Bab 3. Hachuuu

396 57 3
                                    

Aku memang sudah jarang dibonceng motor oleh Kak Langit. Tapi ingatanku ini tak pernah salah. Dia memang pengendara yang handal. Meskipun jalannya sangat cepat, tapi tidak sembrono.

Kak Langit tahu kapan harus mengurangi kecepatan dan kapan harus tancap gas. Dan berkat kemampuan berkendaranya lah aku tidak jadi telat masuk sekolah.

Karena kami sampai di sekolah pukul 06.49 tepat.

"Makasih, Kak! Aku masuk dulu!" ujarku sambil memberikan helm dan bergegas masuk ke dalam.

Murid-murid lain sudah mulai berbaris rapi. Aku yang baru datang pun langsung berlari dan ikut berbaris. Topi yang sebelumnya bergelantungan di rok, kini berpindah ke atas kepalaku.

"Hosh ... Hoshhh ... Hahh! Alhamdulillah keburu. Kupikir telat."

"Kesiangan ya, Lish?" Ambar bertanya dengan wajahnya yang sok prihatin padahal aku yakin dia sedang tertawa dalam hati.

"Ngejek apa gimana?"

"Hahaha. Ngebo mulu, sih!"

"Sssttt! Diem. Pak Jabrik udah mulai jalan, tuh."

Dan kami pun diam sampai upacara selesai karena tidak mau digiring Pak Jabrik ke depan lapangan akibat terlalu berisik.

Aku berjalan ke kelas bersama Ambar. Seperti biasa, kami mengobrol tentang apapun yang random.

"Udah ngerjain tugasnya Bu Susan, kan?"

"Udah dong! Aku kan- LOH! MBARRR!" aku panik.

"HEH? APA? KENAPA?!" Ambar ikutan panik.

Teriakan kami berhasil mengundang perhatian murid-murid lain.

"Tasku ketinggalan!"

"Ha?! Ketinggalan gimana, sih?!"

"Iyaaa! Perasaan tadi dari gerbang aku langsung lari ke lapangan. Nggak bawa tas, kan?"

"Peak banget, sih! Ketinggalan di mana?"

"Lupa! Haduuhhh! Gima-"

"Mbak Lisha, ya?"

Suara dari pria dewasa yang rupanya adalah Pak Satpam langsung menghentikan kepanikanku.

"Huh? I-iya, Pak. Kenapa ya, Pak?"

Duh ... Kenapa lagi ini? Perasaan aku tidak berbuat dosa apapun kepada Pak Satpam, deh.

"Ini ada yang nyariin, Mbak." begitu ucap Pak Satpam. Saking chaosnya aku bahkan sampai tidak sadar jika ada orang lain yang berdiri di belakang Pak Satpam.

Dan begitu Pak Satpam menyingkir, maka nampaklah wajah paling tidak mengenakkan sedunia. Siapa lagi jika Bukan Kak Langit.

"K-kak Langit? Ada apa, Kak? Kok belum balik?"

Selama beberapa saat Kak Langit hanya diam menatapku. Mungkin karena mulai kaku, tapi akhirnya si ikan koi ini pun membuka mulutnya.

"Ckk ... Remaja jompo."

Ahhhh! Bisa-bisanya dia mengatakan hal itu dengan wajah sedatar aspal jalan tol. Sebenarnya maunya apa, sih?!

Ingin kumaki, tapi begitu Kak Langit menyodorkan tasku tepat di depan wajah. Maka amarahku pun langsung mereda.

Iya. Aku baru ingat kalau tasku tadi dipakai oleh Kak Langit sebagai pembatas kami waktu boncengan. Dasar Lisha pikun!

"Ke-kenapa nggak dititipin ke Pak Dodi aja, Kak?" tanyaku sambil mengambil alih tas milikku dari tangan Kak Langit.

Pak Dodi itu satpam yang sedang berdiri di samping Kak Langit sekarang.

"Maaf, Neng. Takut ada barang penting. Nanti kalau hilang, Bapak lagi yang disalahin."

Langit Lisha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang