Barang kali, dengan merelakanmu dapat menolong diriku sendiri, aku yang patah hati karena mencintaimu. _Geni Adipati_
🍀
"Apa kamu sudah gila?" tanya Jane, air wajahnya menatap dengan tidak percaya."Memangnya kamu pikir, kalau kamu bilang kepada Kina kalau kamu mau menikahinya, Kina akan baik-baik saja?" Tatap Jane dengan galak.
"Aku ... Aku hanya ingin menolongnya, Jane." Geni tanpa beban berkata, yang ada dalam benaknya, dia benar-benar teringat suara ibunya Kinara yang berkata dengan lirih dan menatap wajahnya dengan sendu.
Jane menepuk jidatnya, dia lalu mengembuskan napasnya. "Geni, memangnya dengan kamu menolong Kina, menikah dengannya, tanpa ada rasa cinta di dalamnya, apa hal itu mungkin?" tanyanya.
"Kalau hanya akan menyakiti satu sama lain, lebih baik nggak usah, Geni. Kecuali, kamu mau menikah dengan Kina karena kamu memang mencintainya, bukan karena kasihan," tambahnya.
Geni menunduk, dia tahu, semua ucapan Jane benar. Tapi, di sisi lain, dia simpati kepada kondisi Kinara dan ibunya.
"Jane, aku--" Belum sempat Geni melanjutkan ucapannya, suara serak memanggil nama Jane dari arah belakang.
"Jane, Kinara siuman!" Zefran memberi tahu.
Segera Jane berlari meninggalkan Geni yang masih terpaku di tempatnya, membuat kalimat pria itu mengering di udara.
"Aku minta maaf karena sempat mengabaikanmu, membiarkan pertemanan kita rusak, itu saja." Geni menatap Jane yang berlari meninggalkannya ke ruang inap Kinara.
Hari itu begitu penuh dengan drama. Kinara sadar, tapi dia menyalahkan kenapa dia masih hidup, dia berteriak histeris, melihat sekelilingnya dengan air wajah yang digandrungi oleh ketakutan. Kinara bahkan mencopot semua peralatan medis yang melekat di tubuhnya, seraya meraung-raung, air matanya deras mengalir tanpa jeda. Tanpa ampun dia sengaja menyakiti dirinya sendiri dengan menancapkan kukunya yang tajam pada tubuh cantiknya. Melihat betapa terguncang seorang Kinara yang biasanya penuh dengan rasa optimisme, hari ini wanita cantik itu terlihat tergeletak tak berdaya setelah disuntikkan obat penenang atas permintaan sang ibu.
Ibu Kinara menangis sambil terus mengelus sayang wajah dan rambut panjang putrinya, hartanya yang paling berharga, putri yang selalu ia sayang dan menjadi kebanggaan dalam hidupnya sebagai seorang ibu. Tapi hari ini, putrinya itu begitu menyedihkan terdiam pada ranjang dingin rumah sakit.
Jane dan Geni menatap lekat Kinara, sahabat mereka yang sangat berarti, terlihat begitu putus asa, sementara perawat mengobati kulit putih Kinara yang luka, dan memasang kembali jarum infus. Jane menghamburkan dirinya pada dada bidang Zefran, tidak sanggup melihat sosok Kinara. Geni menutup sebelah wajahnya dari dagu hingga hidung, mencoba tetap tenang, sementara dadanya bergetar hebat, rasa pedih menjalar saat melihat sosok Ibu Kinara yang berlinang air mata sambil terisak.
Apa yang harus aku lakukan untuk Kina? ucap Geni dalam diamnya seraya menatap ke arah Kinara dan ibunya bergantian.
"Berengsek!" gumam pria itu seraya keluar dari ruangan.
"Ibu, tetap tabah ya, aku yakin Kinara akan kembali seperti dulu," ucap Jane setelah berhasil mengontrol emosinya. Dia mendekat ke arah Ibu Kinara, mengusap punggungnya lembut, berharap ada sedikit kekuatan yang tersalur lewat sentuhannya.
"Nak ... Bagaimana seandainya, Kinara mencoba untuk mengakhiri hidupnya lagi?" tanya sang ibu dengan suara parau.
Jane menelan salivanya, dia bahkan bingung harus mengatakan apa, sementara dirinya masih belum percaya dengan kondisi Kinara, sosok wanita hebat yang selalu giat bekerja, sayang keluarga, dan selalu ada di setiap dia butuhkan.
Jane merasa bersalah kepada Kinara, kalau saja, dia mengangkat telepon itu, apa mungkin kejadian bunuh diri Kinara bisa terhindarkan?
Butiran bening menitik di pipi chubby-nya. Kalimat demi kalimat tanya kembali berkeliaran di dalam benaknya, tentang alasan lain kenapa Kinara sampai memilih untuk bunuh diri. Hal yang sebenarnya ingin Kinara sampaikan kepada dirinya sebelum insiden pelecehan, tentang semua hal yang sengaja ditutupi oleh sahabatnya itu.
"Arter, aku titip Ibu sebentar." Jane berkata kepada kekasihnya.
Zefran mengiakan dengan anggukan.
Jane keluar ruangan, mencari keberadaan Geni. Pria dengan setelan serba hitam dari mulai jaket, kaus yang berada di balik jaketnya, serta celana yang ia kenakan. Jane mendapati sosok yang ia cari tengah terduduk dengan posisi kepala tertunduk sembari ditopang kedua tangan yang menutupi wajah tampannya.
Jane duduk tepat di sebelah pria itu, mengusap punggungnya, membuat pria itu menengok kepadanya. Jane tercekat saat melihat sosok Geni Adipati menangis.
"Kamu menangis?" Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya.
Buru-buru Geni mengelap kedua pipinya, berupaya menghadirkan sebuah senyum di wajahnya. Tapi gagal, lagi-lagi butiran bening menitik dari matanya.
"Aku harus apa, Jane?" tanya pria tampan itu.
"Pertama, wanita cantik di hadapanku, pada akhirnya akan menikah dengan pria lain. Cinta pertama dalam hidupku setelah ibuku, aku nggak akan pernah bisa meraihmu. Aku bahkan nggak yakin bisa merelakan mu, menghadiri acara pernikahanmu, atau sekedar memberi ucapan selamat kepadamu. Aku nggak tahu," lontar Geni, menatap lekat kearah manik cokelat cantik milik Jane.
"Sementara, sahabatku, yang sudah kuanggap sebagai kakak sendiri sedang terbaring lemah di dalam sana. Tubuhnya penuh luka, bahkan aku yakin ada luka lain yang nggak terlihat diderita Kina. Luka yang membuat dirinya dilabeli sebagai wanita kotor--"
PLAK!
Sebuah tamparan mendarat begitu keras di sebelah pipi Geni.
"Jangan pernah menyebut kata wanita kotor dari mulutmu itu, Geni. Jangan pernah!" Suara Jane penuh dengan ancaman, kedua matanya melotot menatap tajam kearah Geni.
"Aku sudah bilang bukan, Kina hanya korban, dia bukan seorang yang harus dicap ini dan itu, atau diperlakukan seperti dia nggak berharga, jangan pernah! Camkan itu!" tandasnya.
"Maafkan aku, Jane. Aku nggak bermaksud mengatakan kata itu, aku hanya sedih dengan keadaan Kina." Geni terlihat benar-benar menyesal.
"Aku juga minta maaf," ucap Jane, tangannya secara refleks menyentuh pipi Geni yang terlihat merah.
"Kamu pasti sakit kan? Maaf, atas semua luka yang aku buat padamu," lirih Jane, dia mengigit bibir bawahnya.
"Maafkan aku." Jane meremas jaket Geni, menahan diri untuk tidak memeluk tubuh pria itu.
"Jangan kasihan kepadaku, Jane. Bukannya kamu sendiri yang bilang, akan lebih menyedihkan saat seseorang yang sedang membutuhkan dukungan malah diberikan tatapan iba karena kasihan?" ucap Geni, menepis tangan Jane yang berada di pipinya, dan tangan lain wanita itu yang berada di dadanya, memegangnya sebentar.
"Aku bahkan nggak tahu, kalau tangan mungil ini akan aku lepaskan hari ini," tambah Geni, mendaratkan sebuah kecupan sambil lalu pad punggung tangan wanita cantik yang menatapnya dengan tatapan mata yang tidak dapat dia mengerti.
"Kalau dengan merelakanmu dapat menolong diriku, maka aku akan melakukannya hari ini, detik ini." Tatapan mata Geni begitu lembut, begitu lekat.
"Berbahagialah, Jane. Aku nggak pernah tahu kalau mencintaimu akan membuatku luka, sekaligus rela. Sebab senyum di wajahmu adalah indah yang membuat senyum lain hadir di wajahku." Kalimat demi kalimat dilontarkan oleh pria itu.
"Maaf, aku begitu mencintaimu. Tapi, maaf karena aku terlalu tampan, dan masih banyak wanita cantik yang mengantri untuk membuatku jatuh hati di luar sana," ucap Geni dengan sebuah garis lengkung yang muncul di wajah tampannya.
Sebuah butiran bening meluncur dari manik cokelat wanita cantik di depannya. Namun segera hilang saat tangan Geni menghapusnya.
"Kalau kamu nangis, aku akan jadi pria egois yang nggak akan melepaskanmu, dan bisa saja aku merebutmu darinya," ucap Geni seraya memaksakan diri untuk tetap menjaga senyum bertengger di wajahnya.
Jane tersenyum mendengar kalimat itu, dia lalu menghamburkan diri memeluk tubuh Geni.
Barang kali ini yang terakhir kalinya. Jane berucap dalam hati.
![](https://img.wattpad.com/cover/322839891-288-k229781.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's Get Married ✔️ (TERBIT) ‼️
RomansaBagaimana jadinya kalau pepatah "Mulutmu harimaumu" menimpa Jane wanita cantik berusia 30 tahun bermulut besar yang hobi melantur hanya untuk menutupi statusnya sebagai jomlo sejati, dari keluarganya maupun dari rekan kerjanya. "Aku sudah bilang k...