Keesokan harinya, tersebar berita tersangka pembunuhan berantai yang ditangkap 3 tahun lalu meninggal saat perjalanan ke rumah sakit. Ayah Yanu yang sedang membaca koran di kantor langsung mengalihkan pandangan ke televisi yang menyiarkan itu. Ia terpaku mendengarnya.
Tak lama terdengar suara yang tidak asing teriak memanggil. Ayah Yanu beralih menuju kegaduhan itu. Benar saja, Yanu berlarian ingin bertemu.
"Yah, Ayah. Ayah sudah tahu beritanya?" ucap Yanu seketika berada di hadapan ayahnya. Napas mahasiswa 20 tahun itu pun masih belum stabil.
"Iya, iya. Ayah sudah tahu. Kamu tenang dulu. Kenapa sampai lari?" tanya Ayah.
Yanu menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya. Ayah memberi isyarat pada rekannya untuk mengajak sang anak ke ruang kosong. Mereka pun duduk bersama di sofa ruang itu.
"Kenapa kamu sampai nyusul Ayah ke sini? tanya Ayah sambil meletakkan segelas air putih pada putranya.
Seteguk air membasahi tenggorokan Yanu. "Orang itu bukan pembunuh Kakak, Yah."
Kalimat itu membuat Ayah tercengang. "Maksudnya?"
"Aku sudah pernah bertemu orang itu." Ia menunduk ketika memgatakannya.
Sekujur tubuh Ayah melemas. Ia bersandar pada sofa. Dahi yang merasa memiliki denyutan mulai dipijat.
"Kamu ngapain ngorek luka lama? Udah bersyukur dia mati, sekarang kamu bilang bukan dia pelakunya?" Nada Ayah mulai meninggi.
Tudukkan Yanu semakin dalam. "Maaf, karena aku tidak izin ke Ayah dari awal. Ada teman kuliah Yanu yang ternyata saksi dari pembunuhan Kakak."
Denyut di dahi polisi itu semakin terasa. "Kok, bisa kamu melakukan hal sebahaya itu tanpa pengawasan orang tua? Kalian itu masih kecil."
"Kalau aku bilang, Ayah nggak bakalan izinin. Aku berencana bilang kalau aku sudah bertemu bukti kuat."
"Memang apa bukti yang kamu bawa?" Ayah menantang.
Sebuah liontin berwarna biru safir dengan alas tembaga keluar dari saku mahasiswa Sastra itu. Tak hanya itu, selembar kertas terlipat juga diletakkan di atas meja. Kini perhatian Ayah tertuju pada barang itu.
"Bagaimana kamu dapat ini?" tanya Ayah sambil mengangkat liontin yang terbungkus plastik.
"Sekitar sebulan lalu, di terowongan tempat tahanan itu tertangkap."
Usai mendapat jawaban, Ayah mengambil kertas yang terlipat. Ketika dibuka, ternyata berisi kecocokan antara berkas darah yang ada di dalam liontin itu dengan salah satu barang yang pernah dipakai kakak Yanu. Cukup sulit untuk menemukan sampelnya, beruntung masih ada pakaian yang tersimpan di gudang dengan beberapa helai rambut panjang berwarna cokelat.
"Aku pernah nunjukkin liontin itu ke dia, tetapi nggak ada reaksi apapun. Kemudian, Tan pernah melihat foto orang ketika memakai liontin itu."
Tak berhenti, Yanu mengeluarkan ponsel. Ia menunjukkan foto dosen dengan seorang anak kecil memakai liontin biru safir itu di taman bermain. Ayah Yanu mengambil untuk melihatnya lebih jelas. Kali ini pergerakan anaknya tidak meleset.
"Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" tanya ayah Yanu.
Setelah terdiam sekian menit, anak itu pun menjawab, "Rencananya Yanu sama Tan mau nyamperin ke rumah Pak Anton dengan dalih bimbingan tugas."
"Apa nggak terlalu bahaya? Kemungkinan dia sudah tahu pergerakan kalian."
Mahasiswa itu tidak bisa menjawab. Tak bisa dipungkiri rasa takut juga hadir di benak Yanu. Ayah dan anak itu terjebak dalam keheningan.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔️ Kukejar Dia dalam Cerita [TAMAT]
Художественная прозаMenceritakan seorang mahasiswa bernama Tan yang mengidolakan penulis terkenal. Sang penulis tak pernah memperkenalkan diri aslinya sehingga terkesan misterius. Teman-teman Tan menganggap aneh kegemarannya itu. Pada akhirnya ia bertemu dengan teman s...