8. Boundaries

113 33 22
                                    

So Eun membuka mata dan butuh waktu beberapa saat hingga dirinya menyadari ada di mana. Di sampingnya, tampak Ye Eun masih tertidur. Setelah itu, ia pun bangkit dan perlahan membuka resleting tenda. Di luar masih gelap, tapi telinganya mendengar suara orang bercakap-cakap.

So Eun menyadari kalau itu adalah Myung Soo dan Kang Hoon. Dengan mengendap, dihampirinya kedua pria itu. "Kalian tidak tidur?"

Baik Myung Soo maupun Kang Hoon sama-sama terlonjak kaget.

"Astaga, mengagetkan saja." Kang Hoon mengusap dada.

"Kau bangun, apa kami berisik?"

So Eun menggeleng. Justru baru mendengar suara setelah keluar dari tenda. Seriuslah, apa kalian tidak tidur?"

"Sudah tadi. Sekarang mau bersiap menangkap matahari terbit," jawab Kang Hoon. "Kami sedang menyetel kamera. Tepatnya, aku belajar setelan yang tepat untuk membidik matahari terbit," sambungnya.

"Mau coklat hangat?" Tawar Myung Soo pada So Eun.

"Hmm, boleh juga."

Myung Soo pun menyiapkan secangkir coklat untuk So Eun. Tak lama, segera ia sajikan pada gadis itu.

Kang Hoon melirik dan sedikit tersenyum. Lalu, ia melontarkan pertanyaan pada Myung Soo. "White balance-nya otomatis saja?"

"Ubah ke mode shade, supaya hasilnya berwarna keemasan dan terkesan hangat. Kalau pakai setelan otomatis, hasil foto terkesan dingin."

Kang Hoon mengangguk-angguk. "Lumayan sekali ilmu yang kudapat. Apalagi tadi malam, seru. So Eun, sayang sekali kau melewatkannya. Jauh-jauh ke sini hanya untuk tidur."

"Kau yang sangat ingin ke sini, kalau dirimu yang tertidur barulah sangat disayangkan," balas So Eun.

"Bisa saja menjawab."

"Sudah, jangan berkicau terus. Lihatlah, cahaya mulai tampak."

Semburat rona merah samar di ufuk timur, bagai ciuman pertama dari matahari untuk membangunkan bumi. Perlahan gelap tersingkap, benderang menyapa bagai pelukan hangat. Jika Myung Soo dan Kang Hoon sangat fokus membidik momen ini, So Eun menikmatinya dengan mata telanjang. Terpukau, itu yang dirasanya. Seumur hidup, baru inilah ia benar-benar melihat proses terbitnya matahari. Larut dalam genangan cahaya keemasan, So Eun bahkan tak sadar berapa lama terpaku sampai suara Kang Hoon menyadarkannya.

"Wah, beda memang bidikan sang ahli memotret lanskap." Kang Hoon memuji jepretan Myung Soo.

"Punyamu juga cukup oke. Pokoknya ingat saja tips yang kuberikan."

"Aku ingat dulu pernah memoret matahari terbit, hasilnya banyak titik-titik. Padahal kameranya sudah digital. Kalau pakai analog, mungkin lebih parah lagi."

"Pengaturan ISO. Untuk kamera kelas konsumen, sebisa mungkin gunakan ISO paling rendah agar foto bebas dari noise."

So Eun menyela percakapan. "Yah, Kang Hoon, berapa banyak ilmu yang kau dapatkan? Harusnya kau bayar."

"Pemberi ilmunya saja tidak menyinggung soal bayaran. Eh, jangan menanggapi lagi, aku mau menikmati suasana dulu." Kang Hoon berdiri tegak sambil memendarkan pandangannya, lalu beberapa kali menghirup dan mengembus napas dengan tempo lambat dan teratur. "Sungguh keindahan yang hakiki. Matahari terbit bisa dikatakan sebagai tanda berawalnya kehidupan baru, sayang sekali jika masih banyak orang tenggelam dalam masa lalu yang kelabu," ucapnya.

"Tiba-tiba kerasukan arwah seorang filsuf." So Eun menggelengkan kepalanya.

Namun tidak dengan Myung Soo yang jadi tertegun, meski terdengar random karena dari sekian kalimat bijak yang ada, Kang Hoon malah melontarkan sesuatu yang menyentilnya. Dirinya seperti itu, bahkan setelah berteman dengan So Eun, tak serta merta membuatnya lepas dari kungkungan masa lalu yang membuatnya begitu negatif memaknai hidup dan tak ada hasrat untuk melangkah. Lebih parah, mengucap selamat tinggal pada dunia pernah terlintas di benaknya.

Between the Lies [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang