Episode : Emir"Selamat ulang tahun."
Aku sangat kaget ketika membuka gerbang kos dan mendapati Hanin sudah berdiri di sana sambil membawa kue tar. Masih sangat pagi, bahkan berkabut dan dingin. Gadis itu telah di sana, meruntuhkan segenap pertahanan yang ada. Aku sempat berkaca-kaca, karena selama ini tidak ada yang merayakan ulang tahunku, bahkan aku sendiri lupa tanggalnya.
"Kenapa diam saja? Kamu tak ingin meniup lilinnya?" Tanya Hanin membuat lamunanku buyar.
Aku pun tersenyum dan meniup lilin di atas kue tar berbentuk hati itu. Entah kenapa melihat kue itu mengingatkanku akan mantan-mantan Hanin yang beberapa dari mereka cukup kukenal. Ingatan itu sekelebat mata membuat kebahagiaan yang sesaat tercipta mendadak lenyap.
Apa yang membuat gadis secantik dia datang padaku? Perasaan macam apa yang ia punya? Tuluskah? Terkadang aku masih ragu, pun takut jika ternyata ia datang hanya untuk bermain.
"Semoga di ulang tahun kali ini kamu semakin sukses dan bisnis maupun karirmu berjalan lancar."
"Amin ya robb, terimakasih atas doa dan semua yang sudah kamu lakukan untukku."
Hanin tersenyum memandangku. Aku tahu pandangan itu, pandangan yang sama setiap kali ia melihatku dan itu membuatku gugup serta takut.
"Apa kamu tidak ingin mengucapkan doa? Aku ingin mendengar doamu."
Aku terdiam sesaat, mencoba mengontrol diriku.
"Apakah itu harus kukatakan di depanmu?"
Hanin tersenyum mengangguk, "Setidaknya dengan mengetahui apa doamu, aku bisa melakukan sesuatu untuk mewujudkannya."
Terdengar sangat dalam, namun aku masih ragu apakah harus mengatakan jujur. Ada satu doa yang sejak awal mengenal Hanin telah terselip dalam hati, bahkan hingga hari ini doa itu masih sama.
"Jika aku katakan doaku selama ini, apa kamu bersedia mewujudkannya?" Tanyaku serius dan ia nampak tersenyum mengangguk.
"Tentu."
Kutarik napas dalam, kuharap doa ini mampu ia pahami dan sampai di hatinya.
"Doaku, semoga Allah mudahkan kamu untuk berhijab."
Hanin nampak terkejut, bahkan saking terkejutnya ia tatap mataku cukup lama. Aku tidak tahu apa yang berkecamuk dalam hatinya, tapi sorot mata itu sudah cukup memberiku jawaban bahwa permintaanku ini berat baginya.
"Aku ingin kamu tidak hanya cantik di mata manusia, tapi juga dimata Allah. Dengan berhijab, seorang wanita akan lebih mulia dan berharga. Aku tidak memaksa, hanya berharap semoga suatu saat Allah membuka hatimu."
Kulihat Hanin justru meneteskan airmata. Ia nampak terharu.
"Kamu sepeduli itu padaku, padahal keluargaku saja tak pernah peduli penampilanku." Di balik kalimat itu ia terisak.
Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana, bahkan aku hanya bisa diam menemani setiap tetes airmata yang ia keluarkan.
"Terima kasih Emir, kamu selalu bisa membuatku lebih baik. Aku pun ingin berubah, aku ingin seperti apa yang kamu harapkan. Karena aku sangat yakin kamu bisa menjadi imam terbaik dalam hidupku. Aku menyukaimu Emir."
Kini aku yang tertegun. Apakah sungguh ia menginginkan hadirku dalam hidupnya. Sesaat aku ingat kata-kata Nanang minggu lalu bahwa perasaan ini harus segera berlabuh agar menjadi halal. Aku pun berprinsip untuk tidak pacaran, jika sudah menemukan yang tepat aku serius akan melamarnya. Hanya saja, entah kenapa aku masih belum yakin dengan Hanin. Mungkin dia cantik dan baik, tapi apakah dia bisa menerima keluargaku yang sangat miskin? Pun keluarganya, apakah mau menerimaku? Begitu besar perbedaan di antara kami. Kuakui kami tidak sekufu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sesederhana itu Mencintaimu (Selesai)
Roman pour AdolescentsDia yang sangat gigih, pekerja keras, cerdas, berprestasi, juga dia yang hidup miskin hingga harus banting tulang untuk tetap bisa kuliah dan menjadi tulang punggung keluarganya. Dia inspirasi hidupku, seseorang yang membuatku tahu bahwa kesempurnaa...