Bab 11. Masih Jelly

296 56 8
                                    

Saha? Ini teuh siapa?

Wajah manis dengan kulit sawo matang cerah khas orang Jawa tulen. Bulu mata lentik. Lesung pipi sebelah.

Hmm ... Kok sepertinya tidak asing, ya?

"Tejo?" tebakku sedikit ragu.

"Wah! Lilis masih inget aku?"

"Enak aja Lilis! Namaku Lisha!"

"Ya jangan marah, Lis. Kamu aja masih manggil aku Tejo."

"Eh ... Iya juga, ya. Nama aslimu siapa, Jo?"

Kupikir si Tejo ini akan marah-marah karena aku melupakan namanya. Tapi di luar dugaan, Tejo justru tersenyum cerah sambil mengulurkan tangan kepadaku dengan pipi memerah.

"Kenalan lagi aja."

"Oh, oke."

Aku sih oke-oke saja. Lumayan, bisa salaman sama mantan pangeran sekolah.

"Theo, aku Theodore, Mbak Lilis."

"Hahaha! Kurang ajar kamu, Jo. Oke, aku Lisha. Relisha, Mas Tejo."

Kami berdua tertawa. Benar-benar tawa karena bahagia. Meskipun Theo mengingatkanku lagi akan aib masa lalu, tapi karena dia Theo, rasanya aku tidak keberatan.

Karena Theo adalah bagian dari kejadian memalukan waktu itu. Aku dan dia sama-sama anggota teater. Dan saat itu sedang ada pentas seni di sekolah.

Sebenarnya kejadian itu tidak terlalu heboh. Aku hanya terjatuh, tergelinding dan berakhir di pojokan panggung setelah kain jarikku tidak sengaja terinjak kaki seseorang.

Dan orang itu adalah si Tejo ini.

Karena tak ingin malu sendirian, aku pun menarik kain jarik Tejo juga, hingga terlihatlah boxer hitam dengan gambar Batman-nya. Untung saja boxernya tidak alay. Karena gambar kepala Batman-nya tidak terlalu jelas.

Aku yakin si Tejo pasti malu setengah mati, tapi dia diam saja dan tetap berdiri di atas panggung bersamaku. Meskipun saat itu kami jadi bahan tertawaan satu sekolah.

Lalu mengapa Kak Langit jadi memanggilku Lilis?

Itu karena si Tejo berucap lantang di depan seluruh penonton. Saat itu dia berkata, "LILIS! MAAFIN TEJO! TEJO NGGAK SENGAJA."

Dan yah ... Semuanya berakhir seperti itu. Di semester berikutnya, Tejo pindah sekolah. Karena itulah aku tidak sampai ingat namanya.

"Kok ngelamun, Lis?"

"Oh. Engga. Cuma inget masa lalu aja. Sorry ya, dulu aku pelorotin kain jarikmu."

Waduh! Salah topik ini. Muka Tejo jadi merah sekali. Dia pasti sangat malu.

Iya juga, sih. Aku saja masih sering malu jika ingat kejadian absurd itu.

"A-aku biasanya pakai boxer biasa, kok."

Lah? Kok malah bahas boxer? Urusannya sama aku apa?

"Waktu itu, aku pakai boxer Batman soalnya boxer biasaku lagi dicuci."

Hmm ... Aku harus merespon bagaimana?

Apa harus kujawab, "oh, gitu ya? Wahhh ... Sense of boxermu memukau sekali."

Gila kali! Aku ini bukan orang mesum. Harus segera kuganti topiknya, agar kami berdua tidak berakhir sharing masalah daleman.

"Mmm ... Tejo."

"Theo, Lish."

"Oh iya, wkwkwk. Sorry Theo. Tapi mau nanya aja, kenapa kamu manggil aku Lilis waktu itu? Harusnya nama panggungku saat itu kan Klenting Kuning."

"Eh? I-itu, ya? Sebenernya aku mau manggil nama aslimu, tapi mendadak aku khawatir kalau orang-orang bakal inget kamu terus. Dan waktu mau panggil nama panggungmu, aku justru blank. Jadi ya ... Aku plesetin aja jadi Lilis. Terus aku jadi Tejo. Kalau gitu, orang-orang jadi nggak bakal inget nama asli kita, kan?"

Wahhh ... Dia ini tipe orang yang bisa menemukan solusi tepat pada waktunya, ya?

Hebat! Hebat! Patut kuacungi jari tengah- eh ... Maksudku jari jempol.

"Makasih ya, Theo."

"Huh? Buat apa?"

"Buat kejadian itu. Kamu nggak marah udah aku permaluin di depan umum. Dan bahkan masih sempet mikirin buat nyelametin mukaku."

Tejo alias Theo tidak menjawab. Sama seperti jaman SMP dulu, anak ini masih saja pemalu. Wajahnya sekarang berubah jadi cabe merah yang super merona.

Haha ... Lucunya.

_ _ _ _ _

Rupanya dulu Theo pindah sekolah karena ayahnya dimutasi kerja. Dan sekarang kembali ke kota ini karena alasan yang sama.

Katanya, dia akan bersekolah di tempatku. Menyenangkan sekali! Karena aku bisa nebeng setiap hari.

"Makasih ya, Jo. Udah dianterin sampai depan rumah."

"Hahaha ... Padahal aku nganterinnya sambil jalan kaki."

"Asyik tahu. Aku jadi punya temen ngobrol. Soalnya aku tadi ke luar rumah gara-gara suntuk, Jo."

"Suntuk kenapa?"

"Rahasia, dong Tejo."

"L-lish? Kok masih manggil aku Tejo? Kamu masih marah ya soalnya dulu aku nggak sengaja nginjek kainmu?"

Eh? Apa wajahku terlihat marah? Perasaan tidak juga.

"Enggak, kok. Cuma ... Kalau kamu nggak keberatan, aku boleh panggil Tejo aja nggak? Terus kamu panggil aku Lilis. Jujur aja, aku masih sering malu kalo inget. Tapi, kalo kita biasain denger, kayaknya rasa malu itu bakal ilang, deh."

"E-eh? G-gitu, ya? Aku sih ... Nggak keberatan. Kesannya kita lebih deket juga, kan?"

Hmm ... Anak ini menggemaskan sekali, sih. Mudah blushing. Jadi ingin semakin kuganggu saja.

"Dek? Kamu dari mana aja?"

Ish! Kenapa Kak Rhina dan kawan-kawan harus ke luar rumah sekarang, sih?! Mengganggu momen saja.

Eitsss! Itu si manusia baliho apakah sedang kesal karena melihat pacarnya berduaan dengan pria lain?

"Ayo, Va. Aku anter balik."

Oh ... Sepertinya tidak. Baiklah! Aku juga akan melakukan hal yang sama.

Kugandeng tangan Tejo dengan erat lalu kupaksa dia berjalan mengikuti. Saat jarakku dengan gerombolan Kak Rhina sudah dekat, barulah aku berucap, "Ayo masuk, Jo. Aku mau tunjukin sesuatu di kamarku."

Tap!

Wawww! Cepat sekali reaksinya.

Tanganku---- ditahan oleh Kak Langit. Dia sekarang, menatapku dengan matanya yang tajam. Namun ekspresi tetap datar.

"Kita perlu bicara---- Relisha."

_____________

.

.

.

.

January 08 2023
Yoe

Langit Lisha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang