Hari itu, Geni duduk dengan perasaan campur aduk di tengah-tengah pembicaraan keluarga Jane. Pembicaraan yang diluar dugaannya, pembicaraan yang tidak ingin dia dengar dan tidak bisa ia terima. Mulutnya terkunci, tapi hatinya seolah-olah menjerit saat keluarga wanita berparas cantik yang amat ia cintai itu dengan tatapan penuh binar dan senyum yang tidak pernah luntur dari wajah mereka itu, setiap kali menyebutkan nama pria, Arter.
Geni bahkan baru tahu ada pria itu dalam hidup Jane. Mengenai siapa dia, semua hal tentang Arter seolah asing ditelinganya. Sebagai seorang teman kerja yang dekat dengan Jane, sudah tentu membuat Geni tersinggung. Geni baru tahu kalau selama ini dia ternyata tidak sedekat itu dengan Jane.
"Permisi, mohon maaf kalau saya lancang, Om, Tante," sela Geni di saat tiba-tiba mereka mulai membicarakan perihal pernikahan Jane dan pria yang disebut wanita itu sebagai sosok Arter.
"Iya, Nak Geni, ada apa?" tanya Papa Jane.
"Begini, Om, Tante, saya minta maaf karena sepertinya saya nggak bisa lama, saya harus ke Jakarta," ucap Geni.
"Loh, kenapa tiba-tiba, Nak? Nggak jadi menginap di sini? Nanti Nak Geni dan Jane bisa pergi bersama ke Jakarta kan," ucap Papa Jane.
Geni tersenyum, lebih tepatnya memaksa untuk membuat sebuah garis lengkung di wajah tampannya. "Mungkin lain kali ya, Om. Geni benar-benar harus ke Jakarta, maaf," sesalnya.
"Ya sudah kalau begitu, hati-hati ya, Nak." Papa tidak bisa menahan tamunya itu untuk lebih lama, sementara kentara sekali air wajah sang tamu sangat tidak nyaman.
Setelah itu tanpa basa-basi lagi, pria bertubuh jangkung itu pamit. Jane tahu betul arti diamnya, dan dia yakin kalau saat di Jakarta nanti dia harus menjelaskan kepada kedua sahabatnya tentang pria bernama Arter yang ia katakan sebagai kekasihnya kepada Mama dan papanya. Jane menyesal karena telah membuat wajah yang biasanya penuh senyum indah itu pergi dengan wajah yang ditekuk.
"Aku akan menjelaskan semuanya padamu saat di Jakarta, hum ... Hati-hati menyetir, Geni."
Jane melepaskan tangannya dari perut pria itu, dia hanya mencoba untuk membuat Geni tetap yakin kalau Jane berhutang sebuah penjelasan padanya, dan sebuah pelukan singkat bukanlah hal yang salah. Setidaknya itu yang ada dalam benak Jane. Sayang, pikiran sederhana Jane berarti lain dalam benak Geni. Tanpa sepatah katapun pria itu ke luar dari rumah Jane.
Kamu nggak akan pernah tahu, rasanya cinta sepihak, Jane. Geni berlalu tanpa melihat ke belakang.
"Jadi, gimana kalau kamu izin satu hari lagi kepada bosmu, Sayang?" Mama tiba-tiba berkata setelah belum lama Geni undur diri.
"Untuk hal apa, Mah?" selidik Jane, dia punya firasat tidak enak untuk izin yang dimaksud ibunya itu.
Wajah Mama masih penuh senyuman yang hangat. Tangan yang sudah mulai banyak muncul keriput itu membelai rambut putrinya, seraya berkata, "Mama mau kamu bawa Arter ke rumah," ucapnya, dan sukses membuat Jane merasa mual tanpa diminta.
"Mah, sudah dong, jangan desak Jane terus. Kasihan dia," ucap Papa saat mihat perubahan air wajah sang putri.
Pria yang sudah terlihat tidak muda lagi namun masih tetap tampan dan masih terlihat gagah itu tahu betapa putrinya sibuk, bahkan dia tahu beberapa kali sang bos menelepon di hari libur sang putri.
"Lain kali ya, Mah ... Jane sibuk soalnya, nanti saat ada waktu libur lagi, Jane janji akan bawa Arter bertemu dengan Mama." Jane lagi-lagi harus mengucapkan hal bohong kepada kedua orangtuanya.
Saat satu kebohongan terlontar, maka yakinlah kebohongan lain akan mengikuti di belakangnya. Secara alami kebohongan itu terlihat nyata dan manis. Meski kenyataannya, buah dari kebohongan tidak pernah manis. Jane menelan salivanya, ada sebuah rasa bersalah yang begitu besar yang merajai dalam hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's Get Married ✔️ (TERBIT) ‼️
RomanceBagaimana jadinya kalau pepatah "Mulutmu harimaumu" menimpa Jane wanita cantik berusia 30 tahun bermulut besar yang hobi melantur hanya untuk menutupi statusnya sebagai jomlo sejati, dari keluarganya maupun dari rekan kerjanya. "Aku sudah bilang k...