DISASTROUSLY [10]

16 2 1
                                    

Mungkin seluruh aliran darah semua siswa yang memenuhi lobi utama kini berdesir hebat, memanas, sampai rasanya pembuluh darah mereka hampir pecah menyiksakan gelenyar yang menggelitik, membuat siapa saja meremang. Begitu menyaksikan bagaimana Riko-si pangeran Calgary, tersenyum lebar sembari memandang lekat Angel of Calgary kesayangan mereka. Dan brengseknya menyempatkan diri mengelus pipi mulus si primadona. Bahkan, lebih kurang ajarnya lagi mengecup kilat kening Elina.

Semua orang membatu. Terlalu mendadak, buru-buru, seakan kejadian barusan hanya boleh mereka saksikan tanpa diberi ijin berkomentar.

Kalau mereka mau menelisik lebih jauh, sungguh jantung Elina sudah bertalu-talu memberontak ingin berhenti berdetak.

Sialan! rasanya kelu. Luka di lututnya saja rasanya sudah hampir membuatnya kesulitan berdiri. Apalagi perlakuan kurang ajar cowok di depannya ini nyaris membuat seluruh persendiannya mati rasa, mendadak terserang lumpuh.

Dan apa gunanya cowok itu memasangkan earphone di telinganya kalau-

"Berharap gue kasih music klasik yang bikin lo tenang?"

-kalau itu hanya kedok semata, pencitraan, seolah perlakuannya terlihat peduli, terlihat ingin menyelamatkannya dari kesialan pagi ini.

"But you won't get that. Jangan harap gue bakal lakuin itu ke orang kayak lo."

Orang Kayak lo?

"Orang yang berani-beraninya bikin hidup gue kacau," tambah Riko berbisik pelan.

Dibandingkan memapah Elina apalagi menuntunya berjalan pincang bersisihan, Riko lebih memilih memangkas waktu dengan membopong kesayang Calgary itu dalam gendongan membuat semua pasang mata nyaris lepas begitu saja.

"Fuck! fuck you Riko!"

"Dibandingkan pangeran syurga, itu cowok lebih cocok disebut iblis dari neraka. Bikin ketar-ketir, anjir!"

"Gini nih, disuruh ngejagain anak orang malah bikin kacau."

"Bubar! semuanya bubar masuk kelas masing-masing!"

Seketika euforia itu hilang begitu saja. Dipaksa berhenti oleh teriakan Rangga yang kembali terdengar pagi ini.

****

Mungkin kruk itu yang membuatnya terlihat aneh, atau perban dilututnya, atau-Elina tidak akan sanggup kalau harus menganalisa detail dari A sampai Z. Tapi dia juga tidak bisa diam dikelas begitu saja saat Rangga mengirimnya chat dua jam yang lalu.

Lin lo istirahat aja dikelas gue yang bakal handle hari ini.

Disaat dirinya nyaris menyerah, Rangga justru datang seolah mengingatkan-merangkap menolongnya dalam satu waktu-kalau ada tugas besar yang harus dia emban, yang harus dia kerjakan, yang harus dia selesaikan.

Senyumnya tak pernah luntur sekalipun semua pasang mata dikoridor mengintimidasi dirinya layaknya seonggok daging tak berdaya yang mengenaskan. Elina benci tatapan iba itu. Benci ketika fikiran mereka mampu ditebak oleh benaknya.

"Lin mau gue bantu?" seseorang menghampiri, menawarkan bantuan.

"No. it's okay. Gue bisa kok," tolaknya halus.

"Beneran? gue bantu aja yuk."

"Ngga, enggak usah. Makasih gue masih bisa sendiri."

Dirinya bahkan harus tetap bersikap tenang disaat bantuan itu datang karna iba, bukan karna kepedulian manusia terhadap manusia.

"Bandel banget, anjir! gue bilang diem dikelas aja juga." suaranya terdengar prustasi sarat rasa kahawatir yang mendominasi.

Itu......Rangga. Yang paling khawatir kalau orang terdekatnya terluka.

DISASTROUSLY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang