"Perempuan yang waktu itu di taman, namanya Liliana, gue biasanya panggil dia Lili. Dia adalah sahabat gue sejak sd. Rumah kita bisa dibilang deket. Dari sd, gue selalu bareng sama dia, kemanapun pergi, kita selalu bareng. Bahkan orang tua gue sama dia udah kenal deket. Setelah Smp, sekolah kita beda. Meskipun begitu, gue selalu berusaha supaya gue bisa deket terus sama Lili. Bagi gue, beda sekolah bukan jadi halangan buat Lili jauh dari gue. Semakin lama, kita menginjak bangku sma, gue sadar bahwa rasa ingin selalu deket sama Lili itu ternyata bukan sekedar rasa antar persahabatan biasa. Tapi gue udah sayang sama Lili lebih dari sahabat."
"Hingga suatu hari tiba, gue ngerasa marah sama diri gue sendiri, saat dimana gue gak ingin itu terjadi. Lili kenalin seorang laki-laki sebagai pacarnya. Entah sejak kapan dia pacaran sama laki-laki yang bernama Wildan. Tapi yang jelas, gue yakin Lili cuman anggap hubungan ini sekedar sahabat. Saat itu juga, gue merasa trauma untuk jatuh cinta lagi sama perempuan. Meskipun sebenernya trauma itu gak beralasan karena gue juga gak pernah terus terang tentang perasaan gue ke Lili. Gue ngejauh dari Lili, dan itu hal yang emang harus gue lakukan. Pilihan ini memang menyakitkan, tapi mungkin ini yang terbaik."
"Saat itu gue berusaha menyibukkan diri di Osis, hingga suatu hari, gue ketemu dan kenal sama Reva. Sejak gue kenal sama Reva, gue merasakan ada perubahan dalam diri gue. Reva yang saat itu ceria, membuat gue merasa bahwa trauma untuk jatuh cinta itu gak harus ada pada diri gue lagi, dia yang menyadarkan gue bahwa gue gak harus jadi siapapun untuk bahagia."
"Gue sayang sama Reva, dia bukan pelampiasan. Reva adalah perempuan yang selalu punya caranya sendiri untuk membuat gue bahagia. Gue gak mau kehilangan dia."
...
"Gitu, ceritanya Re. Perempuan yang lo liat kemaren, itu sahabatnya sejak Sd." jelas Rendra.
"Gue tau Lili itu sahabatnya. Tapi, apa pantas kalo dia gitu ke Sean? Secara dia juga tau kalau Sean udah punya gue."
"Mungkin saat itu si Lili gak sadar, tapi gue yakin Sean itu tulus sayang sama lo."
"Sekarang lo memihak siapa sih bang?"
"Gue gak berpihak sama siapa-siapa, Re. Gue cuman melakukan apa yang harusnya seorang kakak lakukan pada adiknya."
"Hemm iya udah."
"Gue tau, lo masih sayang sama Sean, tapi lo juga harus lihat dari sisi Sean juga Re. Kalau lo cuman mikirin diri sendiri, itu egois namanya, udah ah ya lo kan udah gede, udah bisa memilah dan memilih mana yang salah sama mana yang bener, gue cuman bisa kasih saran itu aja okey, gue ke kamar dulu, bayyy." Rendra berdiri lalu beranjak ke kamarnya, meninggalkan Reva yang masih terdiam.
...
Setibanya di rumah, Sean langsung membaringkan tubuhnya di sofa. Masih terngiang jelas pembicaraannya dengan Rendra.
"Besok, gue bakalan berangkat tugas ke luar kota, dan untuk pertama kalinya, gue berat banget buat ninggalin Reva pergi, padahal biasanya gue tenang-tenang aja pergi tugas kemanapun. Tapi kali ini, rasanya beda banget. Apalagi setelah gue pisah sama dia tiga tahun, yang kalau ketemu cuman setahun dua kali. Sean, lo bisa anggap gue temen, sahabat atau bahkan abang lo sendiri, toh kita juga cuman beda beberapa tahun. Lo bisa cerita apapun sama gue, makanya gue cuman minta sesuatu sama lo."
"Apa itu kak?"
"Jaga adik gue satu-satunya, jaga dia seolah lo adalah kakaknya juga. Gue tau, lo sangat tulus sayang sama Reva, gue bisa rasain itu. Tapi gue minta sama lo sebagai seorang abang yang gak ingin adiknya kenapa-kenapa."
Sean mengangguk.
"Apa Reva pernah cerita kalau selama ini dia sibuk kelola cafe?"
Sean menggeleng. "Belum, malah gue taunya baru sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Suka Senior
Teen Fiction(Follow sebelum baca) Gak salah kan kalau menyukai atau disukai sama senior? Apalagi kalau senior terkenal di salah satu organisasi atau ekstrakulikuler yang paling dibanggakan di sekolah. Apa yang akan terjadi jika dekat dengan senior populer yang...