17. AWAL DARI KEAJAIBAN

1.6K 233 570
                                    

~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~°~
Sebelum baca alangkah baiknya kalian Vote dulu ya teman-teman untuk mendukung cerita ini..✨
Terima kasih ❤️

Setelah memastikan bahwa keadaan Nadira baik-baik saja, Zidan dan Sasa pamit untuk pulang karena hari semakin beranjak malam. Sementara Danu, memilih tinggal bersama Eiden dan Delvin.

Ketiganya kini tengah menduduki kursi di depan kamar VIP milik Nadira. Raut lelah sangat terpancar pada wajah Eiden, berulang kali Delvin meminta padanya untuk tidur namun Eiden menolaknya.

Keadaan koridor yang sepi menambah kesunyian malam hari yang sudah menunjukkan pukul 23.15 WIB.

"Dira itu." ucap Eiden memecah keheningan di antara bertiganya.

"Waktu kecil, Dira sering di pukul Ayah. Kalau ngelakuin sesuatu yang gak sesuai dengan kemauan Ayah."

"Ayah selalu anggap Dira anak pembawa sial dan gak berguna." Eiden menatap lantai dengan wajah kosong.

"Semenjak meninggalnya Bunda, Ayah selalu ngeluapin emosinya ke Dira. Paling paling Ayah pernah ngurung Dira di gudang selama seminggu."

Eiden menyeka air matanya, hatinya hancur berkeping-keping mengingat kenangan buruk itu lagi.

"Gak ada yang boleh datang ke gudang. Bahkan Ayah sampai kasih bodyguard disana, supaya orang-orang gak bisa nolongin Dira."

"Termasuk," kata-katanya menggantung.

"Termasuk saya." lirih Eiden tak kuasa menyambung cerita pilunya.

"Dira dibiarkan dengan baju kotor di gudang sendirian."

"Karena takut kondisi Dira semakin buruk, setiap hari saya cari cara buat ngasih makan minum ke Dira lewat pintu belakang gudang."

"Tapi Dira selalu marah, karena takut ketahuan Ayah. Dira juga bilang gak mau jadi Kakak saya lagi."

"Karena omongan itu, saya yang belum ngerti apa-apa marah. Ngerasa kalau Dira jahat gak mau ngertiin saya, dan Ayah denger kalau saya nangis setelah ketemu Dira."

"Ayah langsung bawa tongkat baseball buat mukulin Dira. Karena tubuh kecilnya udah gak kuat, setelah Ayah keluar Bi Murti bawa Dira ke Rumah Sakit tanpa sepengetahuan Ayah."

Eiden menyeka air matanya kasar. Kembali terlintas di bayangannya, ketika Nadira tersenyum kecil dari kejauhan. Memberitahu bahwa ia baik-baik saja, nyatanya Eiden melihat dengan mata sendiri kepala Nadira dipenuhi darah yang bercucuran keluar.

"Ternyata pembengkakan di kepala Dira cukup parah, dan sempat gak sadarkan diri selama sebulan."

"Itu adalah hal terbodoh yang pernah saya lakuin." Eiden semakin terisak. Buru-buru Delvin menepuk lembut bahu lebar Eiden.

Baik Danu ataupun Delvin belum ada yang menanggapi cerita Eiden. Mereka terdiam begitu hening dengan pikiran masing-masing. Siapa yang tak terkejut setelah mendengar cerita menyakitkan itu.

Eiden menutup wajahnya. "Dir, maafin gue."

"Dulu ataupun sekarang, gue gak bisa jagain lo." imbuhnya semakin nyeri di dada.

"Den, udah Den." Danu mencoba menyadarkan Eiden, bahwa semua ini bukanlah kemauannya.

"Gue gak mau kehilangan lo Dir!" Tangisnya pecah tak dapat tertahan lebih lama. Merutuki semua sesal yang tidak akan pernah merubah apapun, menyalahkan dirinya karena tidak pernah bisa membuat Nadira bahagia.

"Nadira pasti sembuh Den!" Delvin menggoyangkan tubuh Eiden berkali-kali. Siapa yang ingin melihat orang terkasih mengalami hal pahit berulang kali.

"Jangan pesimis Den, Nadira belum nyerah. Dia perempuan yang kuat," kata Danu sangat yakin dengan ucapannya.

Happy Not Ending (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang