Episode : Emir
Aku kaget, nyaris limbung andai saja aku tidak ingat bahwa aku owner dan leader bagi Maya dan teman-teman lain. Aku berusaha menguatkan diri dan tetap baik-baik saja saat melihat dua gerobak etalase bernilai lebih dari sepuluh juta itu hancur tak tertolong. Seketika aku sadar bahwa jalan yang kulalui sudah tak semulus dulu. Ini bagian dari ujian namun juga tantangan.
Siapa pun itu pelakunya, aku yakin dia punya dendam padaku. Karena jika ini ulah kompetitor, maka ia cukup membuat kedai kami sepi tanpa pelanggan bukan dengan cara menghancurkan. Tapi siapa orang ini? Aku bahkan tidak merasa punya masalah dengan orang lain?
Kutatap nanar dua gerobak yang selama ini menjadi teman berjuang kami mencari rezeki. Aku, Maya dan Nanang bukan anak orang kaya, kami kuliah dengan mencari biaya sendiri, dan hari ini hati kami seperti dirobek-robek. Aku ingin menangis, tapi aku tidak mungkin menangis saat ada Maya bersamaku. Pada akhirnya aku hanya terus memompa pikiran positif dalam diriku agar bisa menghadapi masalah ini dengan hati dan pikiran jernih.
Tidak ada sisi TV di sekitar lapak kami, pun tak seorang pun tahu siapa pelakunya. Kemungkinan pelaku melakukan aksinya dini hari.
"Bagaimana? Mereka bahkan tidak tahu apa-apa?" Maya masih berwajah cemas, setelah beberapa saat lalu kami berkeliling menanyai pemilik toko maupun warga sekitar.
"Ya sudahlah, nanti kita cari informasi lagi. Sekarang kita fokus bersih-bersih. Kasihan jika ada yang lewat banyak pecahan kaca." Kataku.
Belum sempat aku dan Maya melakukan rencana kami, seorang pemuda berambut sedikit gondrong mendekat, dia tersenyum penuh kemenangan.
"Bagaimana? Tahu kan rasanya jika berurusan denganku." Suaranya lantang.
Aku kaget, namun berusaha bersikap tenang. Aku tahu siapa cowok ini, dia mantan pacar Hanin. Jangan-jangan? Astaghfirullah, seketika jantungku berdentum cepat dan terasa begitu panas.
"Kamu pikir kamu paling tampan seantero kampus? Paling hebat karena kebanggan dosen atau paling pintar karena beasiswa? Kamu pikir semua kelebihanmu itu bisa seenaknya kau gunakan untuk merayu Hanin dan memaksa dia berjilbab? Kamu pikir dirimu siapa? Belum tentu kamu masuk surga, jadi jangan sok ngasih ceramah ke Hanin. Dia berubah gara-gara dekat denganmu." Suaranya lantang dengan mata berkilat, seolah menantangku berduel. Gayanya selangit, menunjukkan bahwa dia anak orang kaya.
Aku berusaha tenang dan diam mendengar ocehannya. Ada Maya di dekatku, aku tidak akan membuat suasana semakin panas dengan main kata dengan mantan Hanin itu.
"Aku yang merusak semua gerobakmu itu. Semua itu agar kamu sadar bahwa kamu itu anak orang miskin, tanpa gerobak-gerobak itu kamu bukan apa-apa, jadi berhenti mendekati Hanin apalagi sok-sokan mau nikahi dia."
Jantungku nyaris runtuh saking terasa panasnya, namun aku masih tetap diam. Sekuat tenaga kutahan gejolak emosi yang nyaris membakar tubuhku. Jika tidak ada Maya mungkin sudah kugampar habis wajahnya. Hanya saja aku masih waras, karena aku sangat benci kekerasan.
"Oh jadi kamu pelakunya! Kamu merusak gerobak kami karena cemburu." Suara Maya lantang, tersulut emosi.
"Jangan ikut campur Maya." Sergahku setengah berbisik.
"Aku tidak tahu siapa kamu, tapi Emir tidak pernah mendekati Hanin. Justru Hanin yang kegatelan, jadi jangan seenaknya menuduh!" Suara Maya lantang, merasa tidak terima.
Plaaaaakkk
Satu tamparan melayang menebas pipi kiri Maya hingga gadis itu jatuh tersungkur. Aku terbelalak kaget, berani sekali dia memukul Maya. Kini aku benar-benar tidak bisa menahan diri lagi, seketika itu juga kulayangkan tinju pada wajah cowok kasar itu hingga dia jatuh tersungkur."Kamu pikir jagoan? Kamu pikir main pukul dengan perempuan membuatmu merasa hebat?" Suaraku lantang membuat cowok itu sedikit gentar. Dia mencoba menyerang dan membalas pukulanku namun aku mampu menghindar dengan cepat.
Aku tahu dia hanya pura-pura sok tangguh, padahal berduel pun dia lemah. Hanya penampilannya saja yang sangar, tapi pukulannya mampu kutepis semuanya. Beruntung beberapa pegawai bengkel dekat situ datang untuk melerai kami sehingga dia lekas lari terbirit-birit.
Aku masih berbaik hati dengan tidak menghajarnya hingga babak belur. Aku pun tidak mau berurusan dengan polisi.
"Maya!" Aku beringsut mendekatinya.
Dia menangis, kulihat pipinya merah bengkak. Ya Allah, kenapa hatiku terasa begitu sakit melihatnya seperti itu. Ada rasa perih dan sesak yang membuat mataku terasa begitu panas.
"Maafkan aku! Gara-gara masalahku kamu jadi ikut terluka." Kini aku tertunduk di depannya, sungguh aku sangat menyesal dan merasa bersalah hingga aku tak mampu menahan air mata.
Maya masih diam. Diamnya membuatku semakin terpukul.
"Aku tidak tahu sejauh apa hubunganmu dengan Hanin. Setinggi apa posisinya di hatimu, karena yang pasti aku butuh uang untuk bayar kuliah dan gerobak yang dihancurkan itu jalan rezekiku. Aku tidak peduli kisah cintamu, aku hanya ingin berjuang hingga wisuda, aku ingin membuat ibuku bahagia."
Maya tertunduk terisak, menangis penuh luka di hatinya dan jujur semua yang ia katakan membuat hatiku hancur. Ya Allah seegois inikah aku selama ini? Aku telah begitu jahat hingga tanpa sadar Maya menjadi korban.
"Maya, aku.. " Tenggorokanku tercekat. Tidak ada lagi kalimat yang mampu kukeluarkan, semua terasa sangat berat dan perih.
Semua rasa sakit itu kian parah saat Maya berdiri dan berjalan meninggalkanku. Aku tahu dia sangat kecewa, api yang beberapa saat lalu mampu ia padamkan kini berkobar kembali. Seandainya aku tidak pernah dekat dengan Hanin, tidak merespon sikap baiknya, mungkin kejadian semacam ini tidak akan terjadi.
Ya Allah.
Apa yang harus aku lakukan? Aku merasa kehilangan semuanya, lapak tempat kami mencari rezeki, juga Maya yang selama ini setia mendukung dan berjuang bersamaku.Maya telah mengorbankan segalanya, waktu dan tenaga yang tidak bisa kubayar dengan uang, bahkan hatinya. Aku tidak bisa membalas semua yang sudah ia berikan padaku selama ini, yang terjadi justru aku semakin menyakiti dan mengecewakannya.
---o---
Malam itu aku datang ke kontrakan Maya, memastikan bahwa dia baik-baik saja, hanya saja dia tidak mau menemuiku. Seperti yang pernah terjadi dulu, ia bahkan tidak membaca pesan atau mengangkat telponku. Aku selalu kacau jika dia tidak merespon apa pun.
Tidak hanya Maya, Nanang pun marah saat tahu semua kronologinya. Alhasil kami terpaksa off jualan untuk beberapa hari kedepan sampai semua situasi membaik.
Entah kenapa aku sangat khawatir dan takut, bukan takut karena tak bisa jualan, tapi takut kejadian kali ini membuat Maya menyerah dan meninggalkanku. Jujur itu yang paling kutakutkan.
Mungkin tangan dan tubuhku bisa memulihkan semua yang hancur dan kembali membesarkan bisnis ini, tapi hati dan pikiranku tidak. Tanpa Maya aku tidak bisa tenang, tidak bisa menjalankan bisnis dan pekerjaanku dengan baik. Rasa takut ini selalu muncul jika Maya marah atau sedih, tapi saat gadis itu ceria dan bahagia, rasa itu tidak pernah datang.
Lantas..
Perasaan macam apa ini?
Apakah aku harus menyebut ini cinta? Sedang di lain hal hatiku tidak pernah sekalipun berdebar karenanya?Happy Reading 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Sesederhana itu Mencintaimu (Selesai)
Teen FictionDia yang sangat gigih, pekerja keras, cerdas, berprestasi, juga dia yang hidup miskin hingga harus banting tulang untuk tetap bisa kuliah dan menjadi tulang punggung keluarganya. Dia inspirasi hidupku, seseorang yang membuatku tahu bahwa kesempurnaa...