Jaga

923 135 3
                                    





Pukul satu siang, Jimin izin terlebih dahulu dari pekerjaannya untuk mengantarkan Minjeong periksa kandungan, hari ini memang jadwalnya untuk periksa.

Mereka berdua menunggu, Minjeong mengelus perut buncitnya, di dalam hatinya juga ia berdoa agar bayinya sehat. Jimin sedang menyuapi kekasihnya makan buah mangga sambil menunggu namanya dipanggil oleh perawat.

"Kamu mau bayinya laki-laki atau perempuan?" Tanya Minjeong pada Jimin, ia tersenyum gemas saat melihat wajah kebingungan sang kekasih.

"Hm? Kok tanya aku? Itu anak kamu, jadi kamu maunya laki-laki atau perempuan?" Jimin balik bertanya dengan tangannya yang masih menyuapi kekasihnya.

Minjeong memanyunkan bibirnya, "kamu selalu bilang 'anak kita' kok sekarang aku tanya malah kayak gitu jawabnya." Wanita yang sedang mengandung itu memalingkan wajahnya, menatap ke arah lain.

"Jika laki-laki, aku senang. Kita berdua nanti main game bareng, main basket bareng, berenang bareng bertiga. Kalau perempuan aku akan senang juga, dia bakal mewarisi lipstik-lipstik punya ku yang udah jarang dipakai sekarang, terus nanti kita main salon-salonan, apapun jenis kelaminnya nanti, aku bahagia." Bisiknya di telinga Minjeong. Kekasihnya itu dengan pelan menoleh ke arahnya dengan mata yang berkaca-kaca menahan tangis.

"Jangan nangis dong." Jimin mengelus pipi gembul kekasihnya dengan sebelah tangan.



"Kim Minjeong, antrian B24." Namanya sudah dipanggil, namun orangnya malah menangis.

Jimin tertawa lalu menarik pelan kekasihnya untuk berdiri dan masuk ke dalam ruang periksa.























"Normal. Sesuai dengan usia kehamilannya." Ucap dokter, dan Jimin menghela nafas lega.

Dokter tersenyum pada Minjeong, dan menutup kembali baju wanita itu. Jimin pun membantu Minjeong untuk turun dari ranjang pasien. Lalu mereka berdua duduk dan mendengarkan lebih jelas penjelasan dari sang dokter.

"Apakah ada keluhan?" Tanya dokter.

"Itu dok, perut saya sering kram, itu kenapa ya?" Minjeong memang merasakan kram di perutnya, apalagi saat malam. Dan Jimin harus mengelus perutnya agar kramnya hilang.

"Itu kontraksi, Minjeong. Itu ciri-ciri kehamilan yang beresiko keguguran. Kamu butuh bedrest, minimal sampai kontrol selanjutnya." Jawab sang dokter. Membuat kedua orang di depannya panik.

"Serius dokter? Saya harus apa? Bagaimana? Bayinya baik-baik saja kan?" Jimin panik sampai Minjeong harus menenangkan kekasihnya itu dan mendengarkan kembali penjelasan sang dokter.

"Kehamilan diusia Minjeong ini resikonya sangat tinggi, tubuhnya Minjeong belum siap karena merasakan beban dua kali lipat dari wanita-wanita yang kehamilannya diusia yang sudah siap." Jelas dokter.

"Jawaban untuk pertanyaan Jimin tadi, kamu harus menjaga supaya Minjeong tidak stress dan memberikan dukungan lebih banyak lagi, lalu penuhi gizi ibu dan anak." Sang dokter tersenyum ramah.



'~'

Sesuai apa yang diperintahkan oleh dokter; Jimin sangat susah dibantah, pokoknya Minjeong engga boleh kecapekan! Padahal sapu-sapu rumah doang engga bikin capek, tapi kekeuh Jimin melarangnya untuk melakukan pekerjaan rumah.

"Kasihan dong mama." Minjeong memberi pengertian, namun Jimin menggeleng kuat.

"Aku yang beresin rumah bantuin Mama, kamu diem."

"Aku bosen dong kalau diem terus." Minjeong menangkup pipi kekasihnya, ia elus perlahan.

"Kamu bisa nonton TV, kamu bisa internetan, kamu bisa tidur, ngemil, kamu bisa baca buku, masih bilang bosen?"

The Reason WhyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang