Episode : Maya
Sejak kejujuran bapak kapan hari, aku mulai tidak fokus, pikiran ini masih terus melayang ke mana-mana. Ada rasa sesal, sedih dan khawatir yang campur aduk. Sejak hati ini kubuka untuk menerima nama seseorang, hanya ada nama Emir di sana, tidak bisa kuganti dengan nama-nama lain. Dia sudah menjadi pemenang hatiku.
"Ibu dan Bapak ingin kamu bahagia, Nak. Selama ini Ibu tahu betul bahwa kamu menutup hati pada setiap orang yang ingin mengenalmu. Meskipun kamu selalu bilang bahwa tidak ada yang tertarik padamu, tapi sebenarnya itu semua hanya pelampiasan saja, karena nyatanya beberapa kali ada lelaki datang ingin mengenal tapi kamu selalu menghindar, kamu dingin dan cuek. Terkadang Ibu sedih dengan semua itu."
Aku terdiam saat makan malam itu. Semua yang dikatakan ibu memang benar, tidak ada lelaki datang bukan karena aku tidak menarik, tapi dari caraku bersikap yang membuat mereka takut mendekat. Aku tidak mudah akrab dengan laki-laki, pun lebih bersikap acuh karena ingin menjaga diri dari fitnah. Namun, dari lubuk hati paling dalam ada alasan lain kenapa aku bersikap dingin pada semua laki-laki, karena hanya Emir yang aku tunggu. Salahkah?
"Ibu tahu kamu masih menyukai Emir hingga kamu menutup hati untuk siapa pun, tapi lihatlah hingga tiga tahun berlalu dia tidak datang. Jika dia sungguh serius dan menyukaimu seharusnya dia sudah datang sejak dua tahun lalu, sejak setelah kamu lulus. Tapi nyatanya hingga hari ini pun tidak ada kabar. Ibu tidak mau kamu menunggu orang yang tidak pasti, mau sampai kapan? Belum tentu juga dia datang, atau bahkan mungkin sudah punya pilihan lain."
Tiba-tiba mataku basah. Ya Allah, usiaku sudah dua puluh lima tahun, aku tahu betul perasaan orangtuaku yang mungkin khawatir anak gadisnya tidak laku, dan pada akhirnya semua kekalutan ini kian membuat pikiranku kacau.
"Ibu ingin kami membuka diri, Nak. Jika ada lelaki baik yang datang tolong jangan ditolak, pertimbangkan dengan baik-baik karena kamu tidak tahu siapa jodoh pilihan Allah. Belum tentu yang baik menurut kita, baik pula di mata Allah. Maka siapa pun yang Allah hadirkan, ibu ingin kamu berusaha menerima. Setidaknya ikhtiar, karena kalau jodoh pasti mudah jalannya."
Aku mengangguk begitu saja, karena bagaimana pun aku tidak punya pilihan. Bertahan pun belum tentu dia datang, lantas apa lagi yang bisa kulakukan selain berpasrah?
"Kamu masih ingat sahabat Ibu yang dulu pernah menolong saat kita susah?"
"Iya, Bu. Saya masih sangat ingat, kita punya hutang budi pada beliau."
"Kamu juga ingat siapa anaknya? Seusia denganmu."
Aku berfikir sejenak dan mengangguk, "Kalau tidak salah namanya Afan ya?"
Ibu tersenyum mengangguk.
"Afan baru saja lulus koas, Alhamdulillah dia sudah menjadi dokter sekarang. Bu Fatma ingin Afan bisa mengenalmu lebih dekat."
Deg.. Aku tertegun sesaat.
"Maksud Ibu?"
Ibu nampak tersenyum cerah.
"Bu Fatma ingin berbesan dengan kita. Beliau orang kaya yang sangat baik, beliau sangat menyukaimu jadi jika bisa ingin sekali mengenalkan Afan lebih dekat denganmu. Siapa tahu berjodoh."
Aku terdiam antara terkejut dan tidak percaya, bahkan saking tidak masuk akalnya aku ingin tertawa.
"Ibu jangan bercanda, kalau Afan itu dokter, mana mau menikah denganku yang hanya penjual nasi goreng." Sahutku terkekeh.
"Memang kamu sudah kenal baik sama dia sampai bisa menyimpulkan begitu? Afan itu meskipun sudah menjadi dokter, dia sangat bersahaja, rendah hati dan baik seperti ibunya. Jadi tidak ada yang mustahil, pokoknya Ibu ingin kamu ketemu dulu sama dia, setidaknya ngobrol untuk saling kenal lebih dekat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sesederhana itu Mencintaimu (Selesai)
Roman pour AdolescentsDia yang sangat gigih, pekerja keras, cerdas, berprestasi, juga dia yang hidup miskin hingga harus banting tulang untuk tetap bisa kuliah dan menjadi tulang punggung keluarganya. Dia inspirasi hidupku, seseorang yang membuatku tahu bahwa kesempurnaa...