Bab 8. Pamer Pangkal Baper

259 50 1
                                    

Apakah semua ini nyata? Sungguhan? Bukan dusta maupun drama?

Astagaaaa! Jika benar ini nyata, maka sungguh aku sangat bahagia.

Kutatap lagi pemuda tampan di hadapanku ini. Iya, di nataku saat ini Kak Langit jadi rupawan karena dia mau membantuku.

Sambil duduk lesehan di atas rumput, Kak Langit dengan tenang mengelus si Berang di pangkuannya.

Seperti biasa dia menatapku intens. Tapi kali ini aku tidak takut. Bahagiaku sudah terlalu menggebu.

"J-jadi Kak Langit tadi denger semua curhatan aku ke Berang?"

"Hmm." Kak langit berdehem. Tangannya masih sibuk mengelus bulu halus Berang. Ah, ngomong-ngomong soal Berang. Tumben sekali anak itu mau dibelai Kak Langit.

"T-terus Kak Langit beneran kan ngajak aku pacaran?"

"Hmm."

"Kakak nggak lagi bercanda, kan?"

"Enggak."

"YEAYYYYY! Akhirnyaaaa! Aku selamat, Ya Tuhan!"

Saking girangnya aku sampai tidak punya malu. Meloncat dam tertawa girang di hadapan Kak Langit.

"Makasih, Kak! Makasihhhhh banget!"

Kugenggam erat tangannya. Kutatap lekat matanya dengan sorot penuh pengharapan.

"Aku pasti akan jadi gadis cantik nan anggun. Jadi kakak nggak akan malu karena jadi pacar boonganku."

Aku melihat mata Kak Langit membulat untuk sesaat. Seolah dia sedang terkejut. Tapi, kenapa? Apa dia menyesal? Atau dia tidak percaya aku bisa jadi perempuan anggun?

Atau itu hanya halusinasiku saja. Karena sekarang dia sudah kembali normal. Wajahnya lurus datar bagaikan jalan menuju surga.

"Kapan acaranya?"

"Eh? Oh ... Itu lusa."

"Kita berangkat bareng atau aku datang belakangan?"

"Dateng agak siang aja, Kak. Jam 9 bazar baru dibuka untuk umum."

"Oke."

"A-anu, Kak."

"Anu?"

"B-boleh minta tolong lagi?"

"Apa?"

"N-nanti aku tuliskan daftar hal yang harus kakak lakukan saat datang ke bazar, ya?"

Kak Langit hanya diam. Dia melihatku seolah aku ini barang selundupan yang harus dipindai keamanannya.

"Jangan macem-macem, Lilis. Kita ini belum halal buat gituan."

"HAH?! NGOMONG APA KAMU BARUSAN!!"

Ah ... Itu bukan suaraku. Tapi suara Kak Rhina. Dia muncul secara tiba-tiba di belakang kami sambil berkacak pinggang.

Di tangan Kak Rhina terlihat ada sebuah buku tebal yang siap digunakan sebagai senjata jika sampai hatinya meradang.

"Langit Antasari, bisa Anda jelaskan apa maksud perkataan Anda barusan?"

"Males."

Bugh.

Benar, kan? Buku itu benar-benar menjadi senjata. Iya. Senjata untuk menghajar Kak Langit.

________

Hari penentuan kelanjutan masa depanku pun tiba. Entah bagaimana caranya, tapi pada akhirnya Kak Langit dan Kak Rhina sudah menemukan titik tengah atas kesalahpahaman mereka.

Langit Lisha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang