Episode : Emir"Ada seorang wanita yang kusukai, semoga kami berjodoh meskipun sampai saat ini dia belum memberi jawaban. Aku sebenarnya sangat berharap, tapi pura-pura biasa saja agar dia tidak merasa tertekan." cerita Afan, kami berjalan menuju ruang Radiologi.
"Masya Allah, semoga berjodoh. Aku yakin tidak ada wanita di dunia ini yang berani menolak lalaki sepertimu, Afan. Kamu punya segalanya." Kataku memotivasi sebab itu memang kenyataan.
Afan tertawa, "Tapi wanita ini tidak sama dengan wanita di luar sana, hingga detik ini bahkan dia tidak menunjukkan sama sekali ketertarikannya padaku. Mungkin dia butuh waktu, tapi aku akan menunggunya."
Aku tersenyum, "Kalau berjodoh pasti mudah jalannya."
"Amin ya Allah, kalau boleh jujur aku sangat berharap dia mau menerima. Terlepas bagaimana pun hatinya saat ini. Namun jika pun bukan jodoh, ya bagaimana lagi, aku harus siap untuk patah hati."
Aku tersenyum, "Banyakin doa saja sama Allah, karena jodoh itu sudah tertulis, tidak akan kemana-kemana. Bahkan jika pun kita di ujung dunia, dia akan datang dengan cara yang kadang nampak mustahil."
"Masya Allah, adem banget dengerinnya. Terima kasih Emir."
Aku tersenyum sambil menepuk punggungnya. Aku benar-benar tidak tahu jika wanita yang diceritakan Afan adalah Maya.
----o----
Detik itu, saat mata ini menangkap sosoknya yang lagi duduk di kursi tunggu, mendadak jantungnya berdesir hangat, aku nyaris merasa melayang namun jatuh seketika saat Afan memanggil Maya dengan wajah cerahnya. Detik itu juga aku tahu bahwa hati ini telah seribu kali patah. Senyum yang ingin kulempar seketika lenyap.
Aku merasa kaki ini tiba-tiba terasa lemas, nyaris tidak bisa menopang tubuhku andai saja aku tidak segera sadar bahwa di sini aku sudah tidak punya kesempatan. Aku ingat tiga tahun lalu aku ditolak ayahnya, meskipun aku masih berharap tapi kedatangan Afan dalam hidup Maya membuatku sadar bahwa dia bukan lawan yang sebanding. Ibarat perang, aku tidak punya senjata, bagaimana bisa menang?
Maya menangis, aku tahu tatapan itu, aku tahu arti airmata itu, dan justru hal itu semakin membuat luka di hati ini kian menganga. Apa dia masih menyimpan namaku di sana? Apa dia rindu? Entah apa pun itu yang tergores di matanya, aku tetap tidak bisa menyapanya seperti dulu. Apalagi kulihat Afan yang punya segalanya nampak sangat menyukai Maya. Apa lagi yang bisa kulakukan selain mematahkan hatiku sendiri.
"Salam kenal Maya, Afan banyak cerita tentangmu... " Jujur saat mengatakan itu aku seperti sedang menenggelamkan diri di air keruh. Aku tidak hanya telah melukai diriku sendiri tapi juga Maya.
Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi, aku merasa hilang harapan dan mendadak insecure dengan Afan hingga kuputuskan untuk pura-pura tidak kenal. Dan kini aku sangat menyesali semua.
Apalagi yang bisa dilakukan oleh lelaki miskin yang bahkan tak bisa menjaminkan masa depan. Jika pun Maya masih punya perasaan untukku, aku tetap tidak yakin bisa maju selangkah pun. Aku tidak punya apa-apa, akan lebih baik dia bersama Afan yang pasti bisa menjamin kebahagiaan dan masa depan cerah.
Memikirkan semua itu membuat mata ini basah. Di kamar tempat bang Firman di rawat, aku diam-diam tertunduk menangis. Aku tidak tahu harus melakukan apa, yang ingin kulakukan hanya menumpahkan semua beban di hati ini.
"Emir." Suara bang Firman membuyarkan lamunanku, seketika kuusap airmata.
"Bang Firman sudah bangun." Kataku lekas mendekatinya.
"Kamu kenapa? Menangis?"
Aku mencoba tersenyum, "Ah, tidak, hanya sedikit terbawa suasana."
Bang Firman nampak memandangku dengan wajah sedih bercampur rasa bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sesederhana itu Mencintaimu (Selesai)
Teen FictionDia yang sangat gigih, pekerja keras, cerdas, berprestasi, juga dia yang hidup miskin hingga harus banting tulang untuk tetap bisa kuliah dan menjadi tulang punggung keluarganya. Dia inspirasi hidupku, seseorang yang membuatku tahu bahwa kesempurnaa...