Tan terdiam di depan layar komputer. Pandangannya kosong dengan kedua tangan memegang kepala. Yanu sedang berbaring santai di kasur indekos milik sahabatnya. Ia memaku matanya pada ponsel yang memainkan sebuah film. Tersadar ada yang tidak beres dengan Tan, mahasiswa sastra berkacamata itu bangkit.
"Lu sehat?" tanya Yanu.
Tidak ada jawaban dari cowok 19 tahun itu. Malah kedua tangan terlihat lebih kencang meremas rambutnya. Kini Yanu semakin mendekat.
"Woy! Sadar!"
Tan pun tersentak. Ia mengelus dadanya yang berdegup lebih cepat.
"Niat amat bikin temen lo cepet mati," gerutu Tan.
"Abisnya ngelamun mulu dari tadi. Ada apaan??"
"Gue nggak selesai-selesai mikirin Yaya."
Yanu kembali ke kasur yang membuatnya nyaman. "Gue kira apaan. Kan tiap hari emang penulis kesayangan lu itu yang lu pikirin."
Tan memurar kursinya hingga berhadapan dengan sang sahabat. "Tapi ini beda. Gue mandang Yaya bukan sebagai penulis idola sekarang, tapi-"
"Lu pengen nembak dia?" celetuk Yanu.
Mahasiswa 20 tahun itu mengangguk. Ia menggaruk kepala yang padahal tidak gatal.
"Tapi apa gue pantas?" Tan meragukan dirinya sendiri.
Yanu mendengkus mendengar kalimat sahabatnya. "Kalau belum nyoba, ya, mana tahu, Tan."
Mendengar perkataan Yanu, Tan semakin merasa frustrasi. Kepalanya serasa ingin meledak, padahal perkara hati yang menjadi pertanyaan. Melihat hal itu, Yanu menghampiri lagi.
"Tenang, bro. Gue kan udah bilang kemarin kalau mau bantu. Pelan-pelan aja. Anak kaya Yaya agak susah berbaur sama orang lain."
Tan memandang wajah sahabatnya. "Jadi-"
"Jadi, kecil kemungkinan Yaya ditikung." Yanu melanjutkan.
Jarak wajah kedua sahabat itu cukup dekat. Tan yang masih bergelut dengan pikirannya pun baru sadar dengan posisi itu. Seketika ia menjauh dan bergidik sendiri. Yanu hanya tertawa dengan tingkah sahabatnya.
"Tenang, gue bukan pelangi." Yanu menyeletuk, lalu dilanjutkan dengan tawa.
Di belahan dunia lain, Yaya dan Ika sedang asyik menyantap kudapan. Hari itu Ika tidak sibuk dengan urusan penerbitan sehingga masih bisa menemani sang adik. Roti tawar panggang yang garing terbalur madu dan es krim menjadi penyejuk kala cuaca yang panas.
Pekerjaan Ika sebagai editor tidak membuatnya sibuk. Terlebih antrean edit buku tidak terlalu banyak. Ia masih bisa menikmati masa senggang.
"Kamu nggak mau nulis lagi?" tanya Ika pada adiknya.
Yaya berpikir sejenak. "Aku belum dapat ide, Kak. Belum mood nulis juga."
Ika mengangguk mengerti. Wajar saja, novel 'Terowongan' karya adiknya itu baru terbit dua bulan lalu. Walaupun nulisnya sudah dari tahun lalu. Wanita 25 tahun yang belum menikah itu terpikir sesuatu.
"Ya, Kakak mau tanya."
"Tanya apa, Kak?"
"Bagaimana perasaan kamu waktu nulis 'Terowongan'? Wajah wanita itu terpangku mendekati Yaya.
Yaya termenung mendengar pertanyaan kakaknya. Mengingat isi ceritanya, tak sadar napas semakin cepat. Pandangan gadis itu pun kosong.
"Ya, Yaya!" Ika menyadarkan.
Senyuman terlukis di wajah tembam gadis mungil itu. Ia membuang napas panjang, kemudian menjawab pertanyaan kakaknya.
"Karena cerita awalnya hanya mengarang, aku masih menikmati, Kak. Baru saat masuk konflik mendadak aku teringat kejadian itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
✔️ Kukejar Dia dalam Cerita [TAMAT]
General FictionMenceritakan seorang mahasiswa bernama Tan yang mengidolakan penulis terkenal. Sang penulis tak pernah memperkenalkan diri aslinya sehingga terkesan misterius. Teman-teman Tan menganggap aneh kegemarannya itu. Pada akhirnya ia bertemu dengan teman s...