Ragu

80 10 3
                                    

Episode : Emir



Aku puas sekali melihat Maya kegirangan menerima buku pemberianku. Sebenarnya ini tak lebih dari caraku menyogok dia agar  semangat lagi. Sebab aku sangat butuh dia untuk menjalankan bisnisku. Egoiskah? Kadang aku takut cara semacam ini membuatnya salah paham. Jujur saja akhir-akhir ini dia membuatku khawatir, terutama saat ia menangis melihatku bersama Hanin.

Aku bukannya tidak peka, aku sadar Maya punya pandangan lain terhadapku, hanya saja aku tidak ingin mematahkan hatinya dengan memberinya peluang untuk terus menyimpan perasaan itu. Aku tahu, sangat tahu dia mengagumiku, bahkan mungkin lebih dari itu. Aku sadar perasaan itu sejak dua tahun lalu, jadi itulah alasan aku sering cuek, bahkan tidak peduli. Bukan tanpa alasan, karena aku tidak bisa membalas perasaan itu.

Bagiku, Maya adalah sahabat, partner bisnis bahkan sudah kuanggap adik. Kedekatan ini tidak bisa membuatku memandangnya lebih dari itu apalagi sampai menggetarkan hati.

Jika pun aku takut kehilangan, itu karena aku tidak akan bisa menemukan sahabat lebih baik dari Maya. Hanya itu, kuharap hanya itu perasaanku untuknya.

Maafkan aku Maya.

---o---

Hari itu alhamdulillah ada pesanan sekitar dua ratus kotak untuk acara di kampus. Jika sudah banyak orderan semacam ini aku pasti meminta bantuan ibu-ibu untuk memasak, hitung-hitung memberi pemasukan pada mereka. Karena tidak mungkin aku memasak sendiri, selain itu Maya dan Nanang tidak bisa diganggu karena fokus urus kedai sosis dan jus. Beruntung ada mahasiswa baru yang kerja part time pada kami yaitu Eko, dia bekerja sebagai pengantar pesanan.

Sambil mengawasi aku membuka akun Facebook dan Instagram usaha kami. Iseng saja mengecek apa saja yang dikerjakan Maya selama ini, dan aku tertegun melihat begitu banyak perubahan, terutama instagram yang followers naik tajam, juga tampilan feed lebih menarik. Tak hanya marketing, dia juga belajar desain.

Aku tersenyum bangga, Maya bekerja dengan baik. Dia selalu mendengarkan dan melakukan apa pun yang kuajarkan. Masya Allah, dia sudah banyak sekali berubah.

"Ada yang bisa kubantu? Sepertinya sangat sibuk?"

Aku mendongak dan kaget melihat siapa yang telah berdiri di hadapanku. Hanin, dia memakai jilbab. Masya Allah, aku merasa jantungnya mau runtuh. Dia membuatku terpesona, sangat cantik dan anggun.

"Kamu?" Aku hilang kata.

Dia tersenyum tersipu.

"Apa aku cantik? Bagaimana menurutmu? Kamu suka?"

Aku terdiam masih terpesona. Dia benar-benar Hanin seperti yang ada dalam ekspektasiku selama ini.

"Kenapa kamu diam saja?"

"Eeee.. Kamu sangat cantik pakai jilbab itu." Kataku, kalimat itu meluncur begitu saja. Seperti terhipnotis.

"Alhamdulillah, mulai hari ini aku akan belajar memakai hijab. Do'ain aku bisa istiqomah. Aku juga ingin hijrah."

"Masya Allah, Alhamdulillah. Semoga Allah mudahkan dan meluruskan niatmu selalu."

"Amin." Hanin tersenyum lega.

Sungguh aku hilang kata, tidak tahu harus mengatakan apa sampai akhirnya suara Nanang membuyarkan pesona Hanin. Andai saja Nanang tidak datang mungkin mataku masih terpaku pada kecantikannya.

Nanang nampak terkejut heran dengan perubahan Hanin yang sangat drastis. Jika dulu sering pakai rok pendek dan celana jins, kini begitu tampil sholehah.

"Kapan kamu datang?" Tanyaku mencoba membuyarkan tatapan Nanang pada Hanin.

"Oh, iya. Aku baru datang, mau bantu-bantu di sini. Aku buka nanti malam saja, jadi siang ini bisa bantu kamu. Maya juga datang kok." Kata Nanang sambil melempar pandangan kearah pintu dapur. Maya sudah berdiri di sana.

Sesederhana itu Mencintaimu (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang