Hari ini jadwal kuliah Kritik Sastra. Semua mahasiswa sudah menempati bangkunya masing-masing, termasuk Yanu, Tan, dan Yaya. Tugas outline yang digunakan untuk tugas besar pun sudah disiapkan, walaupun satu dua mahasiswa terlihat tidak siap.
Sudah lima menit lewat dari jadwal yang yang seharusnya. Namun, dosen pengampu belum memasuki kelas. Tidak biasanya Pak Anton terlambat masuk.
"Mungkin ada macet di jalan," ucap Yaya yang masih berperasangka baik.
Ternyata penantian mereka berujung pada kabar Pak Anton yang tidak masuk kelas. Ketua kelas menyampaikan pesan dari dosennya untuk mengumpulkan tugas outline tugas akhir di mejanya. Yanu dan Tan memiliki prasangka sendiri. Mereka saling pandang tanpa kata.
Tan segara mengangkat tangan. "Gue aja yang ngumpulin ke ruangan Pak Anton."
"Lu mau?" tanya ketua kelas.
Cowok berambut poni itu berdiri dan mengambil bendel kertas berisi tugas, dimulai dari Yanu dan Yaya. "Gue lagi baik hati ini," ucapnya dengan nada sombong.
"Gaya lu, Tan. Ya udah, terserah lu. Ntar kabarin kalau udah, ya?"
Tan mengiakan ketua kelasnya. Mahasiswa lain berkerumun untuk mengumpulkan tugasnya. Kecuali yang belum, mereka tetap diam di bangku. Terlihat cowok itu kerepotan menata kertas yang tertumpuk di hadapannya. Usai pengumpulan tugas, mahasiswa diperbolehkan pulang. Tinggallah Yanu, Tan, dan Yaya.
"Gue ke ruangan Pak Anton dulu, kalian tunggu di kantin, ya?" ucap Tan.
"Lu nggak gue temenin aja?" tanya Yanu.
"Kak Tan berani sendiri?" sambung Yaya.
Tan tertawa kecil mendengar pertanyaan pacarnya. "Emang ada apa, sih? Ini kampus, nggak akan bahaya. Lu temenin Yaya aja, gue bisa jaga diri, kok."
Mereka pun sepakat. Tan menuju ruang dosen tempat bangku Pak Anton. Yanu dan Yaya ke kantin untuk menunggu.
Tan menelurusi lorong, tidak begitu banyak mahasiswa. Di jam itu masih ada kelas yang berlangsung. Cowok berambut poni itu tiba di salah satu ruang dosen. Nama lengkap dosen Kritik Sastra itu tertera di papan depan pintu.
Mahasiswa itu mengetuk pintu. Ada salah satu dosen yang menjawab.
"Mohon izin ke bangkunya Pak Anton. Ada tugas yang harus dikumpulkan," ujar Tan.
"Ada di belakang," jawab dosen laki-laki yang kembali fokus menatap layar laptopnya.
Tan melewati beberapa bilik kosong, mungkin mereka sedang absen atau mengajar. Sampailah ia di bilik paling belakang dekat jendela. Di dindingnya tertulis nama Anton. Seketika cowok itu masuk ke dalam biliknya.
Dada mahasiswa itu berdebar. Antara canggung atau takut ia memasuki ruang dosen. Ia meletakkan tumbukan berkas tugas, tetapi matanya tertuju pada foto yang terpajang di meja.
Foto Pak Anton dengan gadis kecil seperti berumur 9 tahunan. Keduanya tampak tersenyum dengan gadis kecil itu memegang balon berwarna kuning. Mereka berada di tempat yang tidak asing bagi Tan. Benar saja, itu taman bermain kota. Namun, ada benda lain yang membuat Tan semakin terpaku. Kalung perak berliontin biru safir--seperti yang Tan dan Yanu temukan di terowongan.
Tan segera mengeluarkan ponselnya. Tentu untuk mendokumentasi hal yang ia temukan.
"Hei, ngapain lama-lama? Katanya ngumpulin tugas." Terdengar suara dosen yang tadi menghadap laptop.
"I-iya, Pak. Ini sudah selesai," jawab Tan dengan terbata.
Setelah dapat foto itu, Tan pun segera keluar. Tak lupa ia memberi sedikit bungkukan sebagai tanda hormat pada satu-satunya dosen yang ada di ruang itu. Begitu keluar ruangan, cowok itu mengatur napasnya. Ia memeriksa ponsel yang masih menampilkan foto yang didapat. Jarinya memperbesar dan memperkecil, memastikan gambar itu cukup jelas untuk ditunjukkan.
Di kantin Yanu dan Yaya sudah memesan kudapan dan minuman. Beberapa perbincangan telah terjadi. Sesekali menyinggung kasus pembunuhan yang ada di taman bermain. Bisa saja itu pancingan pembunuh untuk seseorang.
Dari jauh terlihat Tan yang berlari ke arah mereka. Yanu menunjukkan pada gadis di depannya. Seketika Yaya menoleh ke arah pacarnya. Tan tiba dengan napas terengah.
"Lu abis dikejar apa, Tan?" tanya Yanu.
Tan belum bisa menjawab. Seketika ia duduk di samping Yaya dan menyabet minuman milik sahabatnya.
"Asal sabet aja, lu." Jelas itu membuat Yanu kesal. Namun, menjadi canda bagi Yaya.
"Sorry, spontan. Gue ada sesuatu yang mau gue tunjukin."
"Apa?" Yaya dan Yanu menjawab bersamaan hingga saling tatap.
Setelah napas Tan kembali teratur. Ia terdiam melihat wajah dua orang terdekatnya. Masa bodoh, tidak ada salahnya untuk melihatkan juga pada Yaya. Ia mengeluarkan ponsel dan menunjukkan foto yang di dapat dari ruang Pak Anton.
"Ini foto Pak Anton sama siapa?" tanya Yaya.
"Bukannya selama ini kita tahu Pak Anton belum menikah?" Yanu menimpali.
"Itu juga gue nggak tahu. Tapi, coba kalian lihat kalung yang dipakai anak itu."
Mata Yanu dan Yaya langsung menuju pada gambar yang ditunjuk Tan. Mereka memang mendapati ada kilau biru safir yang tidak asing. Yanu pun mengeluarkan liontin itu dari saku.
"Mirip," ujar Yanu.
Mereka merinding seketika. Benarkah dugaan mereka?
"Ya, katanya kamu melihat ada tiga tahi lalat membentuk diagonal di leher Pak Anton?"
Yaya mengangguk.
"Kenapa semua bukti yang kita dapat mengarah ke itu dosen?"
"Entahlah, Yan. Kita perlu memastikan. Nggak boleh gegabah nuduh orang."
Yanu setuju dengan ucapan sahabatnya.
"Tunggu, Kak. Itu taman bermain kota?" tanya Yaya.
"Sepertinya, iya. Tapi, ada sedikit perbedaan." Tan menjawab.
Tanpa kata, Yanu berkutat dengan ponselnya. Lalu itu menunjukkan sebuah foto dari taman bermain kota 5 tahun lalu. Ternyata benar, foto Pak Anton dan anak kecil itu berlatar di sana.
Tangan Tan mengepal ke rambutnya. "Pusing gue. Nggak mau suuzan. Tapi, tetap aja."
"Udahlah, kita lanjutkan besok aja. Beginian juga nggak bisa seminggu selesai. Polisi aja butuh waktu lama juga, kok." Yanu menenangkan.
Tan lebih tenang. Usai perbincangan itu, mereka pun memutuskan untuk pulang. Seperti biasa, Tan harus mengantar penulis idolanya dan memastikan selamat sampai rumahnya.
Seseorang duduk di sofa menghadap ke televisi yang menyiarkan berita penyelidikan kasus kematian di taman bermain. Dari belakang terlihat tiga tahi lalat membentuk diagonal. Topi kulit menutup kepala hingga bayangan topi itu juga menutup matanya. Salah satu tangan memegang ponsel, seperti menunggu kabar.
Benar saja, tak lama ponsel itu berdenting. Nomor baru muncul mengirim pesan ke ponsel yang dipegangnya. Senyum merekah memperlihatkan gigi rapinya saat membaca pesan.
Tugas kami telah dikumpulkan di ruangan Bapak oleh Tan.
"Tan, kena kamu."
Gelak tawa terdengar di seluruh penjuru ruang dengan cahaya yang suram itu. Seperti ia berhasil menarik sesuatu untuk masuk ke perangkapnya. Namun, ada paspor beserta tiket yang tergeletak di meja samping sofa.
1009 kata
KAMU SEDANG MEMBACA
✔️ Kukejar Dia dalam Cerita [TAMAT]
Fiction généraleMenceritakan seorang mahasiswa bernama Tan yang mengidolakan penulis terkenal. Sang penulis tak pernah memperkenalkan diri aslinya sehingga terkesan misterius. Teman-teman Tan menganggap aneh kegemarannya itu. Pada akhirnya ia bertemu dengan teman s...