Puluhan orang berlalu lalang berkumpul memadati serta memenuhi gimnasium siang ini. Entah siapa yang punya inisiatif menjadikan tempat ini sebagai pilihan terakhir untuk berkumpul dadakan seperti sekarang, atau lebih tepatnya rapat dadakan plus gabungan tiga eskul sekaligus. Yang pasti, ruang gimnasium sekolah tidak akan pernah cocok untuk di jadikan ruang rapat, meskipun dadakan dengan ribuan alasan untuk seorang Claudia Levana.
"Attention please, guys! tolong gabung sesuai eskulnya masing-masing."
Seseorang memberi intruksi membuat mata Claudia menyipit. Berusaha mengenali wajah didalam sana-berdiri di hadapan teman-temannya yang duduk lesehan di tengah-tengah lapangan, memberi arahan singkat-karna sampai sekarang Claudia bahkan masih betah berdiri di tengah-tengah pintu, memandangi keadaan didalam gym tanpa mau repot-repot bergabung.
"Claudia!"
Tapi teriakan itu lantas membuat matanya mengedar. Mencari sosok yang meneriaki namanya, hingga lambayan tangan yang mengudara seolah memberi petunjuk. Refleks gadis itu mendengus, tapi tak urung mematri langkah memasuki gym. Duduk bergabung dengan orang yang tadi meneriakinya, kemudian lanjut menyuarakan kekesalannya.
"Siapa coba yang ngide gila kayak gini?" Decaknya sinis menatap kesekitar yang berisik.
"Ya Allah belom juga mulai."
Jelas sosok disampingnya langsung tertekan.
Namanya Raffi. Bukan Raffi Ahmad, tapi Ahmad Raffi. Salah satu gitapati sekolah, teman dekatnya Claudia di eskul marcing band, yang punya kepribadian nyaris cewek tulen.
Ingat!
Cewek tulen!
Dia satu-satunya cowok yang pernah menjadi gitapati di sekolah sepanjang sejarah. Yang paling sabar menghadapi tingkah laku Claudia kalau gadis itu mulai rewel, seperti sekarang. Dan yang paling penting, seluruh murid kelas 12 adalah backingan cowok jadi jadian itu.
"Emang aula sekolah kenapa? kebakar, atau gedungnya kena gempa, apa di gusur pemerintah?"
"Bukan cantik," Raffi mengelus surai sebahu Claudia, berharap gadis itu tenang.
Menepis tangan si cowok, yang ada cewek itu makin sinis, "Terus?"
"Apanya yang terus?"
"Terus ngapain kita kumpulnya disini?" Desis kekesalan terdengar.
Raffi lantas tertawa ringan, "Gue juga ngga tahu. Cuma ngikut aja."
"Panas anjir, gue ngga betah!"
"Panasan di lapangan, Clau, ngga usah lebay."
"Lebay matamu!"
Segera Raffi menyerahkan kipas angin portable yang sengaja ia bawa-karena sudah mengantisipasi kejadian seperti ini-kehadapan si cewek, di terima setengah hati sambil menunjukkan muka juteknya. Meskipun begitu, Raffi hanya menanggapi dengan senyum lebar, sudah terlalu biasa.
"Biar lo ngga panas."
"Thanks."
Raffi mengangguk singkat. Lanjut mengamati sekitar yang terasa makin sesak. Sengaja mengambil tempat di ujung belakang supaya Claudia ngga makin merasa pengap. Duhh, perhatian banget kan Raffi ini?
Lagi-lagi intruksi terdengar membuat Claudia lantas berdecak.
"Si paling ketua." Dengusnya sembari menopang dagu. Menatap malas cewek yang sedari tadi paling heboh mengatur keadaan supaya kondusif. "Kalo Audy ada di sini, pasti dia udah kebakar."
KAMU SEDANG MEMBACA
DISASTROUSLY
Genç KurguArinda Rengganis. Satu-satunya murid Calgary tahun lalu yang bersih dari buku kasus. Meninggal secara tragis dengan rekam jejak yang pilu. Kematian murid berprestasi itu jelas mengundang tanya. Apalagi, kini kematiannya seolah menjadi awal dari asum...