Minggu pagi seharusnya diisi dengan hal-hal manis. Tapi Rhina dan kawan-kawan justru melakukan sebaliknya. Mereka bekerja tanpa henti untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang semakin beranak pinak tiap harinya.
"Mau mampus rasanya!"
"Hahaha ... Kerjain ajalah, Ka. Bentar lagi juga kelar." Ujar Rhina kepada Deka.
Rhina, Erwin, Deka dan Ziva kebetulan berada di dalam satu kelas yang sama untuk tiga mata kuliah. Oleh karenanya, mereka berempat selalu berkelompok untuk mengerjakan tugas harian.
Erwin yang notabenenya menyukai Rhina sejak lama, tentu tidak mau melewatkan kesempatan untuk apel dalam sindikat pertugasan. Dia membawa serta Ziva dan Deka sebagai alibi.
"Oh ya, Lisha di mana, Rin?"
"Belajar di kamarnya. Kenapa, Ziv?"
"Aku mau kasih buku lagi ke dia. Kemarin dia chat aku, bilang tertarik ke matkul psikologi."
"Eh? Masa? Dapat nomor kamu dari mana dia?"
Ziva hanya mengedikkan bahu. Tanda jika tidak tahu.
"Bentar, ya. Aku panggilin dia kalau-"
"KAK RHINAAAAAA!"
"Nah, tuh anaknya udah turun." Ujar Rhina sedikit kesal mendengar suara melengking Lisha, "kenapa teriak-teriak sih, Dek?"
"Kak Langit, Kak! Kak Langit!'
"Langit ngapain kamu?!"
Rhina memang tidak tahu caranya bersikap manis pada adik kecilnya, tapi Rhina lebih dari tahu bagaimana caranya mematahkan tangan orang yang berani mengganggu adiknya itu.
"Aku dikatain kurang intelek, Kak."
"..."
"Kok diem, Kak?"
Berdehem. Rhina tidak merespon apa-apa selain hal itu. Sebab dia lebih tahu dari siapapun kalau adiknya memang ... Kurang intelek.
"Ya karena itu fakta, Lilis. Bagaimana bisa kamu mendapatkan nilai 9 di hampir semua mata pelajaranmu."
Bukannya meminta maaf, Langit justru semakin menjadi-jadi. Dengan wajah datarnya, pria itu berdiri di atas tangga sambil menyenderkan pundak.
Wajahnya mengamati Relisha dengan seksama seolah sedang menantangnya untuk mengalahkan argumennya barusan.
"Kalau nilainya 9, berarti hampir sempurna dong, Ngit?" Deka berkomentar heran.
"9 dari 100."
Jawaban Langit membuat Deka memasang wajah yang seolah mengatakan 'Oh' dengan jelas. Erwin dan Rhina nampak sedang menahan tawa, dan Relisha melihat itu semua.
Hanya Ziva yang nampak tidak berekspresi apapun. Entah karena dia tidak peduli, atau karena perempuan itu begitu hebat dalam mengatur ekspresinya. Lisha tidak tahu, tapi yang jelas Lisha tidak menyukai semuanya.
Punggung sakit karena sedang datang bulan, digembleng sejak pagi oleh langit, tidak mendapatkan pembelaan dari kakaknya, ditambah lagi ... Lisha merasa malu karena kebodohannya diketahui oleh banyak orang.
Semua kondisi itu membuat Lisha menjadi emosional. Matanya berkaca-kaca dan hampir terlihat seperti akan menangis.
Langit yang menyadari ada yang salah, segera turun untuk melihat kondisi kekasihnya. Tapi baru saja tangannya ingin menyentuh wajah Relisha, gadis itu dengan cepat menampik. Suara 'plak' bahkan sampai menggema di seluruh ruangan.
"Kamu menyebalkan."
Meskipun wajahnya terlihat sangat tenang, tapi jauh di dalam lubuk hatinya, Langit begitu panik. Dia ingin meminta maaf jika ucapannya keterlaluan, namun tatapan kecewa Relisha begitu menyakitkan hingga membuat Langit diam terhenyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Lisha
ContoLangit itu hobinya diam. Tidak mau bicara tapi suka sekali memperhatikan. Membuat Lisha merasa kesal dan tak nyaman. Lisha itu mudah kikuk. Gampang gerogi dan ceroboh. Membuat Langit jadi gemar mengganggunya.