BAB 17: BREAK UP

2 1 0
                                    

Tan termenung di kamarnya. Ia terlentang dengan satu lengan menutup mata. Dalam pikiran cowok itu masih terngiang akan bahaya kasus yang dihadapi. Satu sisi ia ingin membantu sahabat, tetapi di sisi lain ada penulis idola sekaligus pacarnya yang tidak ingin kenapa-kenapa.

Memang Yaya sudah tidak terlalu terlibat, terlebih saat terjun ke lapangan. Namun, tetap saja itu membuat dirinya khawatir. Bayang-bayang pembunuh itu juga semakin dekat walaupun belum pasti.

Ponsel Tan berdenting. Tangan yang awalnya digunakan untuk menutup mata, ia gunakan meraih ponsel di samping bantal. Gadis kesayangannya mengirim pesan.

Yaya
Jadi ke tempat es krim sama Kak Yanu, kan?

Pada hari itu memang ada janji mereka bertiga untuk bertemu. Sekadar melepas penat setelah berkutat dengan tugas kuliah dan teka-teki yang harus diselesaikan. Entah, masih ada yang mengganjal di dada mahasiswa 20 tahun itu.

Setelah membalas pesan penulis idolanya, Tan bersiap menjemput. Kaos abu-abu dan celana denim membuatnya tampak santai. Ke kedai es krim tak perlu terlalu rapi. Ia pun berangkat.

Ternyata Yaya sudah menunggu di depan gerbang hitam rumahnya. Seketika Tan sampai, gadis itu menghampiri. Cowok itu melihat ke segala arah.

"Kak Tan nyari apa?" Yaya dibuat bingung karenanya.

"Kenapa nggak nunggu di dalam aja? Kamu tahu sendiri dia sedang berkeliaran." Rasa khawatir Tan tidak bisa tertutupi.

"Yaya juga baru keluar, kok. Lagian Yaya sekarang masih hidup. Nggak ada apa-apa."

Tan menghela napas. "Bukan begitu. Kamu juga harus jaga diri. Aku nggak bisa 24 jam sama kamu."

Yaya mengulurkan tangannya hingga menyentuh dahi Tan yang sebagian tertutup helm. "Nggak panas, kok. Kak Tan kenapa tumben sensitif, sih?"

Tan terdiam. Banyak kalimat yang sebenarnya ingin keluar. Hanya saja lidahnya mengunci. Sekali lagi menghela napas, lalu Tan menepuk jok motor bagian belakang. Yaya yang paham kode itu pun mengikuti. Ia naik di jok belakang motor pacarnya.

Kedai es krim pilihan Yaya tidak jauh dari kampus. Tentu tidak perlu waktu lama untuk mencapainya. Dalam perjalanan tidak ada percakapan yang terjadi. Tan hanya diam menatap lurus jalanan, sedangkan Yaya menyabuk diam.

Di parkiran kedai terlihat motor milik Yanu. Sudah diduga, cowok itu memang selalu datang lebih dulu. Bangku memanjang yang menghadap jendela menjadi pilihan. Di hadapan Yanu juga sudah ada satu porsi eskrim vanila.

Ketiganya saling menyapa dari pintu masuk. Yaya menghampiri Yanu saat Tan memesan kudapan. Selesai itu, Tan menyusul sahabat dan pacarnya.

Yanu dan Yaya berbincang sekadar basa-basi dengan asyiknya. Namun, keadaan berbeda terlihat pada raut wajah mahasiswa berambut poni itu. Matanya kosong menghadap jalan tempat lalu-lalang kendaraan.

"Kak Tan, Kak Tan!" Yaya mencoba menyadarkan pacarnya.

Cowok itu pun tersentak. "Ya?"

"Lu kenapa, Tan?" tanya Yanu.

Tan memperbaiki posisi duduknya. Ia menggeleng, kemudian mengatakan tidak apa-apa. Namun, dalam benaknya berbeda. Pikiran akan keadaan di masa depan manghantui.

"Yakin Kak Tan nggak apa-apa?" Yaya memastikan.

Sang penggemar sekaligus pacar itu menguntai senyum paksa. Gelengan kepala tetap menjadi jawaban. Napas panjang ia embuskan kala menatap Yaya berbincang dengan sahabatnya. Berharap keputusan ini menjadi yang terbaik.

"Ya, maafkan aku." Kalimat Tan membuat pemilik nama membalikkan badan.

"Maaf apa?" tanya Yaya.

"Mulai hari ini, kita putus?"

Bak disambar petir mendengar kalimat yang keluar dari mulut Tan. Bukan hanya Yaya, tetapi Yanu pun ikut tercengang. Rasa sesak perlahan muncul dari dada gadis mungil itu. Tak sadar air di pelupuk mata hampir menggenang. Sang sahabat pun tidak bisa berkata-kata mendengarnya.

"Kak Tan, aku salah apa?" tanya Yaya dan akhirnya air mata itu menetes.

Tak sanggup melihat air mata yang menetes di pipi tembam itu, Tan memalingkan wajah ke arah jendela lagi. Tangannya bertumpu di meja untuk memegang kepalanya. Mungkin di dalam kepala itu juga ikut pecah setelah melontarkan kalimatnya sendiri.

"Kamu nggak salah apa-apa, Ya. Aku cuma ingin kamu fokus sama tulisan kamu. Aku takut menjadi penghalang kesuksesan kamu," jelas Tan.

Tidak ingin memperumit keadaan Tan dan pacarnya, Yanu memilih menjauh hingga tidak terdengar apapun pembicaraan mereka.

"Hanya karena itu Kakak minta putus? Kakak nggak tahu gimana usaha aku buat membuka diri ke Kakak, kan? Gimana aku bergulat dengan traumaku? Kak Tan egois!" Amarah gadis itu pun meletup.

Mata Tan berubah merah. Aku cuma nggak mau melibatkan kamu dalam hal sebahaya ini, teriakan dalam hati terdengar nyaring. Namun, ia tak sanggup mengeluarkan dari mulutnya. Ia melirik ke bawah dan mendapati genggaman tangan Yaya yang kian erat.

"Kalau kamu marah, kamu boleh pukul aku."

Kalimat itu bukan tanpa pertimbangan. Beruntung kedai es krim itu sepi. Tangisan Yaya pun pecah, genggaman tangannya mulai merenggang sejalan dengan derasnya air mata yang mengalir. Tak bisa berbuat apa-apa, sekadar menyentuhnya pun Tan tidak sanggup.

Setelah beberapa menit, tangisan gadis itu mereda. "Ini terakhir aku mengantar kamu pulang, ya?" ucap Tan.

"Nggak usah! Aku bisa sendiri." Nada Yaya meninggi.

Tak bisa dipungkiri kesal di benak gadis itu. Susah payah ia membangun kepercayaan kepada seseorang. Namun, yang didapat sakit hati pertama dan terbesar.

Terlihat gadis itu menelepon kakaknya untuk menjemput. Tak ingin menunggu di kedai lama dengan Tan, Yaya pun beranjak. Namun, saat Tan tertunduk, sebuah tamparan melayang di pipi. Suaranya cukup keras hingga membuat Yanu yang berada di sudut ruang itu tercengang. Tak ada kalimat maupun balasan apapun. Tan membiarkan gadis itu pergi.

Yanu kembali menghampiri sahabatnya. Tan bangkit dengan mengelus pipi yang terkena tamparan penulis idola yang kini sudah menjadi mantan pacar. Bibir mahasiswa berambut poni itu melayangkan senyum.

"Pasti dia benci banget sama gue," ujar Tan.

Yanu mengelus pundak sahabatnya. "Lagian lu kenapa nggak ada angin, nggak ada hujan tiba-tiba mutusin dia?"

"Gue nggak mau dia terlibat lagi dengan kasus ini. Dia ada proyek nulis lagi."

"Bukan putus juga solusinya, Tan. Lu tahu sendiri dia dulu setertutup apa? Dan lu tembak dia, kan? Dia mau membuka diri buat lu."

"Gue takut nggak bisa ngelindungin dia. Lagian, peran dia sebagai saksi sudah cukup, kan? Sekarang kita tahu, siapa yang harus kita cari."

"Jadi, karena perkara gue, lu mutusin penulis idola yang udah lu sanjung selama ini?"

"Gue nggak nyalahin perkara lu. Gue cuma nggak mau dia dalam bahaya, that's it."

Yanu tidak bisa menjawab lagi. Tatapan sayu mengarah pada sahabatnya.

"Tenang, setelah dia tertangkap, gue pasti bakal kembali ke dia. Walaupun nggak tahu bakal diterima atau tidak."

"Baiklah, kalau itu memang keputusan lu."

Jujur, Tan juga langsung menyesali kejadian pada hari itu. Tanpa angin, tanpa hujan kata "putus" terlontar. Ia hanya berharap keputusannya memang yang terbaik.

 Ia hanya berharap keputusannya memang yang terbaik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

1046 kata

✔️ Kukejar Dia dalam Cerita [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang