Berhenti Mencintaimu

107 9 0
                                    


Episode : Maya


Aku mengurung diri di kamar, duduk memeluk kedua lutut sambil masih menangis. Pipi kiri bekas tamparan keras itu masih sangat terasa perihnya, bahkan merah bengkak.  Hanya saja bukan tamparan itu yang membuatku sakit, tapi semua penyebab masalah ini. Emir dan Hanin.

Gerobak yang rusak itu memang punya Emir, tapi itu satu-satunya jalanku mencari rezeki untuk tetap bisa kuliah. Ibuku seorang guru TK biasa, sedang bapak hanya kuli bangunan. Aku bisa kuliah seperti ini bukan beasiswa, tapi murni karena usahaku sendiri. Dan ketika gerobak itu hancur, hatiku ikut hancur.

Mungkin bagi Emir tidak menjadi masalah karena ia punya gaji, dan tabungan, tapi bagiku?

Ya Allah, aku ingat betul perjuangan membangun bisnis ini, dan sekarang begitu mudahnya hancur.

Air mata ini serasa tidak mau berhenti, cinta bodoh ini telah membuatku terluka parah. Rasanya aku ingin berhenti dan lari dari semua masalah ini. Siapa aku? Bahkan Emir tak pernah melihatku, lantas kenapa dengan bodohnya aku masih setia padanya? Mengorbankan hati dan masa depanku.

Jujur, aku pun ingin bahagia. Sudah terlalu sulit hidupku selama ini, semakin sulit karena aku mencintai Emir. Kenapa aku begitu dungu jadi wanita? Aku berhak bahagia, aku harus bahagia. Aku bahkan bisa mencari pekerjaan lain, pun bisa mencintai orang lain yang bisa melihat dan menerima kekuranganku. Aku bisa hidup lebih baik seperti gadis di luar sana, tapi kenapa aku masih di sini? Kenapa aku masih meratapi nasib cinta yang bodoh ini? Kenapa ya Allah?

Handphoneku berbunyi lagi untuk yang kesekian kalinya, juga beberapa pesan masuk dari Emir. Aku hanya melihat handphone itu dari jauh, tak berniat berurusan dengannya, apa pun itu. Aku benci dengan diriku sendiri yang begitu lemah.

Beberapa saat kemudian ada telpon masuk, dan itu bukan Emir, tapi ibu. Ya Allah, tiba-tiba hatiku kembali sesak. Rasanya aku ingin sekali pulang dan memeluknya.

"Assalamu'alaikum, bu!" Setelah ucapan itu tangisku pecah.

"Maya kamu kenapa, Nak? Kenapa nangis? Kamu sehat kan? Apa ada masalah?" Suara ibu terdengar cemas.

Aku berusaha keras untuk bisa menahan semua rasa sesak ini. Apa pun masalahku, ibu tidak perlu tahu.

"Aku kangen ibu, aku ingin pulang, ingin makan masakan ibu. Aku sangat ingin pulang ke rumah." Aku masih menangis saat mengatakan semua itu.

"Subhanallah, kalau memang rindu ya pulang, Nak. Ibu di rumah juga sangat rindu, sudah lama kamu belum pulang."

Aku mengangguk kembali mengusap airmata.

"Tapi kamu tidak ada masalah apa-apa kan? Kamu sehat kan, Nak?"

"Iya, Bu."

"Alhamdulillah, kalau ada apa-apa cerita ke ibu, setidaknya ibu bisa mendoakanmu, Nak. Ibu selalu berharap yang terbaik untukmu. Kamu harus tetap semangat."

Ya Allah, tangisku pecah lagi. Aku lupa selama ini aku punya ibu tempat pulang dan bersandar, ibu yang selalu  mencintaiku apa pun keadaanku. Ibu yang selalu mendoakan dan mendukung bahkan saat aku terpuruk dan hancur. Seharusnya rasa cinta ini kuserahkan padanya, bukannya kubagi dengan Emir yang hanya membuatku terluka. Maafkan aku ibu.

Setelah telpon dari ibu, kuputuskan untuk berkemas.

----o----


Pagi sekali, masih berkabut, kuputuskan untuk naik bus pulang ke rumah. Butuh sekitar tiga jam untuk sampai sana. Teman kosku bahkan tidak tahu jika aku pulang, karena sejak datang dengan luka tamparan itu aku mengurung diri di kamar. Aku pun sudah tidak peduli jika Emir dan Nanang mencariku, sungguh aku butuh waktu untuk berfikir dan mengobati semua luka yang sudah kutimbun selama ini.

Setelah sampai rumah aku disambut tangis oleh ibu sebab pipiku yang bengkak. Kuceritakan semua yang terjadi, karena pada kenyataannya aku tidak bisa menutupi semua dari ibu dan bapak. Meskipun hal ini sangat menyakitkan dan memalukan, tapi aku sangat butuh teman bercerita. Ibu tahu siapa Emir karena dulu aku sering menceritakannya, dan kini aku tahu dia pun ikut kecewa.

"Maafkan aku, Bu." Aku masih menangis di pelukannya.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, kamu tidak salah, Nak. Rasa cinta itu pun datang tanpa kamu minta, hanya saja kamu harus siap dengan konsekuensinya. Jujur ibu sedih mendengar semua, tapi ibu yakin ada pelajaran dari semua masalah ini. Mungkin Allah sedang ingin menyadarkanmu bahwa berharap pada manusia hanya akan membuat kecewa."

Aku merasa begitu tertampar, karena selama ini aku terlalu berharap.

"Kamu boleh menyukai siapa pun, tapi jangan berlebihan, karena yang berlebihan itu tidak baik. Seperti sekarang ini, kamu sangat terluka karena terlalu berharap pada Emir. Ibu tidak marah, juga tidak akan membenci Emir, karena masalah ini datang dari hatimu sendiri. Ibu tidak ingin kamu terlalu mencintai seseorang hingga lupa membahagiakan diri sendiri. Bagi ibu kamu sangat berharga, Maya. Maka kamu harus menghargai dirimu sendiri dengan hidup bahagia."

Lagi-lagi aku mengangguk, berusaha keras untuk bangkit. Setidaknya aku punya alasan untuk bahagia yaitu membuat ibu dan bapak bahagia.

"Sebaiknya kamu tidak usah berteman atau bekerja dengan temanmu itu. Meskipun bapak ini orang bodoh dan hanya buruh bangunan, tapi bapak akan sangat marah jika kamu disakiti." Sambung bapak yang lebih tegas, nampak sekali dia marah.

"Sudah gak papa! Jadikan ini pelajaran agar kedepan kamu bisa lebih baik." Hibur ibu sambil mengusap-usap punggungku.

Aku mencoba tersenyum dan mengangguk.

---o---

Malam itu, aku duduk di teras depan sambil membuat api unggun kecil, membakar beberapa sampah plastik dan kertas yang sudah tidak terpakai dari kamarku. Salah satu yang kubakar adalah buku harian memalukan yang dulu pernah kutulis, sekitar dua tahun lalu saat pertama bekerja bersama Emir.

Membaca semua tulisan itu membuatku malu dan kesal pada diri sendiri. Ya Allah, sebodoh inikah aku?

Aku membakar buku itu dan berniat dalam hati untuk membakar semua rasa cintaku pada Emir. Aku akan berusaha melupakan dan menghapus semua rasa yang ada, tidak peduli sesulit apa pun itu. Aku tidak akan lagi mengorbankan hatiku untuk terus menerus terluka.

Untuk apa mencintai begitu dalam jika ternyata dia bukan jodoh? Aku ingin hidup lebih baik, membangun masa depan baru tanpa Emir. Aku yakin bisa.

"Aku tidak akan menyesal dan aku akan melupakanmu, cinta bertepuk sebelah tangan ini akan kuakhiri di sini." Kataku sambil menyobek-nyobek buku tersebut.

Kuambil handphone dan menulis sebuah pesan.

To : Emir
Mulai hari ini aku berhenti bekerja, aku ingin fokus menyelesaikan skripsi. Terima kasih sudah memberi kesempatan padaku untuk banyak belajar.

Sejujurnya begitu berat menulis kalimat sederhana itu, tapi aku ingin terbebas. Aku tahu telah jauh terjatuh, sebab itu satu-satunya cara untuk bangkit adalah dengan menjauh darinya.

"Semoga kamu bahagia Emir, di mana pun selalu dan bertemu wanita baik yang mencintaimu dengan tulus. Aku tidak tahu siapa jodohku kelak, karena jika kita berjodoh cukuplah Allah yang menulis ceritanya." Lirihku, dan air mata itu kembali menderas.

Ya Allah, kenapa sedalam ini cinta pada manusia hingga aku lupa diri.




Happy Reading 🥰🙏

Sesederhana itu Mencintaimu (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang