Kamar memang menjadi tempat kesukaan bagi sebagian orang. Terlebih bagi seorang pendiam yang ingin asyik dengan dunianya. Walaupun bukan tergolong pendiam, Tan memilih kamarnya sebagai wadah meluapkan ekspresi. Bagaimana tidak? Tidak ada ruang lain yang nyaman selain kamar ketika di indekos.
Cowok berumur 20 tahun itu tengah duduk tepat di depan kamera ponsel. Tangannya dengan lihai menunjukkan buku terbaru yang dimiliki. Mulai dari sampul hingga bagian belakang diperlihatkan, seakan ia ingin menunjukkan pada dunia. Mulut Tan tak berhenti bersuara menjelaskan bagian dari buku bersampul tebal berwarna merah kehitaman. Kurang lebih video itu terekam selama 15 menit, Tan selesai dengan kegiatannya.
Ia bersandar pada kursi. Tangan Tan mengangkat buku tebal itu hingga tepat di hadapan wajahnya. Senyum terukir sambil menerawang setiap sudut bukunya. Karya Hera Andara bertajuk Terowongan terpampang pada buku yang dipegang Tan.
Suara ketukan pintu mengalihkan pandangan Tan. "Masuk," ucapnya.
"Selesai bikin videonya?" tanya cowok yang seumuran dengan Tan.
Tan mengangguk menanggapi pertanyaan sahabatnya. Tas ransel hitam yang terlihat tidak berisi dilemparkan ke kasur. Diikuti dirinya yang tergeletak melintang dengan kaki menggantung.
"Kali ini judulnya apa?" tanya sahabat Tan yang bernama Yanu.
"Terowongan, Yan," jawab Tan lugas.
Yanu mengangguk paham. Melihat jarum jam di pergelangan tangannya, ia terduduk. Cowok itu memberi kode Tan dengan mengarahkan kepala ke kamar mandi. Seketika Tan tersentak, mengingat ada kelas satu jam lagi.
Tan sudah siap dengan terbalut kemeja hitam. Tidak banyak barang yang perlu dibawa, cukup beberapa barang seperti dompet, ponsel, dan pulpen. Yanu dan Tan keluar dengan cepat. Seketika Tan berhenti ketika akan menutup pintu. Ia tidak ingin melupakan buku dari penulis kesayangannya.
"Masih aja, Tan," sindir Yanu.
"Iya, lah. Neng Hera nggak boleh ketinggalan." Senyum Tan menandakan bangganya dengan penulis itu.
"Memangnya udah pernah ketemu?" Dahi Yani berkerut.
Cowok berponi itu menggeleng. "Memangnya kalo nge-fans harus ketemu dulu gitu?" balasnya.
"Ya, kan, identitasnya aja tersembunyi. Kan beda kalau udah tahu orangnya kaya B.J. Habibie, wajar kalo banyak penggemarnya."
"Yang penting karyanya kelihatan, toh." Cowok itu tak ingin kalah.
Perjalanan dari indekos Tan dengan kampus tidak begitu jauh. Cukup dengan jalan kaki 15 menit mereka sudah sampai di gedung tempat mereka menempuh perkuliahan strata 1. Tahun ketiga bukan menjadi tahun sibuk bagi mereka. Belum saatnya berkutat dengan tugas akhir, banyak mata kuliah tidak lagi banyak dan masa organisasi pun sudah berlalu.
Pasangan sahabat itu selalu duduk berdampingan dari tahun pertama. Barisan kedua dari belakang menjadi tempat sakral di kelas bagi mereka. Satu per satu bangku sudah diisi oleh mahasiswa yang sebagian di kenal dan sebagian lagi asing. Hal ini wajar pada awal perkuliahan terjadi rombak kelas tergantung pemilihan kelas, jam, dan dosen.
Mahasiswa terakhir yang masuk ke kelas sebelum dosen itu berhasil mencuri perhatian mahasiswa. Tak terkecuali Tan. Cowok berambut poni itu melekatkan pandangan pada mahasiswa asing dengan topi baseball dan masker yang menutupi hampir seluruh wajah. Yang terlihat hanya rambut lurus berwarna cokelat sepunggung. Jelas ia adalah wanita.
Yanu yang menyadari tingkah sahabatnya pun melambaikan tangan tepat di depan wajah Tan. Lamunan itu pun buyar seketika. Seorang dosen telah siap memberikan pembelajaran. Layar putih di depan kelas menampilkan materi.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔️ Kukejar Dia dalam Cerita [TAMAT]
Ficción GeneralMenceritakan seorang mahasiswa bernama Tan yang mengidolakan penulis terkenal. Sang penulis tak pernah memperkenalkan diri aslinya sehingga terkesan misterius. Teman-teman Tan menganggap aneh kegemarannya itu. Pada akhirnya ia bertemu dengan teman s...