau dia menyukaiku? Afan tidak pernah mengatakan itu padaku." Tanyaku yang entah kenapa tidak suka dengan pernyataan ibu kali ini.

"Afan itu baik dan sangat penurut pada ibunya, buktinya dia bersikap baik padamu. Itu bukti bahwa dia lelaki yang baik yang bisa mencintaimu."

Aku menarik napas dalam-dalam. Apakah bisa menilai seseorang hanya beberapa kali bertemu? Aku tidak ingin menilai Afan terlalu cepat sebab aku baru beberapa kali bertemu, tapi Emir, aku bahkan tahu setiap sudut perjalanan hidupnya. Aku paham karakter bahkan apa yang terlintas di pikirannya. Sudah sehebat itu dia menguasai hati dan pikiranku, sebab itu sangat sulit bagiku untuk mengganti sosoknya.

Emir mungkin bukan lelaki sempurna, dia mungkin hidup di antara tiang-tiang kesulitan, tapi justru di situ aku melihat kehebatannya. Dia lelaki paling ikhlas yang pernah ku kenal, lelaki yang tetap kuat dalam gempuran ujian hidup. Itulah yang membuatku yakin.

"Tapi setidaknya berikan kepastian agar Afan tidak menunggu terlalu lama." Sergah ibu nampak sedikit memaksa.

"Tapi Afan tidak memaksaku untuk menerimanya, Bu. Dia bilang kita bisa berteman untuk sementara sampai aku yakin."

"Tapi mau sampai kapan? Usiamu sudah siap menikah. Ibu hanya ingin kamu bahagia, dan menikah dengan lelaki baik."

"Sudahlah, Bu. Biarkan keputusan Maya yang mengambil, kita tidak perlu ikut campur. Yang menikah di sini Maya, bukan kita! Jadi biarkan Maya yang menentukan, tidak perlu memaksa." Sahut bapak yang baru keluar dari kamarnya.

Ibu seketika diam.

"Maafkan aku, Ibu." Aku tertunduk merasa bersalah.

"Jangan terlalu diambil pusing. Tante Fatma juga tidak memaksa, dia menyerahkan keputusan padamu, hanya ibumu saja yang terlalu berambisi punya menantu dokter." Tambah bapak sambil duduk di dekat kami, dan ibu nampak sedikit kesal dengan pernyataan bapak.

Ya Allah, aku semakin merasa tidak enak sebab telah membuat bapak dan ibu berbeda pendapat.

"Jika kamu tidak yakin ya tidak perlu dilanjutkan. Pernikahan ini yang menjalani kamu, bukan kami. Hanya saja, Emir belum tentu akan datang, jadi kamu bisa berfikir sendiri mana keputusan terbaik yang bisa kamu ambil." Kata bapak lebih bisa memahami perasaanku.

Sesederhana itu Mencintaimu (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang