Bab 1. Si ...

991 78 6
                                    

"Dek! Anterin makanan ini ke sebelah, ya!"

"Nggak mau, Ma!"

"Ih! Kok nggak mau, sih? Ayo dong cantik!"

"Nggak mau ya nggak mau, Ma! Kakak ajalah!"

"Kenapa jadi aku?! Nggak ada! Aku banyak tugas!"

"Ayo. Dalam hitungan ketiga, kalau Neng Geulis nggak turun. Mama ngambek, loh. Mogok masak seminggu. Satu ... Dua-"

"Iya! Iya! Lisha turun sekarang!"

Hahhh ... Nasib anak bungsu. Selalu saja disuruh-suruh. Tapi daripada kelaparan selama satu minggu, lebih baik kulakukan saja perintah ibu ratu.

"Nah ... Gitu, dong. Ini baru anak mama yang cantik."

"Nyenyenyenye."

"Loh kok gitu sama Mama? Nggak sopan loh, Sayang."

"Ishhh! Bawel! Ya udah mana makanannya, nanti aku keburu males lagi loh ini."

"Ya udah, ya udah. Ini gulai kambing bawanya hati-hati ya, Lish."

Aroma gulai kambing. Sedap sekali. Mendadak aku jadi lapar. Tapi tugas tetaplah nomor satu.

"Iya, Ma. Lisha berangkat. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Pada akhirnya harus aku juga yang turun tangan. Sebenarnya tidak masalah mau disuruh Mama ke mana pun. Tapi kalau ke tetangga sebelah, rasanya aku tak sanggup.

Belum makan gulai gambing pun, kalau kaki ini sudah injak rumput tetangga. Pasti bawaannya darah tinggi selalu. Pasti. Pasti!!

"Assalamualaikum! Tante Selvia! Relisha nih, Tan!"

Tidak ada sahutan. Sepertinya penduduk rumah ini sedang keluar.

YESSS!

Kalau begitu aku bisa selamat hari ini. Begitulah yang kupikirkan. Tapi sayangnya, pintu rumah ini justru terbuka ketika rasa bahagia sudah di depan mata.

Seonggok manusia menyebalkan muncul membuka pintu ini dengan wajah lempengnya. Dia tidak berbicara apapun dan hanya menatapku dengan wajah datarnya. Rasanya aku sedang berhadapan dengan ikan koi dan bukannya manusia.

"A-anu, Kak. Ta-tante Selvia ada?"

Lah geblek?! Kan aku cuma mau nganterin makanan. Kenapa harus nyari Tante Selvia segala, sih? Kan bisa kutitipin ke anak ini.

Tapi muka manusia ini memang amat sangat menyebalkan, sih. Sampai aku tak kuasa menahan kebodohan.

"K-Kak? Itu-"

"Ma! Ada si Lilis, nih!"

Biadab, memang! Bisa-bisanya dia masih memanggilku Lilis. Apa perlu kutempeleng biar ingat kalau namaku itu Lisha. LISHA. L-I-S-H-A. Bukan Lilis!

Aku tidak mempermasalahkan nama Lilis. Tapi yang jadi masalah di sini itu kenangannya. Memori akan nama Lilis itu selalu datang menghantui dan membuatku malu sendiri.

"L-Lisha, Kak. Namaku Lisha."

"Mmm."

Mmm? Dia cuma merespon 'Mmm' saja?!

"Ma! Li-lis-----ha dateng, nih!"

Dia sengaja. Dia pasti sengaja mempermainkan namaku seperti itu.

"Eh? Lisha ke sini? Kok nggak langsung masuk? Ada apa Lish?!" itu teriakan Tante Selvia. Suaranya seperti berasal dari dapur.

"Anu, Tante! Mau nganterin gulai kambing!"

"Masuk-masuk! Gulainya kasih aja ke Langit. Biar dia yang bawa!"

Langit Lisha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang