TMLYD 31

1.2K 145 10
                                    

"Darimana kamu?"

Annara baru saja tiba di penthouse Galen sekitar pukul satu dini hari. Ia tak mempedulikan lagi resikonya ketika ia berjalan seorang diri menyusuri jalanan sepi di malam yang gelap itu.

Wanita itu mendongak dan mendapati Galen yang berdiri di tengah remangnya cahaya dengan rahang mengetat dan wajah merah padam. Pakaian pria itu tampak berantakan, kemeja yang tak lagi melekat apik di tubuhnya serta rambut yang tak tersisir rapi seperti biasa.

"Kemana saja kamu, Annara?" desis pria itu geram ketika wanita di hadapannya tak kunjung menjawab pertanyaannya.

Annara menghela napas panjang, sadar bahwa kehadiran pria itu bukan hanya ilusi semata. "Apa pedulimu?" tanyanya kembali sembari melangkah acuh melewati pria itu.

Sayangnya tak semudah itu Annara bisa mengabaikan Galen Arsenio yang kini mencekal tangannya dan mendesis tajam. "Aku memang tak peduli padamu, tapi bukan berarti kami bisa berbuat semaumu!"

Bagai belati yang menusuk tajam hingga ke ujung urat nadi. Kalimat Galen seolah mampu membunuh Annara tanpa memerlukan lebih banyak lagi tenaga.

"Apa memang kamu sekejam ini?" tanya wanita itu hampir tak bersuara. "Apa penilaianku memang selama ini aku salah mengartikan semuanya? Apa memang kita tidak ada artinya?" imbuhnya dengan hati berdenyut perih.

"Kita hanya tidur bersama. Apa kamu pikir aku akan menikahimu karena hal itu saja?" Galen tersenyum miring dan berbisik kejam. "Kamu tidak seistimewa itu, Annara!"

Pandangan Annara mengabur, air mata mendominasi di wajah wanita itu.

"Jadi selama ini ....?" Napasnya tercekat, sesak di dada seolah mencekiknya erat.

Sementara pria yang menjadi alasan hancurnya hati wanita itu tak memberikan ekspresi apapun.

"Kamu tidak bermimpi kalau aku benar-benar menyukaimu bukan?" tanyanya datar.

"Jangan lupa, Annara Sayang, kamu datang untuk penebus dendam kakakmu. Bagaimana bisa aku jatuh hati pada wanita yang di tubuhnya mengalir darah orang yang mengkhianatiku?!"

Hancur sudah! Semuanya! Annara benar-benar hancur tak bersisa.

Ia menarik tangannya keras dan berlari menuju kamar yang ia tempatnya selama ini karena tak ingin mendengar lebih banyak lagi kata-kata beracun yang akan terlontar dari mulut pria itu yang jelas akan sangat mampu semakin menghancurkan hatinya.

Wanita itu menangis di bawah guyuran air yang ia hidupkan untuk membasahi diri. Penyesalan memang datang di akhir dan Annara benar-benar ingin memutar waktu kembali.

Jika saja ia tidak menjadi pahlawan kesiangan untuk kakak yang bahkan kini telah menghianatinya, pasti hati Annara tidak akan sehancur ini. Hidupnya juga tak akan berantakan karena dirinya pasti lebih fokuskan karir daripada masalah rumit yang kini menimpanya.

Tapi semua itu hanya tinggal rasa sesal belaka. Nyatanya Annara tak mampu sedikitpun memutar waktu, yang bisa wanita itu lakukan hanyalah berusaha menekan perasaannya sedalam mungkin agar tak semakin menyakiti hati dan perasaannya.

Galen Arsenio adalah pria berbahaya, salah Annara tidak waspada dan membiarkan hatinya jatuh hingga pria itu mampu untuk mempermainkan dengan sesuka hati.

Annara menyudahi mandinya karena tubuh yang sudah menggigil, rasa dingin tak lagi mampu ditahannya. Entah sudah berapa jam ia berdiri di sana dan membiarkan air mengguyur dengan harapan hal itu mampu untuk membersihkan diri yang sudah sangat kotor karena kebodohannya.

Setelah berganti pakaian dan mengeringkan rambut, Annara tertidur dengan airmata yang masih membasahi pipi, hingga ia terbangun tengah malam dan berjalan keluar untuk mengisi perutnya yang terasa begitu sakit karena belum terisi sejak pagi hari.

Ada harapan yang berusaha Annara tekan di dalam dada yang nyatanya masih saja membuatnya kecewa ketika tahu bahwa Galen telah pergi lagi dan tidak tidur di penthouse malam ini.

Sementara itu Arimbi tersenyum sumringah melihat pesan yang dikirim oleh Galen padanya. Semua sesuai dengan apa yang diharapkannya dan sebentar lagi ia akan mencapai tujuannya.

"Perempuan itu memang harus menanggung akibatnya," ucapnya sinis sebelum beranjak menuju bed rumah sakit dan membelai wajah seorang wanita paruh baya yang tertidur lelap dengan wajah pucat.

"Sebentar lagi, Ma," bisik wanita itu sarat akan kepuasan.

Seminggu berlalu dan Galen kembali seperti ditelan bumi dan tidak pernah dapat Annara temui meski di penthouse sekalipun. Annara berusaha untuk tak mengambil pusing dan lebih fokus untuk mengistirahatkan diri karena akhir-akhir ini ia merasa bahwa tubuhnya lebih cepat lelah daripada biasanya.

Seperti pagi ini dimana Annara memutuskan untuk seharian di rumah dan meminta Loni untuk meng-handle pekerjaannya seperti berjumpa dengan beberapa calon pengantin mereka yang hendak melakukan tes make up.

Ia bukannya ingin bermalas-malasan, tapi rasanya badan wanita itu sangat lemah dan tak berselera untuk makan apapun. Bahkan pagi ini ia sudah memuntahkan isi perutnya sebanyak tiga kali. Kegalauan hati mungkin membuat wanita itu menjadi lupa waktu untuk mengisi perut sehingga mengakibatkan asam lambungnya naik.

Ponsel yang berdering membuat Annara membuka mata dan berusaha menarik ponselnya yang berada di atas nakas.

"Hallo," sapanya.

"Hallo, Annara. Kamu di mana?" Itu suara Justin dan tanpa perlu bertanya pun Annara tahu itu.

"Seharusnya berada di rumah ... tapi karena seseorang menjual rumah yang aku tinggali setelah kepergian orang tua kami, jadi aku harus hidup dengan seorang bajingan yang tak kalah bajingannya dari saudara kandungku sendiri." Annara bukan ingin menumpahkan kesalahan pada Justin sebab hidupnya yang hancur berantakan saat ini. Karena jelas kesalahan terbesar ada padanya, tapi biar bagaimanapun pria itu memiliki andil yang sangat besar dalam keputusan yang Annara ambil.

"Ann, aku minta maaf. Bisa kita ketemu?" Harap Justin yang terdengar begitu lelah.

"Maaf, aku sibuk." Tanpa menunggu jawaban dari pria itu lagi, Annara memutus sambungan telepon secara sepihak. Ia meletakkan kembali ponselnya ke atas, tapi baru beberapa menit ponselnya kembali berbunyi. Annara mengira bahwa itu masih orang yang sama sehingga ia tanpa langsung menumpahkan kekesalannya tanpa melihat siapa nama si penelpon.

"Mba Annara, ini aku Rey."

Annara langsung memastikan dengan mengecek layar ponselnya dan ternyata benar memang Rey lah yang menelpon bukan Justin.

"Aduh, maaf ya, Rey. Mba kira tadi orang lain," ucapnya tak enak.

"Nggak apa-apa, Mbak," sahut pria itu.

"Ah, ngomong-ngomong kamu apa kabar?"

"Aku baik. Mbak, bisa kita ketemu?"

"Ha? Maksud kamu?" Jujur saja Annara dilanda rasa bingung karena jika ingin bertemu dirinya seharusnya Rey tinggal datang saja ke rumah kontrakan di mana mereka biasanya berkumpul bersama para tim lainnya.

"Aku pengen ngobrol berdua sama Mba. Malam ini bisa? Nanti tempatnya aku kirim lewat chat."

"Oh, okay. Boleh."

"Terima kasih, Mba. Kuharap nggak akan ada halangan apapun," ucap pria itu sebelum memutus panggilan dan meninggalkan rasa penasaran yang mengganjal benak Annara.

To Be Continued

Touch Me Like You DoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang