Sesuai kesepakatan awal, Minggu ini Yaya, Tan, dan Yanu akan menuju terowongan di mana tersangka pembunuhan berantai di tangkap. Entah bagaimana ia bisa ditangkap di sana, padahal jika jalan kaki jaraknya cukup jauh. Yaya sudah bersiap dari pagi untuk menghindari keramaian.
Rambut cokelat yang awalnya lurus itu menjadi ikal gantung. Poni khasnya tidak terlewat walau untuk jaga-jaga ia membawa topi. Terdengar suara klakson yang tidak asing dari luar. Tak salah lagi, itu pacar sekaligus penggemarnya.
Senyum merekah terpancar yang mengembangkan pipi tembamnya. Ia mengambil tas selempang berwarna putih di kasur, kemudian berlari menghampiri Tan. Lambaian tangan tanda pertemuan pada hari itu.
"Kak, Yaya pergi dulu!" teriak Yaya dari balik pagar.
"Mau kemana, Ya?" Suara Ika terdengar mendekat. Tahu-tahu ia sudah ada di depan pintu.
"Kencan dulu. Dadaa," balas sang adik sambil melambaikan tangan.
Tan pun juga ikut berpamitan serta menunduk singkat sebagai rasa hormat. Mereka putar balik dan melaju menuju terowongan. Gadis mungil itu sudah berani menyabukkan tangannya ke pinggang sang pacar. Bunga bermekaran memenuhi isi kepala Tan. Senyumnya tak bisa ditahan.
Ternyata jarak tempuh menggunakan sepeda motor sekitar sepuluh menit. Walaupun tanpa perbincangan, kenyamanan mereka berdua menjadikan perjalanan itu tak terasa. Terlihat motor Yanu sudah terparkir di mulut terowongan yang masih tertutup garis polisi, padahal kasus itu sudah berlalu 3 tahun.
Yaya, Yanu, dan Tan berjejer menghadap mulut terowongan. Di tempat itu tidak ada masa lalu Yaya yang bisa digunakan sebagai petunjuk. Namun, catatan di koran mengatakan tertangkapnya tersangka di terowongan itu.
Yanu menyikut sahabatnya. "Lu berani masuk?"
Tan membalas dengan tatapan datar. "Sepanjang apa, sih, ini terowongan?"
"Mana gue tahu? Gue aja baru tahu kalau ada terowongan di sini." Yanu membalas.
Tanpa ada yang meminta, Yaya menjelaskan mengenai terowongan di hadapan mereka. " Terowongan ini ada di bawah jalan tol, jadi nggak terlalu panjang. Hanya saja melengkung, makanya kelihatan gelap."
"Setelah kejadian itu, kamu nggak pernah ke sini, kan, Mut?" tanya Tan dengan memanggil penulis idolanya dengan panggilam baru.
Yanu yang mendengar hal itu merasa merinding. Namun, ia memilih menahan untuk melontarkannya.
"Kan, ada di koran kemarin." Yaya menjawab sambil menunjukkan buku saku yang berisi catatan.
Tan menggaruk belakang kepalanya dengan senyum canggung.
"Hu! Lu jurusan Sastra, tapi minat bacanya rendah." Yanu menyorak.
Kata umpatan hampir keluar dari mulut Tan. Di samping penulis idola sekaligus pacarnya, ia hanya menggetok Yanu hingga mengaduh.
"Kak Yanu sama Kak Tan emang kaya Tom&Jerry, ya?" tanya Yaya.
"Kurang lebih, lah. Kalo pas lagi waras, ya, kaya bromance." Yanu menanggapi.
Tanpa balasan lagi, Yaya maju menuju dalam terowongan. Ia melewati garis polisi itu. Diikuti Tan dan Yanu. Keadaan terowongan itu lembap, terlebih karena semalam hujan di daerah itu. Beruntung tidak terlalu panjang, sehingga cahaya masih dapat masuk dari masing-masing jalan keluar.
"Gue ragu ada petunjuk. Ini udah ditinggalin 3 tahun lalu, loh." Yanu menggerutu.
"Aku juga nggak tahu, Kak."
Mata mereka menyusuri setiap sisi. Walaupun mustahil, modal yakin tidak akan mengkhianati hasil. Benar saja, tak seberapa lama ada kilauan berada sudut terowongan tertangkap mata Yanu. Cowok 20 tahun itu menerawang liontin batu berwarna biru safir. Tan dan Yaya mendekat untuk ikut melihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔️ Kukejar Dia dalam Cerita [TAMAT]
Ficción GeneralMenceritakan seorang mahasiswa bernama Tan yang mengidolakan penulis terkenal. Sang penulis tak pernah memperkenalkan diri aslinya sehingga terkesan misterius. Teman-teman Tan menganggap aneh kegemarannya itu. Pada akhirnya ia bertemu dengan teman s...