Harusnya hari ini aku Have Fun sama si Tejo dan kawan-kawannya. Menikmati konser dan berjingkrak ria bersama manusia-manusia lainnya.
Tapi memang dasar si Langit di tanah jahan*m ini suka sekali menghancurkan suasana.
"Mmm ... Maaf Kak-"
"Saya bilang tunggu sebentar, kan? Masih ada hal yang harus saya obrolkan dengan wanita saya ini."
Ya Allahhhh ... Melempem hati ini gara-gara Kak Langit lagi mode keras.
Jujur aku ingin menangis saat melihat bagaimana Kak Langit berbicara dengan Tejo, tapi matanya menatapku dengan dingin.
Hiks ... Untunglah masih ada kata 'wanita saya', jadi sedikit melayang hehe. Baru kali ini ada yang memanggilku semanis itu- wait ...
NOOO! SADAR LISHA!
KAMU MASIH NGAMBEK! JANGAN BAPER!
"I-iya, Kak. Tapi lima belas menit lagi, kalau belum selesai ngobrol, teman-teman saya biar duluan saja, ya. Nanti saya aja yang nungguin Lisha di sini, sampai Kakak selesai ngobrol."
"Bicara apa kau? Kenapa orang asing harus menunggu Lisha selesai mengobrol dengan pacarnya? Dia tanggung jawab saya. Kalian bisa pergi sekara-"
"NGGAK! JANGAN PERGI!"
Alamak ... Kebanyakan drama kamu, Lish! Padahal ngomong biasa pun, mereka berdua juga pasti dengar. Kenapa pakai teriak segala, sih?
Ishh ... Jadi malu diliat banyak orang. Mana Si Kanebo kering ini nggak merespon sama sekali lagi. Kak Langit tetap stay dengan ekspresi lurunya.
Dasar manusia settingan pabrik! Lempeng!
"P-pokoknya jangan pergi ya, Jo. Aku bakal tetep nonton konser dengan kamu."
"Haha ... O-oke, deh. Enakin aja ngobrolnya, nggak usah buru-buru."
Tejo kembali melipir. Pergi menepi dengan teman-temannya. Mereka ngopi di warung seberang minimarket. Sedangkan aku dan Kak Langit duduk manis di depan minimarket.
Berbekal membeli roti coklat dan susu pisang, nampaknya Muka Baliho ini ingin menyogokku agar tidak ngambek lagi.
Haha ... Tidak semudah itu, Marimar!!
"Kamu kenapa kabur?"
Tipikal manusia sok polos sekali kamu, Langit!
Setelah mengataiku 'kurang intelek', sekarang dia mau pura-pura dungu, gitu ya? Oke, aku ladenin.
"Nggak kenapa-napa."
Mampus kau, Langit! Kalau perempuan sudah bilang gini, itu artinya-
"Nggak. Itu bukan jawaban. Jawab yang bener."
Loh kok? Kok gini jawabnya?
H-harusnya tidak seperti ini, loh.
Mendadak tenggorokanku jadi sakit. Kering kerontang sampai sulit menelan ludah sendiri.
Bukan hanya cara bicaranya yang dingin, tapi cara Kak Langit menatapku, dan gesture tubuhnya pun, menunjukkan jika Kak Langit sedang tidak dalam kondisi 'normal'.
Normalnya Kak Langit adalah wajah tanpa ekspresi. Tapi sekarang, jelas sekali kalau dia sedang marah. Murka. Meradang!
"A-apa, sih. Aku emang nggak kenapa-napa, kok."
"Nggak kenapa-napa tapi kabur. Kalau mau bohong yang pinter dikit."
Tuh kan. Belum genap sehari Kak Langit udah mulai ngatain aku lagi.
Tadi kurang intelek! Sekarang kurang pinter!
"Kenapa kabur, Lisha?"
Diam sajalah. Males.
"Karena aku mengatakan nilaimu buruk di depan anak-anak?"
Y.
"Aku minta maaf."
Ha?
"Aku salah. Maaf."
_ _ _ _ _
Harusnya Kak Langit yang salah. Harusnya Kak Langit yang merasa tidak enak. Harusnya aku yang berkuasa!
Tapi karena si manusia kanebo itu meminta maaf tanpa drama, sekarang jadi aku yang merasa tidak enak.
Melihat konser tidak enak. Makan camilan tidak enak. Bersenda gurau juga tidak enak.
Itu karena kelakuan Kak Langit.
Setelah dia meminta maaf, Kak Langit membiarkan aku untuk tetap melanjutkan perjalanan dengan Theo. Dengan syarat, Kak Langit mengikuti di belakang sana menggunakan mobilnya.
Jadi, selama aku menonton konser, Kak Langit setia menemaniku. Dia hanya berdiri beberapa meter di belakangku. Tanpa melakukan apapun. Tanpa menginterupsi kegiatan kami sama sekali.
Dia seperti udara, yang keberadaannya nyata dirasa, namun tidak pernah bisa dilihat.
Bahkan saat makan, Kak Langit memilih makan sendirian di meja yang berbeda dariku dan anak-anak.
Jujur saja, ini benar-benar terasa seperti hukuman. Tapi bukan hukuman untuk Kak Langit, melainkan untuk diriku sendiri.
"Jo."
"Ya, Lish?"
"Aku pulang dulu, ya."
"Eh? Kenapa? Pacarmu kan sudah ngijinin buat main."
Justru itu masalahnya.
Karena Kak Langit menerima dengan lapang dada, dan membiarkanku bertindak semauku, itu membuatku merasa tidak enak.
"Aku capek, Jo. Mau pulang aja, ya. Teman-teman, makasih ya sudah ijinin aku main bareng."
Setelah tersenyum dan mengucapkan salam perpisahan, aku berjalan mendekati Kak Langit yang sedang duduk sendirian di pojokan rumah makan.
Wajahnya mungkin tidak berekspresi apapun, tapi jika boleh sok tahu, aku merasa jika Kak Langit sedang menatapku dengan sedih.
Dia seperti anak anjing yang menunggu tuannya dengan anteng tanpa menggonggong sama sekali.
Tadinya Kak Langit sedang tidak melakukan apapun dan hanya menatapku saja, tapi begitu aku sudah berada di depannya, tiba-tiba saja Kak Langit mengambil tanganku untuk digenggamnya.
"Pulang ya, Sha? Ayo pulang."
Aku masih diam mengamati bagaimana tangan besar itu terasa dingin. Entah itu karena suhu udara atau karena dia sedang tidak enak badan.
Karena yang pasti, tidak mungkin Kak Langit gugup menghadapiku.
"Marahnya lanjutin di rumah saja, ya."
"Hmm."
Ya, sudah. Toh, aku juga salah karena tidak memperhatikan Kak Langit saat kami belajar bersama.
"Ayo, Kak. Ayo kita pulang."
Untuk pertama kalinya, aku melihat senyuman itu setelah sekian lama dia tak pernah menunjukkan senyuman seperti itu.
Sebuah senyuman yang terasa pahit dan menenangkan.
_______
.
.
.
.
.Apa kabar? Semoga baik-baik saja, ya.
Kalau nggk baik-baik saja, semoga tetap survive ya :)
Mau bilang ...
Terima kasih banyak ya, teman-teman.
Buat supportnya selama ini.
Sehat dan bahagia selalu untuk kalian :D
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Lisha
Historia CortaLangit itu hobinya diam. Tidak mau bicara tapi suka sekali memperhatikan. Membuat Lisha merasa kesal dan tak nyaman. Lisha itu mudah kikuk. Gampang gerogi dan ceroboh. Membuat Langit jadi gemar mengganggunya.