13: Living in A Survival Mode

647 52 33
                                    

Warning: none | 2,2k+ words ✍🏻

Prang!

"Pergi kamu dari rumah ini!" Ibu tuan rumah berteriak kesetanan.

Hampir seluruh vas di kamarnya sudah dilemparkan, hampir mengenai dirinya dan putranya sendiri. Sunghoon pun memblok pandangan sang Mama dengan cara memeluknya.

"Papa denger, kan?! Gak usah bicara lagi sama Mama dan cepet pergi!" Sentaknya.

Pria paruh baya itu mengepalkan tangan erat-erat. Dia tahu pada akhirnya akan jadi seperti ini. Sudah dua tahun dirinya mengajak sang istri berunding agar mereka bisa berpisah secara yang baik-baik. Tapi istrinya selalu menolak karena kesibukan pekerjaan.

Mereka sudah tak lagi saling cinta. Mereka tahu itu.

Cinta mereka sudah habis di awal pernikahan karena banyak sebab. Entah karena pekerjaan yang terpisah, kesalahpahaman yang tak pernah dibicarakan. Berujung mereka super sibuk dan terbiasa mengatasi masalah sendiri-sendiri.

Hubungan pernikahan mereka berangsur-angsur hambar dan platonik. Dan sekarang, sang istri masih terkejut mendengar pengakuan sang suami yang berselingkuh.

"Saya cuma berpikir, kita sudah lama terpisah secara fisik maupun batin. Ikatan pernikahan ini membelenggu saya dan kamu. Lebih baik kita lepaskan saja supaya-"

"Saya berbeda dengan kamu, Mas! Meskipun saya menderita seperti ini, saya tidak pernah berfikir untuk pergi ke lelaki lain. Bahkan kalau saya dikasih waktu dan kesempatan! Saya tak rakus sepertimu!"

Sang istri tersedu-sedu di pelukan putra kandungnya. Dia sudah tak begitu memikirkan bagaimana setiap kata yang keluar dari suaminya melukai hati kecil Sunghoon, anak mereka yang polos.

"Saya tahu! Tapi apa salah kalau saya mendapat apa yang tak bisa saya terima darimu di perempuan lain? Ini karena kamu selalu diam dan memberi saya pilihan tidak menguntungkan. Kenapa kamu begitu egois, Ma?"

"Diam kamu!" Sentak istrinya.

Kini Sunghoon mengerti. Dia tidak punya waktu untuk menyimpulkan siapa yang lebih salah. Bagaimanapun, sang Papa didahului logikanya, dan sang Mama didominasi harga diri dan prinsip.

Lagipula, apa yang bisa dipertahankan jika mereka tak saling cinta? Masalah ini sudah terlalu kompleks dan akan membuang waktu jika sibuk mencari siapa yang lebih benar.

"Papa, lebih baik kita bicara di grup keluarga." Ucap Sunghoon.

Si pria paruh baya mengangguk atas penuturan anaknya. Dia juga tidak perlu banyak berkemas sebab kamar ini telah dikuasai barang-barang sang istri.

"Terimakasih sudah dewasa untuk Papa, Hoon. Papa minta maaf karena gagal sebagai orangtua." Kata sang Papa.

"Jangan sok bijak di depan anakku! Kamu tidak tahu apa-apa soal mengurusnya!" Protes sang istri.

Beliau tak sanggup mendengarkan bualan suaminya lebih jauh. Apapun yang keluar dari bibir pria itu seakan-akan mencoba menyudutkan dirinya.

Wanita itu beralih meraih-raih vas terakhir yang ada di permukaan meja antik di kamar.

"Cukup, Ma." Ujar sang anak, sambil menggenggam erat di tangan kanan sang Mama.

Papanya memantapkan hati untuk pergi. Beliau berjalan melewati bagian lantai yang bersih dari pecahan, sesekali menengok Sunghoon yang menatapnya dengan pandangan nanar.

Pria itu pun menggeleng, kecewa dengan diri sendiri lalu melangkah ke luar ruangan. Dilihatnya pintu kamar anak perempuannya tertutup. Beliau tak yakin apakah Elisa mendengar pertengkaran hebat tadi.

𝐓𝐨 𝐭𝐡𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐬𝐨𝐧 𝐈 𝐚𝐦 𝐁𝐞𝐜𝐨𝐦𝐢𝐧𝐠Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang