Episode : Emir
"Abangmu sakit, dia harus operasi, Ibu tidak ada uang. Bisakah kamu membantu, Emir."
Di rumah sakit itu, hatiku hancur melihat ibu yang terus menerus menangis di luar ruang operasi. Ibu sangat mencintai bang Firman, saking cintanya terkadang aku merasa beliau tidak begitu peduli padaku. Sebagai anak tengah sering kali aku iri, namun apa pun itu baktiku pada ibu tidak akan berkurang sedikit pun.
Abangku hidup sederhana bersama anak istrinya, kini mendapat ujian sakit yang mengharuskannya untuk operasi, sedang di sisi lain adikku yang masih kuliah baru saja meminta bantuanku untuk membayar uang semesternya.
Di sini, aku tidak hanya sebagai tulang punggung untuk menghidupi kedua orangtuaku yang miskin, tapi juga menolong abang dan adikku. Setiap ada tabungan yang kuniatkan untuk menikah harus kuikhlaskan untuk kebutuhan mereka.
Tapi aku ikhlas ya Allah, aku ikhlas jika aku harus menjadi mesin untuk keluargaku. Pun aku tidak berharap banyak untuk bisa menikah dengan siapa pun itu, termasuk Maya. Setiap kali aku ingin datang padanya, aku ingat bahwa aku tidak punya apa-apa. Tidak ada yang bisa kujanjikan, apa lagi keluargaku yang penuh kekurangan dan hanya bergantung pada penghasilanku.
Jujur, terkadang aku ingin menangis. Betapa beban hidup ini tak juga berhenti. Terkadang aku bertanya, kapan ya Allah aku bisa menikmati hidupku sendiri? Kadang pula aku iri dengan teman-temanku di luar sana yang bisa menikmati gajinya, bahkan bisa menabung untuk masa depan. Tapi aku? Ah sudahlah, mungkin ini takdir untukku, insya Allah aku ikhlas, asal orang tuaku bahagia. Biar Allah saja yang mengatur dan membalas semua pengorbanan ini.
"Insya Allah aku masih ada tabungan, Bu. Ibu tidak perlu khawatir." Kataku sambil merangkul ibu yang masih menangis.
Kualihkan pandanganku pada dua keponakanku Hanif dan Sofia, anak abang yang masih kecil-kecil, juga istrinya. Ya Allah aku tidak mungkin bersikap egois, mereka sangat butuh bantuan. Rasanya ingin sekali kutumpahkan semua air mata yang ada.
Kenapa ya Allah hidup kami semiskin ini? Kenapa ujian kemiskinan ini masih saja di depan mata? Ditambah abangku sakit yang membuat dia tidak bisa bekerja menghidupi anak istrinya. Aku harus apa ya Allah? Aku merasa begitu hancur. Pada akhirnya airmataku jatuh juga.
Dalam keadaan hidupku seperti ini, rasanya memikirkan bisa menikah itu begitu mahal, nampak mustahil. Apa ada yang mau hidup dengan lelaki yang masih bergulat dengan kemiskinan keluarganya? Terkadang aku ingin sekali menyerah dan lari sejauh mungkin agar beban keluarga ini tidak terus menerus kupikul sendiri. Tapi aku tidak mungkin melakukan itu, justru aku harus kuat. Mungkin hanya kebaikan ini yang kelak akan memasukanku dalam surga, karena jujur ibadahku kocar-kacir. Sebab itu, aku berusaha untuk bisa ikhlas dalam keadaan apa pun.
"Ibu fokus do'ain Bang Firman agar operasinya lancar, cepat sehat dan bisa aktivitas lagi. Ibu tidak usah memikirkan uang, aku yang akan menanggung semua pengobatannya." hiburku sambil mengelus-elus punggung ibu.
"Terima kasih Emir."
Ucapan terima kasih itu, entah kenapa terasa begitu menyiksa hatiku.
----o----
Siang itu, usai sholat di mushola rumah sakit, aku terkejut melihat Hanif dan Sofia yang lagi bermain dengan seorang dokter muda di halaman mushola. Aku melihat anak-anak itu nampak bahagia, juga dokter itu, wajah teduhnya membuatku terkesan, apalagi dia mampu membuat Hanif dan Sofia begitu bahagia.
"Om Emir!" Teriak Hanif yang kininya usia 5 tahun, sedang Sofia 3 tahun mereka berlari menghampiri dan memelukku.
"Halo anak sholih sholihah. Kalian lagi sama siapa?" Tanyaku lekas mengendong Sofia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sesederhana itu Mencintaimu (Selesai)
Ficção AdolescenteDia yang sangat gigih, pekerja keras, cerdas, berprestasi, juga dia yang hidup miskin hingga harus banting tulang untuk tetap bisa kuliah dan menjadi tulang punggung keluarganya. Dia inspirasi hidupku, seseorang yang membuatku tahu bahwa kesempurnaa...