"Kita perlu bicara---- Relisha."
Enak saja! Setelah membuatku kesal dan mengabaikanku. Sekarang dia mau mengajakku bicara tanpa minta maaf dulu begitu?
Huh! Tak sudi lah diriku ini!
"Nggak mau. Aku lagi sibuk."
Kutampik saja tangannya Kak Langit. Dengan wajah congkak keputar kepalaku untuk menatap Theo yang sedang kebingungan.
"Ayo masuk, Theo."
"E-eh? A-ayo."
Tanpa babibubebo lagi, aku menyeret Theo yang malang menuju kamarku. Setelahnya langsung saja kukunci pintu agar tidak ada yang mengganggu waktu cemberutku.
Tanpa Kak Langit dan kawan-kawannya ketahui, aku mengintip sedikit dari jendela. Meskipun tak terdengar apa yang mereka bicarakan, tapi aku bisa melihat dengan jelas jika pada akhirnya rombongan Kak Erwin pergi dari rumah. TANPA KAK LANGIT.
Iya, Kak Langit tidak ikut pergi. Dia tidak jadi mengantarkan Kak Ziva.
Awalnya aku lega, tapi setelah mataku tak sengaja bersitegang denga netra Kak Langit yang tajamnya bukan main, maka lenyap sudah perasaanku tadi.
Kak Langit tahu aku sedang mengintip?! Ukh! Malu!
"Mampus!"
"Kenapa, Lish-"
"YASSALAM!" aku serius sedang terkejut ini. Karena langkah kaki Theo itu seperti hantu. Sunyiiiiii sekali.
"Maaf. Maaf. Aku nggak berniat mengagetkanmu."
"Haha. Nggak, kok. Nggak-"
BRAK! BRAK! BRAK!
"Allahu Akbar!" ini juga, aku benar-benar sedang kaget, loh. Siapa pula yang menggedor-gedor pintuku seperti orang kesurupan?
"Si-"
"Buka."
Hmm. Baru juga ingin bertanya siapa. Tapi kuurungakan karena mendengar bariton yang kepalang datar ini. Siapa lagi kalau bukan Kak Langit.
Gedorannya saja yang seperti Hulk, tapi suaranya lebih mirip seperti D.O saat sedang bernada rendah atau Suga ketika memperingatkan adik-adiknya agar tidak berisik. Sangatttttttt dingin dan menukik tajam.
"Relisha. Bu-ka."
Ini yang sedang berdiri di belakang pintu Kak Langit sungguhan, kan? Aku takut jika ternyata itu merupakan pembunuh berdarah dingin yang menyamar menjadi Kak Langit.
"Re. Li. Sha. Buka, atau aku akan masuk dengan cara lain."
Hah? Cara lain? Jalan lain, kah? Jendela maksudnya? Terus naik ke lantai duanya bagaimana? Merayap??
"Lish. Itu siapa?"
"Bukan siapa-siapa. Abaikan saja, Jo."
"Maunya begitu, sih. Tapi suaranya menakutkan, Lish."
Ish! Ini Si Tejo kenapa ikutan takut juga, sih? Niat hati mau sok-sokan tenang jadi urung 'kan.
"Udah pergi, ya?" gumamku tak yakin.
Aku pikir semuanya sudah kembali tenang. Karena untuk beberapa saat, tidak kudengar lagi suara Kak Langit. Tapi. Tapi! TAPI!
Tiba-tiba saja kunci kamarku jatuh dari lubangnya. Seperti ada yang mendorong. Dan beberapa waktu kemudian, suara lubang kunci diputar pun terdengar.
Klik. Klik.
Deg. Deg. Deg. Kalau yang ini suara jantungku, sih.
Keringatku seperti mau menjadi hujan saking takutnya. Aku benar-benar merasa seakan dikejar oleh psikopat keji!
Dan ...
Klak.
Pintu terbuka. Di baliknya, sosok Kak Langit yang berdiri diam dengan sorot mata tajam membunuh terpampang jelas.
Tidak ada suara apapun yang keluar dari bibirnya.
Satu-satunya yang Kak Langit lakukan hanyalah berdiri memandangku. Melihatku. MENATAPKU!
IYA. Seperti biasanya. Kak Langit hanya diam mengawasiku tanpa berkata apapun. Bedanya, sekarang aku benar-benar dibuat merinding. Auranya itu, loh. MasyaAllah ... Membekukan hati sekali, saudara-saudara.
Bulu kudukku sampai berdiri semua.
Tapi semua itu belum ada apa-apanya dengan apa yang dilakukan oleh Kak Langit selanjutnya.
Pria itu. Si baliho itu, memiringkan kepalanya sambil tersenyum tipisssssssss sekali. Lalu bibirnya yang sedari tadi terkatup, mulai nampak membuka cangkang sambil berucap, "Relisha---- mau mendekat ke sini atau aku yang ke sana?"
Benar-benar titisan setan!
Padahal biasanya anteng. Tapi kenapa sekarang berulah begini, sih?!
Mana? Mana? KE MANA PERGINYA KAK LANGIT SI KANEBO KERING, HAH?!
________
THANK YOU SO MUCH BUAT YANG UDAH DUKUNG STORY INI
o((*^▽^*))o
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Lisha
Short StoryLangit itu hobinya diam. Tidak mau bicara tapi suka sekali memperhatikan. Membuat Lisha merasa kesal dan tak nyaman. Lisha itu mudah kikuk. Gampang gerogi dan ceroboh. Membuat Langit jadi gemar mengganggunya.