Episode : EmirSaat itu, entah badai dari mana yang mendorongku untuk berani datang ke rumah Maya. Aku merasa harus minta maaf secara langsung dan mengatakan perasaanku yang sebenarnya. Keberanian itu datang karena aku merasa kesempatanku hanya tinggal ini, dan aku takut kehilangannya. Aku menyukainya, bahkan kali ini aku punya niat untuk melamar secara pribadi langsung kepada orangtuanya.
Mungkin ini mendadak, tapi sebelum datang aku sudah berfikir puluhan kali, sudah menyiapkan mental dan hati. Aku tahu mungkin hasilnya bisa jadi tak sesuai harapan, tapi setidaknya aku sudah jujur dan ingin berkomitmen. Aku lelaki yang telah belajar ilmu agama, aku tidak ingin berpacaran. Aku akan bertanggungjawab atas perasaan yang sudah tumbuh ini. Lebih dari sekedar rasa suka, tapi ingin memiliki.
---o---
Kerinduan ini akhirnya terobati, meskipun begitu sulit tapi aku bisa melihat wajah sendu itu lagi. Bekas tamparan itu sudah hilang dari pipinya, aku sangat lega tapi juga sedih, sebab Maya yang kulihat hari ini bukan lagi Maya yang dulu. Tidak ada senyum lepas, bahkan suasana begitu canggung. Kami seperti dua orang yang tidak saling kenal.
Tadinya aku ingin mengatakan perasaanku secara jujur di hadapan Maya, tapi kedatangan bapaknya membuat mulutku seketika bungkam. Apalagi beliau nampak tidak suka jika Maya terlalu lama berdua denganku. Bisa kulihat dari cara beliau melihatku.
"Maaf ya mas Emir, saya tidak bermaksud apa-apa, hanya saja saya sebagai orangtua ingin Maya fokus kuliah dulu. Maya sudah menceritakan semua, jujur saya marah dan kecewa, sebab itu saya ingin Maya berhenti bekerja dan fokus skripsi."
Satu gores luka membuat mulut ini begitu berat untuk menjelaskan semua. Aku tahu pasti hal ini akan terjadi, orangtua mana yang tidak terluka saat anak gadisnya mengalami kekerasan.
"Saya sangat meminta maaf atas semua yang sudah terjadi, Pak. Saya merasa sangat bersalah, sebab itu Saya datang ke sini untuk menjelaskan semua."
Beliau nampak diam sejenak, seperti menahan emosi.
"Sebenarnya selama ini kami ada tabungan untuk kuliah Maya, hanya saja dia memaksa ingin mandiri. Mungkin kejadian buruk itu bisa menjadi pelajaran untuk Maya dan kita semua, dan jelas kami tidak ingin hal semacam itu terjadi lagi."
Beliau mengatakan itu semua setelah Maya masuk kamar, dan entah kenapa kalimat yang ia katakan seperti pagar besi yang menghalangiku untuk masuk, padahal aku belum selangkah pun maju.
"Bapak juga tahu kalau Maya punya perasaan padamu. Jika kamu memang tidak punya perasaan untuk Maya, seharusnya kamu tidak perlu datang ke sini. Saya takut Maya semakin terluka dan sulit melupakanmu."
Ya Allah, kali ini jantungku benar-benar seperti diremas. Padahal aku datang ingin menjelaskan semua, tapi kenapa saat mendengar kalimat itu aku merasa hatiku remuk lagi, bahkan kali ini seperti ada rantai besi yang mengikat kakiku.
"Saya akan menjelaskan semua, Pak. Sebenarnya saya... "
Entah kenapa mulut ini begitu berat untuk jujur. Cara beliau melihatku sudah membuatku merasa seperti lelaki brengsek yang tak pantas untuk mendapatkan Maya.
"Tapi, Pak. Saya datang ke sini tidak hanya ingin meminta maaf, saya ingin menjelaskan semua. Saya tahu Saya pun salah dalam hal ini, tapi dari kejadian itu justru saya sadar bahwa saya menyukai Maya, sebab itu saya berani datang ke sini."
Pada akhirnya aku pun berani mengatakannya. Terlepas apa pun pandangan orangtua Maya, tapi aku benar-benar ingin jujur dan serius.
Sejenak kami terdiam begitu lama. Beliau nampak berfikir, dan di saat itu aku merasakan keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhku. Lebih menegangkan daripada berdiri di depan empat dosen saat sidang skripsi.
"Jika Bapak berkenan saya datang untuk meminta izin melamar Maya. Saya tahu ini sangat mendadak, tapi saya serius, karena saya pribadi tidak ingin berpacaran." Kukatakan kalimat itu dengan napas berat, entah diterima atau ditolak aku tetap ingin jujur.
Beliau nampak kaget, namun berusaha tetap tenang, hanya saja dari rona wajah itu aku tahu bahwa aku akan ditolak.
"Saya tidak tahu bagaimana perasaan Mas Emir pada Maya, tapi saya belum bisa mengiyakan keinginan itu. Bagi kami ini terlalu mendadak, apalagi setelah kejadian yang menimpa Maya. Saya rasa perlu difikirkan secara matang-matang tentang keinginan tersebut."
Kini aku tertunduk, aku merasa apa pun yang akan kukatakan tak akan mampu menembus kepercayaan beliau. Entah apa yang sudah Maya ceritakan tentang diriku kepada orangtuanya, tapi kenyataannya di hadapan bapaknya aku seperti bukan lelaki yang baik. Entah ini perasaanku saja atau lamaran ini terlalu terburu-buru hingga tumbuh ketidakyakinan dari sorot matanya.
"Mas Emir, menikah itu tidak semudah mengajak berpacaran. Menikah itu berat jika belum benar-benar siap. Siap secara mental dan iman, karena seorang lelaki setelah menikah punya tanggungjawab sangat besar. Betapa banyak rumahtangga hancur karena tidak adanya ilmu, mereka menikah hanya karena cinta, padahal cinta bisa hilang kapan saja. Jadi benar-benar siap ilmu, mental dan materi. Saya tidak ingin keputusan menikah secepat ini justru membuat perjalanan rumahtangga begitu berat.
Saya hanya ingin Mas Emir belajar dulu, belajar meluruskan niat, belajar siap mental, hati, ilmu dan iman sebelum datang ke sini. Selain itu, Saya ingin memberi kesempatan pada Maya untuk menyelesaikan skripsinya. Karena menjadi istri itu juga harus siap menjadi ibu. Saya tidak mau membuat keputusan gegabah untuk Maya. Jadi saya ingin Mas Emir dan Maya sama-sama belajar dulu."
Aku mengangguk, namun entah kenapa hatiku terasa begitu perih. Aku tersadar satu hal bahwa aku memang harus belajar lagi, tapi kenapa justru kata 'Belajar' itu menjadi benteng besar untuk bisa memiliki Maya. Apakah beliau sebenarnya tidak percaya dengan komitmenku atau mungkin ada alasan lain?
"Jika memang Mas Emir menyukai Maya, Mas Emir boleh datang ke sini lagi setelah Maya lulus kuliah. Tapi tolong selama Maya belum lulus, jangan katakan apa pun tentang perasaanmu padanya. Saya hanya ingin dia fokus dan tidak terganggu oleh apa pun."
Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk, namun kali ini mataku berkaca-kaca. Ada rasa sakit di sudut hati yang tidak bisa kuraba tapi begitu menyesakkan. Menunggu dia lulus tidak menjamin akan memilikinya, karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Tadinya aku sangat siap lahir batin jika orangtua Maya mengizinkan, insya Allah aku akan berusaha menjaga dan membahagiakannya, tapi apa daya, mungkin kami tidak berjodoh. Bukankah kalau jodoh sesulit apa pun jalannya akan mudah?
"Saya mengerti, Pak. Saya justru sangat berterima kasih, karena dengan begitu Saya bisa lebih banyak belajar lagi, dan Saya juga bisa bekerja lebih keras untuk kesiapan materi. Jadi saya sangat berterima kasih." Kataku mencoba menghibur diri dan menutupi sakit yang ada.
Beliau tersenyum, namun justru senyum itu yang membuat mataku terasa begitu panas. Aku berusaha keras untuk menahan air mata.
----o----
Setelah keluar dari rumah itu, aku merasa dadaku semakin perih, hingga akhirnya air mata yang kutahan pun tumpah. Aku hanya bisa berharap melihat Maya untuk terakhir kali sebelum aku pergi, tapi nyatanya sekelebat bayangannya pun tak mampu kutangkap.
Kini aku sadar satu hal, ternyata aku belum pantas untuk memilikinya. Gadis hebat yang dulu selalu ada untukku, yang rela berlelah-lelah agar aku tetap bersemangat, yang bahkan membiarkan hatinya terluka hanya untuk tetap bisa menopang saat aku jatuh, kini kuraih bayangnya pun aku tak sanggup.
Ya Allah, belum tentu aku bisa menemukan gadis seperti Maya di luar sana, dan belum tentu juga aku berjodoh dengannya. Entah kenapa setiap mengingat itu aku merasa sangat menyesal. Kini yang tersisa hanya kekosongan.
Tapi aku berjanji akan datang ke sini lagi Maya, aku akan datang sebagai lelaki baik yang lebih dari Emir yang dulu, aku janji akan menunggumu sambil terus belajar. Semoga ketika kesempatan itu datang kamu masih memiliki sisa tempat untukku, dan aku akan datang sebagai Emir yang baru.
Aku berjanji
Happy Reading. 🥰🙏
Terima kasih sudah baca sampai bab ini..
KAMU SEDANG MEMBACA
Sesederhana itu Mencintaimu (Selesai)
Teen FictionDia yang sangat gigih, pekerja keras, cerdas, berprestasi, juga dia yang hidup miskin hingga harus banting tulang untuk tetap bisa kuliah dan menjadi tulang punggung keluarganya. Dia inspirasi hidupku, seseorang yang membuatku tahu bahwa kesempurnaa...