14: When The Fire Meets Wind

540 47 5
                                    

Warning: harsh words, nudity | 1,4k+ words

Prang!

Seperti deja vu, kejadian kemarin terulang lagi hari ini. Padahal kakak beradik itu baru sampai, tapi mereka harus mendengar sang Mama memporak-porandakan isi rumah. Di depan gerbang tadi juga ada mobil Papa mereka yang sembarang terparkir.

Sunghoon yang hendak berlari tersadar bahwa ada sang kakak di belakangnya. Dia mengusap pipi dan mengecup kening gadis itu sebentar, mengisyaratkan bahwa ia tak perlu panik.

"Kamu lewat pintu belakang, ya? Aku mau nenangin Mama." Ucap Sunghoon lalu meninggalkan kakanya.

Langkah si gadis buru-buru ke jalur masuk yang lain, terlalu sensitif untuk berfikir saat ini. Elisa tahu lebih dulu tentang kabar bahwa Papanya menghamili wanita lain, ia jadi tak berani membayangkan sebetapa mengamuk Mamanya di dalam.

Setelah si gadis terlihat di dekat tangga, ia berpapasan dengan sang Papa untuk pertama kali setelah sekian lama. Beliau ada di tengah-tengah amukan sang Mama yang tak jauh. Segera anak perempuan pertama itu berlari ke kamar dan mengunci pintu sebelum pria pengkhianat itu menggapainya.

"Elisa, nak!" Teriak pria jangkung di luar sambil mengguncang kenop pintu.

"Berhenti bicara dengan anak tak berguna itu, Mas! Dia tidak pernah peduli dengan keluarga kita!"

"Apa maksudmu? Dia sudah membantu kita merawat Sunghoon selama ini, Ma!"

Elisa mendengar Mamanya mendecih di luar sana, semakin yakin dirinya harus menutup rapat-rapat telinga dari sesuatu yang lebih menyakitkan.

"Lihat cara dia membanting pintu? Apakah itu putri kesayanganmu, Mas? Dia cuma anak tak tahu diri yang menumpang di keluarga ini-"

"Stop, stop, stop-" Elisa bergumam tanpa henti dan memasang earpod dengan setelan volume tinggi.

Ia tak peduli gendang telinganya rusak soalnya ia jauh lebih tak sanggup mendengar kata-kata Mamanya.

"Kenapa baru sekarang, Ma?" Lirihnya sambil meremat kepala kuat-kuat. "Kenapa baru sekarang Mama nggak menginginkan Elisa? Kenapa nggak dari dulu? Terlambat kalau Elisa pergi sekarang, Elisa nggak punya keluarga selain kalian. Apa Elisa betul-betul gagal mewujudkan harapan kalian? Apa Elisa lebih baik mati Ma, Pa?" Gadis itu menjeritkan rasa sakit di dada, tak peduli jika terdengar hingga keluar ruangan.

Tidak, dia tidak pernah suicidal sebelumnya. Ditemukan oleh sebuah keluarga kaya dan hidup di rumah mewah adalah kado terindah dalam hidupnya. Elisa begitu menghormati dan menyayangi Mama Papanya.

Ia selalu siap menuruti semua keinginan mereka, entah itu menjaga Sunghoon atau bahkan pergi selama-lamanya jika sudah tak dibutuhkan.

Ia tak pernah meminta lebih. Hidup ini cukup panjang dan ia tak mau merasakannya lebih panjang lagi jika akhirnya menyakitkan.

"Jake... Kak Heeseung." Lirihnya sambil terus memukuli kepala sendiri.

Ia secara refleks menyebut nama-nama yang biasa menolong saat dia berada di titik terendah dalam hidup. Tubuhnya merosot lemas ke lantai dan salah satu earpodnya lepas.

Prang!

Sunghoon melempar figura kecil hingga pecah mengenai kaki sang Papa. Ia marah besar saat Papanya mendebat ll Mamanya sampai sulit bernapas dan pingsan.

"Jangan pernah datang ke rumah ini lagi atau kuhajar muka Papa dengan tanganku sendiri!" Teriak sang anak.

Elisa merangkak ke ranjang karena badannya sudah terlalu lemas. Api kehancuran di keluarganya sudah tak bisa dipadamkan. Banyak mata dan telinga yang sudah merekam kejadian ini.

𝐓𝐨 𝐭𝐡𝐞 𝐏𝐞𝐫𝐬𝐨𝐧 𝐈 𝐚𝐦 𝐁𝐞𝐜𝐨𝐦𝐢𝐧𝐠Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang