Lelaki Mengagumkan

91 11 5
                                    


Episode : Maya

"Gajimu bulan ini, Terima kasih sudah bekerja keras."

Entah kenapa tiap mengingat kalimat itu terasa sesak di dada. Emir selalu mengatakan itu tiap bulan dengan wajah masih sama sejak dua tahun lalu, datar, tanpa ekspresi. Setitik rasa yang kuharapkan dari sinar matanya tak pernah kutemukan. Dia hanya berterima kasih karena aku telah membantunya. Hanya itu, tidak ada yang lain. Dan jujur itu membuatku semakin sakit.

Apa lagi saat kudengar obrolan Emir dan Nanang tempo hari. Apa? Melamar Hanin? Menikah? Tidaaakkk.. Aku tidak siap hancur secepat ini.

Kuusap airmata yang entah sejak kapan sudah menderas. Tiap ingat cinta tak terbalas ini rasa sakitnya kian mengguncang. Kenapa cinta harus semengenaskan ini?

Kutarik napas dalam-dalam, melanjutkan langkah menuju kampus, namun langkahku terhenti saat melihat Emir berdiri di depan sebuah bangunan ruko berjajar yang masih belum tersewakan. Segera kuputuskan untuk mendekatinya.

"Kamu ngapain di sini?" Tanyaku memandang Emir yang nampak melamun.

Dia melihatku sesaat dan tersenyum tipis.

"Kamu tau May, terkadang orang membeli itu bukan karena rasa, tapi karena brand yang sudah tercipta. Seperti Starbucks, orang membeli agar bisa diposting di media sosial, membeli karena gaya. Kenapa? Karena brand Starbucks sudah mendunia, kopi berkelas, sampai ada istilah hanya orang kaya yang bisa menikmati." Ceritanya masih sambil memandang ruko itu.

Aku memilih diam mendengarkan, selalu seperti itu jika Emir berbicara, karena kalimat yang keluar dari mulutnya itu selalu membawa ilmu baru bagiku.

"Aku punya impian suatu saat nasi goreng kita bisa seperti itu. Jadi orang datang tak sekedar membeli rasa, tapi juga brand. Mereka bisa bahagia dan bangga saat makan. Jadi saat orang ingin makan nasi goreng, di pikiran mereka yang terlintas pertama kali adalah nasi goreng kita. Itu yang dinamakan brand telah terbentuk."

Aku tertegun kagum, apa pun itu Emir selalu mampu membuat jantungku berdetak kencang dan semangatku kembali membara.

"Tapi produk kita hanyalah nasi goreng yang bahkan semua orang bisa membuatnya. Apakah mungkin bisa menciptakan branding dari produk sederhana?" Tanyaku.

"Justru itu, karena semua orang bisa membuatnya sehingga sedikit yang mampu membangun brand dari produk sederhana. Starbucks juga hanyalah kopi, tapi kenapa bisa sehebat itu? Itulah yang disebut kekuatan brand, dia bisa mengalahkan rasa." Jelas Emir dengan penuh semangat.

"Coba lihat itu!" Emir menunjuk dua penjual bakso yang satu begitu laris dan yang satunya sepi.

"Kamu tahu apa yang membedakan mereka?" Tanyanya menatapku.

"Karena rezeki Allah." Aku menjawab asal dengan sedikit bergurau. Gurauan yang berhasil membuat Emir tersenyum lebih lebar.

"Ya, itu pasti rezeki Allah datang pada siapa pun. Tapi rezeki dijemput dengan ikhtiar yang dibekali ilmu. Tak sekedar usaha saja, tanpa ilmu rezeki besar tak akan sampai di tangan. Ilmu marketing juga bagian dari ikhtiar menjemput rezeki."

"Oh.. Kini aku tahu kenapa bakso yang itu lebih ramai dari sebelahnya, karena lebih menarik dari segi promosi. Dan mungkin dari rasa juga lebih enak."

"Bagus, itu yang kumaksud dari tadi. Jadi... "

Kudengarkan setiap penjelasannya dengan penuh rasa kagum dan semangat. Aku selalu suka jika diajak Emir berdiskusi, merasa hidup. Aku selalu berharap menjadi yang pertama mendukung dan ada saat senang maupun sulit. Meski aku tidak pintar juga sedikit pengalaman, tapi aku punya ketulusan dan kesabaran membersamai perjuangan Emir selama ini. Sehingga kupikir aku akan baik-baik saja jika pun tak mendapatkan hatinya. Ya, aku pasti baik-baik saja.

----o----

Sepulang kuliah aku melewati gedung Farmasi, jurusan di mana Hanin kuliah. Gadis itu nampak sedang tertawa lepas bersama gengnya, sekelompok gadis-gadis cantik anak orang kaya yang berpenampilan gelamor. Sering kali mereka kuliah membawa mobil orangtua mereka.

Melihat Hanin saat itu, sungguh aku sedih jika ternyata gadis itu yang berhasil mendapatkan hati Emir. Gadis manja yang tidak tahu rasanya kelaparan maupun dapat nilai akademik terendah. Gadis yang tidak pernah merasakan makan sekedar nasi dan sambal. Apakah sungguh semua lelaki selalu tertarik pada yang cantik saja? Apakah sungguh gadis-gadis kusam sepertiku tak sedetik pun membuat jantung mereka berdebar.

Sesak..
Setiap kali memikirkan hal ini aku selalu ingin menangis. Jujur aku iri dan benci. Kenapa hanya mereka yang dilihat, apakah wanita menarik itu hanya yang cantik dan pintar saja? Karena nyatanya hingga aku hampir lulus kuliah tak seorang pun lelaki datang mendekat, yang ada aku selalu patah hati dan mencintai sendirian seperti orang bodoh.

Begitu nelangsanya diriku.

Kuusap wajah penuh keringat dan kusam ini, kutepuk tepuk pelan dada yang mulai terasa sesak.

"Gak papa Maya, gak penting penilaian orang terhadap dirimu. Manusia memang begitu, tapi Allah tidak. Allah melihat hatimu, melihat ketulusanmu. Jadi pasti suatu saat Allah hadirkan lelaki baik yang bersyukur memilikimu. Tidak melihat apakah kamu cantik atau tidak. Ya benar, tidak melihat fisikmu. Jadi tidak apa-apa, aku baik-baik saja. Aku kuat." Kataku mencoba mencoba menghibur diri sendiri.

"Ngapain ngelamun di tengah jalan begini?"

Sontak aku menoleh melihat asal suara tersebut. Kudapati Nanang memandangku penuh penasaran. Seketika aku tertawa sambil mendorong tubuhnya menjauh dariku.

"Tidak ada apa-apa. Hanya ingin melihat gadis cantik-cantik itu pakai skincare apa." Jawabku asal sambil melempar pandangan ke arah Hanin dan gengnya.

"Oh si Hanin ya. Dia memang dari lahir sudah cantik, jadi gak perlu iri. Dia gak mungkin pakai skincare karena kulit tangannya saja sangat halus."

Aku terbelalak melototi Nanang, seketika dia gelagapan dan tertawa canggung.

"Kamu emang pernah pegang tangannya, kok tahu halus?" Selidikku.

"Ya enggak lah. Itu hanya spekulasiku saja." Jawabnya lalu tertawa.

Aku mendengus kesal. Lalu melangkah pergi, namun Nanang membuntutiku.

"Ngapain sih membandingkan diri dengan Hanin. Gak bakal sama lah. Kamu dan dia itu langit dan bumi. Jadi gak perlu dibandingin."

"Aku tidak membandingkan diri, hanya merasa kenapa semua lelaki suka gadis cantik."

"Ya jelas, itu fitrah lelaki. Diuji dengan kecantikan wanita." Tegas Nanang nampak bangga.

"Semua wanita atau yang cantik saja?" Aku iseng bertanya, dan dia nampak berfikir.

"Terutama yang cantik dan seksi, kalau di luar itu kurang bisa menggetarkan hati."

Jawaban Nanang sudah mewakili pertanyaanku selama ini. Mungkin Emir juga begitu, buktinya dia tertarik pada Hanin, bukan aku yang sudah menemani perjuangannya.

"Kenapa kamu tanya kayak gitu? Kamu merasa insecure sama Hanin?"

"Tidak, hanya merasa iri." Jawabku langsung mempercepat langkah agar Nanang tidak semakin banyak tanya.

"Iri kenapa? Emang kamu sedang bersaing sama Hanin ya? Jangan-jangan kamu suka sama Emir?" Suara Nanang semakin lantang mengikuti langkahku, namun aku enggan menjawab dan kuabaikan saja. Jika semakin dituruti, pertanyaannya akan semakin ngelantur. Akan sangat bahaya jika Emir sampai mendengarnya.

Happy Reading.

Sesederhana itu Mencintaimu (Selesai) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang