Kutawarkan Diriku Padamu

143 12 7
                                    

Episode : Maya




Hari itu aku memutuskan untuk datang ke rumah sakit menjenguk bang Firman. Aku berharap keputusanku kali ini tepat, setelah beberapa kali sholat istikharah dan bahkan setelah semua yang Afan jelaskan beberapa hari yang lalu, hatiku mulai bisa tertata kembali, semua kebingungan dan keraguan yang sempat datang mulai menemukan kemantapannya.

Bismillah,
Ini ikhtiar terakhirku untuk Emir, jika memang berjodoh pasti mudah, tapi jika tidak maka aku akan ikhlas dan akan berhenti berharap. Jodoh hanya Allah yang tahu, manusia hanya bisa ikhtiar karena yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah.

Di rumah sakit itu aku tidak melihat Emir, mungkin dia sedang bekerja, namun aku bersyukur bisa bertemu langsung dengan ibunya. Beliau wanita berusia di atas lima puluh tahun namun terasa seperti hampir tujuh puluh. Beban dan beratnya hidup membuat wajahnya menua lebih cepat.

Aku cukup terkejut saat beliau tiba-tiba menangis saat bertemu denganku, aku tidak tahu apa yang sudah Emir ceritakan tapi beliau memelukku dengan penuh rasa bersalah, padahal ini pertama kalinya kami bertemu. Entah kenapa aku merasa ibunya Emir seperti sudah sering mendengar namaku hingga beliau begitu mudah bercerita dan lekas dekat denganku.

"Ya Allah, ternyata kamu yang namanya Maya. Emir banyak sekali cerita tentang kamu, Nak. Terima kasih banyak sudah mau berteman dan membantu Emir jualan saat masih kuliah dulu." Kata beliau sambil memegang tanganku.

Aku mengangguk, namun mata ini ikut berkaca-kaca. Kurasakan betul tangan kasar dan kisut beliau, pertanda bahwa tangan ini selalu digunakan untuk bekerja keras demi membesarkan ketiga anaknya yang hebat.

Kami cukup banyak bercerita, dari beliau aku tahu bagaimana kisah masa kecil Emir dan kehidupannya saat menjadi pembantu di rumah dokter Sasongko. Lagi-lagi aku ikut menangis, beliau bercerita panjang penuh rasa bersalah sebab hingga detik ini belum bisa memberikan apa-apa kepada Emir. Sejak lulus SD Emir sudah bekerja untuk biaya sekolah dan kehidupan orangtuanya.

Ya Allah, aku tidak bisa membayangkan kehidupannya saat itu. Di saat masih SMP dia harus jualan sana sini hingga masa remaja terlewat begitu saja, pun saat SMA harus menjadi pembantu demi bisa tetap sekolah, hingga hari ini perjuangan itu masih sangat terasa.

Di sini aku tahu bahwa Emir sangat butuh kasih sayang, butuh kebahagiaan untuk mengganti setiap episode hidupnya yang selama ini begitu berat dan sulit.

Ya Allah, izinkan aku menjadi bagian untuk memberikan kebahagiaan itu.

"Emir pernah bilang kalau menyukaimu, dia juga ingin bisa melamar langsung, hanya saja keinginan itu hingga kini belum terwujud karena beban keluarga juga pengobatan bang Firman yang begitu banyak. Jujur Ibu tidak ingin merepotkan Emir lagi, sedikit-dikit Ibu masih bisa bekerja di sawah maupun buruh apa saja asal tidak merepotkan anak, tapi Emir tidak pernah mengizinkan Ibu melakukan itu, dia selalu memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan rela mengorbankan impiannya."

Airmataku sudah deras mengalir. Di jaman yang pergaulan begitu miris saat ini masih kutemukan mutiara seindah Emir. Mungkin di dunia dia tidak punya harta, tapi aku yakin di akhirat dia dirindukan bidadari surga. Kini aku semakin yakin untuk melangkah maju. Aku ingin menjadi bagian dari hidupnya, bahkan siapa tahu kelak bisa menjadi teman dunia akhiratnya.

----o----

Emir datang setelah kami cukup lama ngobrol, dia nampak kaget dan canggung untuk menyapaku. Apalagi melihat aku duduk bersama ibunya.

"Kalian berdua bicaralah, ibu akan jaga bang Firman di dalam." Kata ibu lalu memutuskan untuk masuk ruang rawat bang Firman.

Di saat itu aku duduk berjarak dari Emir, suasana masih canggung persis seperti dua orang yang baru kenal. Aku berusaha menormalkan napas yang entah sejak kapan terasa begitu memberatkan. Degup jantung seperti gendang yang sedang ditabuh, nyaris bisa didengar oleh telingaku.

Sesederhana itu Mencintaimu (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang