BAB 18: AFTER EFFECT

5 1 0
                                    

Sudah seminggu semenjak putus dengan pacarnya. Perlahan Yaya sudah mau keluar kamar untuk membantu sang kakak menyiapkan sarapan. Walaupun wajak sembap masih terlukis jelas. Sesekali Ika menatap adiknya, tanpa pertanyaan. Tidak mungkin sikap sejelas itu Yaya tidak merasa.

"Kakak mau tanya apa? Liatin mulu," ucap Yaya sambil mengelap meja makan yang terbuat dari kaca itu.

Bibir Ika hanya bergerak, tetapi kalimatnya enggan untuk keluar. Akhirnya ia mengatakan, "Nggak apa-apa."

Sarapan pun siap. Yaya dan kakaknya duduk bersebelahan. Meja makan yang cukup panjang untuk dua penghuni rumah itu.

"Kamu nggak apa-apa, Ya?"

Yaya menyeringai. "Akhirnya Kakak tanya juga. Aku nggak apa-apa, kok."

Bohong, kalimat itu hanya ada di mulut saja. Hati Yaya masih remuk, dadanya sesak mengingat pertemuan terakhir dengan sang mantan. Ia menyuapkan bubur sesendok penuh. Ika sadar ada yang tidak beres. Benar saja, air mata gadis mungil 19 tahun itu menetes.

"Ya." Ika kembali memanggil yang membuat Yaya semakin menjadi.

Wanita 25 tahun itu seketika merangkul Yaya. Bahunya seketika basah karena air mata. Tanpa kalimat apapun, Ika hanya membelai rambut sepunggung milik Yaya. Berharap itu dapat menenangkan.

Sekian menit berlalu, gadis mungil itu sudah kembali tenang. Sejak putus dengan Tan, Yaya memang tidak langsung cerita. Bahkan mengingatnya saja sudah membuat sakit.

"Kak Tan jahat banget. Aku udah usaha buat percaya, aku juga udah buka diri. Tapi, kenapa dia putusin aku? Emang aku nggak pantas disayang sama orang?" Keluh kesah pun keluar dari mulut Yaya.

Ika mendengar sambil menyibak rambut yang ada di dahi adiknya. "Pantas, kok. Kan ada Kakak juga yang sayang sama kamu," ucapnya.

"Aku buka masker sama topi, nerima orang baru itu bukan hal yang mudah, loh, Kak. Buat suka sama dia juga."

Wanita 25 tahun itu mengangguk. Ia berusaha mengerti perasaan sang adik.

"Apa ini ada hubungannya sama kasus Kak Yanu?" celetuk Yaya.

"Kenapa tiba-tiba bilang begitu?" tanya Ika.

"Ya, karena, sejak itu Kak Tan minta aku buat nggak ikut. Aku juga ditinggal waktu ke lapas."

"Kalau memang begitu alasan Tan putusin kamu, berarti dia mau lindungin kamu. Dia nggak mau kamu terlibat dalam kasus sebahaya ini."

"Tapi, kan, aku kuncinya. Aku saksi pembunuhan itu, harusnya aku yang terlibat bukan malah Kak Tan."

Ika hanya mengembuskan napas. Dalam pikiran wanita itu, ia setuju dengan sikap Tan melepas adiknya supaya tidak terlibat. Namun, sepertinya Yaya belum cukup mengerti. Ika memegang kedua bahu sang adik.

"Daripada kamu terlarut, kamu malah makin sakit. Gimana kalau dialihkan ke sesuatu yang kamu senangi?" Senyum Ika mengembang untuk menghibur sang adik.

"Menulis?" tanya Yaya.

Ika mengangguk. "Kamu ingat, kan? Ada proyek baru dari penerbitan?"

"Aku sudah buat outline, sih, Kak. Sekalian tugas dari kampus."

"Karena waktunya juga mepet, kamu bisa nulis itu dalam sebulan? Nanti kita jalan seperti dulu. Kakak antar jemput kamu kuliah, ya? Di rumah, kamu bisa nulis."

Yaya setuju. Gadis mungil itu akan menjalani kehidupan seperti sebelum pacaran dengan Tan. Bedanya, ia tak memakai topi dan masker lagi.

***

✔️ Kukejar Dia dalam Cerita [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang