TMLYD 20 -

1.4K 138 10
                                    

Sudah tamat di aplikasi KARYAKARSA dan tersedia di Google Play books. Terimakasih ❤️




Bagaimana bisa Justin melakukan hal sekeji itu pada adiknya? Padahal ia tahu Annara sangat menyayangi rumah itu dengan sepenuh jiwa karena itu adalah peninggalan orang tua mereka satu-satunya. Bahkan sang adik menghabiskan banyak biaya untuk merenovasi rumah tersebut agar tetap masih layak dihuni setelah bertahun lamanya.

Annara berusaha menghubungi pria itu tapi hasilnya nihil karena nomor ponselnya tak bisa lagi untuk dihubungi. Sepertinya sepasang manusia itu sengaja mematikan ponsel atau bahkan sudah membuang kartunya.

Saat teringat sesuatu, Annara segera lari ke dalam kamar dan memeriksa isi lemarinya.  Benar saja, semua perhiasan yang disimpannya di sana kini sudah raib tak bersisa. Sedikitpun wanita itu tak menyangka akan ditusuk dari belakang oleh keluarganya sendiri. Padahal ia sudah berkorban setengah mati bahkan mempertaruhkan semuanya di tangan pria iblis itu agar Justin dan Marbela bisa terbebas dari balas dendam Galen yang tak berkesudahan. Tapi kini Annara malah ditusuk dari belakang sehingga ia sadar apa yang dirasakan Galen memang benar-benar sakit adanya.

Wanita itu berusaha memutar otak untuk bisa mengatasi permasalahannya. Hingga terpikir olehnya untuk meminjam uang Galen guna menebus rumah ini kepada sang pembeli.

Annara segera mengeluarkan ponsel dan men-dial nomor pria itu dengan harapan Galen sedang dalam mood yang baik dan mau membantu dirinya sekali saja.

Pada dering ketiga, Annara dapat mendengar suara Galen di seberang sana yang menyapa gendang telinganya.

"Ada apa, Nona Manis?" tanyanya begitu santai.

Annara memejamkan mata sesaat dengan hembusan napas panjang, berusaha tenang sebelum mengutarakan maksud dan tujuannya menelpon pria itu.

"Apa kamu bisa membantuku?" tanya wanita itu blak-blakan.

Terdengar tawa kecil di ujung sana. "Apa yang bisa kubantu untukmu, Sayangku?" tanyanya geli.

"Galen! Aku serius," keluh wanita itu lemah.

"Apa aku pernah bergurau, Annara?"

"Aku ... aku ... bisakah aku meminjam uangmu?" tanya wanita itu akhirnya.

"Untuk apa?"

Annara menghela napas yang terasa begitu berat. Jika ia memberitahu Galen tentang kelakuan dua manusia itu, sudah pasti ia akan ditertawakan habis-habisan.

"Aku punya keperluan mendesak," sahutnya berusaha untuk tak memberitahu Galen dengan gamblang.

"Keperluan apa, Annara?"

"Menebus rumahku," sahutnya pendek.

Tak ada jawaban untuk beberapa saat sebelum Annara kembali menegur.

"Aku akan mengembalikannya dengan cara mencicil. Aku janji!" ujar wanita itu meyakinkan.

"Kamu tidak akan bisa menebusnya," tukasnya santai.

"Apa maksudmu?"

"Kamu akan tahu nanti. Sekarang segera berkemas, Jetro akan sampai sebentar lagi," titah Galen.

"Jangan bilang kamu sudah tahu tentang hal ini! Atau jangan-jangan kamu ...."

"Jangan-jangan apa, Annara?"

"Jangan-jangan kamu juga terlibat dengan hal ini. Iya kan?" tuduh wanita itu.

"Aku hanya melakukan hal yang menurutku menguntungkan. Tidak ada yang salah," elak pria di seberang sana.

"Meskipun itu merugikan bagi orang lain?" cercanya tak terima.

"Kurasa itu bukan urusanku yang harus menguntungkan semua orang," jawab Galen enteng.

Annara menggeram jengkel. "Jadi kali ini, kelicikan apa lagi yang kamu perbuat, Galen?" desisnya. "Apa kamu melupakan perjanjian kita?" tambah wanita itu sinis.

"Dia menjual, dan aku hanya membeli, Annara. Kakak tercintamu itu tak akan merasa tersakiti, malah kemungkinan sekarang mereka sedang bersorak gembira dengan harga fantastis yang diterima."

"Apa? Jadi kamu yang membeli rumah ini?" pekik wanita itu tajam.

"Ya. Rumah itu jadi milikku. Beserta isinya!"

"Gila kamu, Galen!"

"Ya, mungkin begitu!"

"Kamu ... Kamu ...."

"Cepat kemasi barangmu, atau kamu akan diusir secara paksa dari tempat itu secepatnya."

"Kamu benar-benar kejam, Galen!" Wanita itu mematikan sambungan telepon dengan geram. Ia menarik napas panjang sembari menjatuhkan diri di atas ranjang. Saat ini Annara merasa benar-benar berada dalam kesialan.

Tak lama kemudian, terdengar suara bel yang sudah wanita itu tebak siapa pelakunya. Benar, Jetro sudah berdiri tegak di sana dengan wajah datar seperti biasanya.

"Katakan pada bos-mu kalau aku akan segera pindah dari sini tapi tidak bersamamu!" cetusnya dingin.

Tak ada perubahan ekspresi dari pria itu. "Jangan bersikap seolah anda bisa melawannya, Nona. Cepat berbenah dan saya akan mengantar anda."

"Tidak mau!" tolak Annara kekeh.

Jetro tahu wanita ini akan memberontak seperti dugaannya. Tapi bukan berarti ia tak punya persiapan yang matang untuk memaksa bahkan menyeret wanita ini ke hadapan sang bos karena jika ia gagal melakukannya maka dirinya sendirilah yang akan mendapat santapan lezat makian tajam dari mulut pria bernama lengkap Galen Arsenio itu.

"Mungkin anda lupa bahwa Tuan Galen adalah orang yang tidak bisa dibantah. Apa anda ingin ia murka dan meratakan rumah ini dengan tanah?" tanyanya tenang tapi penuh ancaman.

"Dia tidak akan berani melakukan itu," tukas Annara cepat.

"Silahkan saja jika anda ingin mencobanya," sahut Jetro yang memundurkan sedikit tubuh dan bersiap untuk meninggalkan kediaman wanita itu.

"Hei, Pengikut Aliran Sesat! Tunggu aku lime belas menit!" pekiknya ketus.

Jetro menaikkan sebelah alis dengan senyum miring di wajahnya.

Annara tak mempedulikan itu karena ia tahu Jetro pasti bersedia menunggu.

Ia dengan cepat mengemas barang yang menurutnya penting saja, selebihnya akan Annara urus nanti setelah ia menyelesaikan ini dengan Galen. Annara perlu tahu mengapa pria itu bersedia membeli rumah ini.

Sementara di tempat lain, Arimbi sedang mengetuk sebuah pintu apartemen dengan tak sabaran. Ia tak sabar ingin bertemu pria itu yang ternyata tinggal di satu gedung apartemen dengannya. Mengapa ia begitu bodoh dan tak mengetahui fakta itu sedari dulu?

Memang tak gampang mengulik informasi tentang pengusaha muda satu ini, tapi setidaknya kini Arimbi sudah melangkah jauh ke depan untuk lebih dekat dengan pria itu yang sangat berpotensi mampu membuat kehidupannya jauh lebih glamor ke depannya.

Pintu terbuka dan ia langsung mengembangkan senyum terbaiknya untuk disuguhkan pada pria yang menatapnya datar itu.

"What are you doing here?" tanyanya tanpa ekspresi.

Arimbi yang gugup bukan main berusaha untuk mengumpulkan semua energi kepercayaan dirinya yang hilang begitu saja saat berhadapan dengan keturunan Arsenio ini.

"Aku ... aku ingin bertemu denganmu," sahut wanita itu jujur.

Galen melirik ke belakang tubuh Arimbi dan ia melihat siluet tubuh wanita yang ditunggu-tunggunya hingga membuka pintu dengan tak sabaran karena mengira bahwa perempuan itulah yang datang.

"Masuk," ucapnya datar dan menarik Arimbi dengan cepat sebelum menutup pintu dengan rapat.

Wanita itu jelas tersenyum senang, mengingat kini ia berhasil masuk ke ranah privasi Galen yang tak sembarang bisa disentuh orang-orang. Tapi senyumnya memudar ketika mendengar ketukan pelan dari luar dan pria itu memberi instruksi agar Arimbi membuka pintu dengan segera.

Saat itu, rasa terkejutnya tak bisa ditahan. Seorang wanita berdiri dengan sebuah koper ditangan, lengkap dengan tatapan tajam yang membuat Arimbi melirik Galen kebingungan.

TO BE CONTINUED

Touch Me Like You DoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang