Perjalanan Hati

81 10 2
                                    

Episode : Maya


Tiga tahun kemudian

Setelah lulus kuliah aku memutuskan untuk berbisnis, membuka kembali bisnis kuliner kami yang sempat bangkrut. Nasi goreng Bang Emir, aku memakai nama itu karena semua resep dan ilmu marketing yang kugunakan adalah ilmu yang kudapat darinya. Hingga detik ini, bahkan setelah tiga tahun berlalu, Emir tetap menjadi motivator terbaik dalam hidupku.

Mungkin dulu aku pernah terluka, pernah kecewa, tapi aku tahu semua kecewa dan luka bukan salah dia, tapi salahku yang terlalu cinta dan banyak berharap. Andai aku tidak memiliki perasaan itu mungkin aku tidak akan terluka, dan jika pun bisnis kamu hancur aku tak akan kecewa terlalu dalam.

Kini, aku ingin memperbaiki semua. Tanpa ada harap dan rasa yang dulu begitu dalam, aku ingin menghidupkan kembali nasi goreng kami yang dulu sempat viral, bahkan masih terus dicari setelah kebangkrutannya.

Di sini aku bekerja sama dengan ibu-ibu tetangga, ada dua orang yang bekerja di dapur dan satu orang sebagai pelayan, hitung-hitung memberi mereka pemasukan. Alhamdulillah, meskipun belum besar tapi aku sudah berhasil menyewa ruko dan menggaji mereka setiap bulan, bahkan jika banyak pesanan mereka kuberi bonus.

Jiwa bisnis ini masih menggelora dan aku merasa berbisnis membuatku bebas, aku bisa belajar dan mengembangkan skill yang kuinginkan tanpa tekanan dari pihak mana pun. Selain itu, mindset yang dulu pernah Emir tanamkan dalam pikiran dan hati ini ternyata belum bergeser sedikit pun, justru di sini aku merasa harus membuktikan bahwa aku bisa sukses.

Banyak yang menyayangkan keputusanku untuk berbisnis, sebab kuliah tinggi-tinggi kok hanya jadi penjual nasi goreng. Tapi justru dari situlah aku termotivasi untuk membuktikan pada mereka yang hanya bisa mencibir, yang menganggap jualan itu pekerjaan tak bergengsi.

Kutatap buku pemberian Emir dulu yang kini sudah mulai lusuh dan sobek beberapa ujungnya, saking seringnya kubuka dan kubaca.

Aku tidak tahu bagaimana kabarnya, namun beberapa kali aku sering melihat status instagram maupun facebooknya. Kelihatannya Emir telah menjadi orang sukses, dia sering posting perjalanan karirnya di perusahaan milik Belanda itu. Aku bahagia mengetahui hal itu meskipun aku tidak berani chat ataupun menghubunginya secara langsung.

Setelah pertemuan terakhir tiga tahun lalu, aku merasa malu meskipun hanya sekedar bertanya bagaimana kabarnya melalui media sosial.

"Dengan penampilan dan karirmu saat ini, pasti lebih banyak lagi wanita di luar sana yang menyukaimu." Gumamku sambil memandang foto profil facebook milik Emir.

Aku yang dulu dan sekarang tidaklah berbeda jauh, tetap Maya yang tidak bisa berdandan, tetap Maya yang berjilbab biasa tanpa sentuhan skincare. Melihat foto Emir dan berkaca pada diriku sendiri, entah kenapa rasa insecure itu mulai datang.

---o---

"Mbak Maya kapan undangannya? Saya siap jadi tukang masaknya." Kata Bu Miranti sambil memasak di dapur untuk pesanan lima orang di meja depan.

"Belum ada calon, Bu. Kalau Bu Miranti ada calon, bolehlah kenalin ke saya." Gurauku lalu kami tertawa.

"Masak to belum ada calon? Mbak Maya kan sudah pinter cari duit, cantik dan sholihah. Masak gak ada cowok yang dekat?"

"Itu kan menurut Bu Miranti, kalau menurut orang lain kan beda lagi. Cantik itu relatif, Buk. Lagian bagi cowok di luar sana saya itu gak cantik, buktinya gak ada tuh yang datang ngelamar."

Bu Miranti tertawa, "Itu karena Mbak Maya bukan wanita gampangan yang mau diajak pacaran. Coba Mbak Maya membuka diri, pasti ada yang datang."

"Tapi saya tidak mau cari jodoh dengan cara seperti itu, Bu. Saya jadi diri sendiri saja, terlepas siapa pun yang datang saya hanya berharap dia lelaki baik yang mau nerima saya apa adanya, juga bisa jadi imam dalam hidup saya. Kan katanya wanita yang baik untuk laki-laki yang baik, jadi sebisa mungkin saya berusaha menjaga diri agar dikasih lelaki yang baik juga sama Allah."

Sesederhana itu Mencintaimu (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang